MENEPATI JANJI SEBAGAI NILAI ISLAM YANG HARUS DITRANSFORMASIKAN KEPADA MASYARAKAT
Download PPT : Click Here!
BAB
I
A.
LATAR BELAKANG
Dalam pergaulan kita sehari-hari, ada satu jenis bumbu pergaulan yang
disebut dengan ‘‘janji”. Janji sering digunakan oleh orang yang mengadakan
transaksi perdagangan, oleh politikus yang tengah berkampanye, oleh orang yang
memiliki hutang tetapi sampai waktunya dia belum bisa memenuhinya, bahkan janji
dilakukan pula oleh ibu-ibu kepada anak-anaknya di saat mau pergi ke pasar
tanpa mengajak mereka dengan maksud agar si anak rela untuk tidak ikut ke
pasar. Mereka begitu menganggap enteng untuk mengucapkan janji.
Ujung-ujungnya, ada di antara mereka
yang konsisten dengan janjinya, sehingga dia berupaya untuk memenuhi janjinya
itu. Namun ada dan banyak pula di antara mereka yang ingkar janji, sehingga
membuat kecewa berat bagi orang yang mendapat janji tadi. Padahal Rasulullah
SAW dengan tegas mengatakan bahwa janji itu adalah hutang dan Allah SWT sendiri
telah mengingatkan melalui Al-Quran surat Al Isra’ ayat 34 bahwa janji itu
harus ditepati, karena janji itu akan dimintai pertanggungjawabannya.
Janji memang
ringan diucapkan namun berat untuk ditunaikan. Betapa banyak orangtua yang
mudah mengobral janji kepada anaknya tapi tak pernah menunaikannya. Betapa
banyak orang yang dengan entengnya berjanji untuk bertemu namun tak pernah
menepatinya. Dan betapa banyak pula orang yang berhutang namun menyelisihi
janjinya. Bahkan meminta udzur pun tidak. Padahal, Rasulullah telah banyak
memberikan teladan dalam hal ini termasuk larangan keras menciderai janji
dengan orang-orang kafir.
Manusia
dalam hidup ini pasti ada keterikatan dan pergaulan dengan orang lain. Maka
setiap kali seorang itu mulia dalam hubungannya dengan manusia dan terpercaya
dalam pergaulannya bersama mereka, maka akan menjadi tinggi kedudukannya dan
akan meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Sementara seseorang tidak akan bisa
meraih predikat orang yang baik dan mulia pergaulannya, kecuali jika ia
menghiasi dirinya dengan akhlak-akhlak yang terpuji. Dan di antara akhlak
terpuji yang terdepan adalah menepati janji.
Sungguh
Al-Qur`an telah memerhatikan permasalahan janji ini dan memberi dorongan serta
memerintahkan untuk menepatinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَوْفُوا بِعَهْدِ اللهِ إِذَا عَاهَدْتُمْ وَلاَ تَنْقُضُوا اْلأَيْمَانَ
بَعْدَ تَوْكِيْدِهَا …
“Dan tepatilah perjanjian dengan
Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah itu
sesudah meneguhkannya….”
(An-Nahl: 91)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga
berfirman:
وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُوْلاً
“Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji
itu pasti dimintai pertanggungjawabannya.” (Al-Isra’:
34)
Demikianlah
perintah Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya yang beriman untuk senantiasa menjaga,
memelihara, dan melaksanakan janjinya. Hal ini mencakup janji seorang hamba
kepada Allah SWT, janji hamba dengan hamba, dan janji atas dirinya sendiri
seperti nadzar. Masuk pula dalam hal ini apa yang telah dijadikan sebagai
persyaratan dalam akad pernikahan, akad jual beli, perdamaian, gencatan
senjata, dan semisalnya.
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Apa
pengertian dari janji?
2. Apa
saja macam-macam janji?
3. Bagaimana hukum
memenuhi janji?
4. Bagaimana hikmah menepati janji?
5. Apa bahaya ingkar janji?
6.
Bagaimana menjauhi sifat
munafik/ingkar janji?
C.
TUJUAN
Mengetahui pengertian janji,
macam-macam janji, hukum memenuhi janji, hikmah memenuhi janji, bahaya ingkar
janji, menjauhi sifat munafik/ingkar janji.
D.
MANFAAT
1. Mengaplikasikan
nilai menepati
janji sebagai nilai islam yang harus ditransformasikan ke masyarakat.
2. Menjadi
pribadi islam yang modern yang bisa dipercaya dalam
masyarakat.
3. Mengembangkan
nilai-nilai akhlak dalam masyarakat.
4.
Menjadikan pribadi islami yang lebih
baik lagi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
JANJI
Janji menurut Kamus Bahasa Indonesia adalah perkataan
yang menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat. Pengertian lain
menyebutkan, bahwa yang disebut dengan janji adalah pengakuan yang mengikat
diri sendiri terhadap suatu ketentuan yang harus ditepati atau dipenuhi. Al-Quran,
menggunakan tiga istilah yang maknanya berjanji, yaitu :
- Wa’ada. Contohnya: Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan yang beramal saleh, (bahwa) untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.
- Ahada. Contohnya: Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. (Q.S.Al: Mu’minun).
- Aqada. Contohnya: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Aqad (perjanjian) di sini mencakup janji prasetia hamba kepada Allah dan perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya.
Selanjutnya,
janji dalam Arti ’aqad/’aqada menurut
Abdullah bin Ubaidah ada 5 macam :
a. ‘aqad iman / kepercayaan yang biasa
disebut ‘aqidah.
b. ‘aqad nikah
c. ‘aqad jual beli
d. ‘aqad dalam arti perjanjian umuni
e. ‘aqad sumpah
Satu sifat
lagi yang hampir identik dengan dua sifat sebelumnya (shiddiq dan amanah)
adalah menepati janji. Menepati janji berarti berusaha untuk memenuhi semua
yang telah dijanjikan kepada orang lain di masa yang akan datang. Orang yang
menepati janji orang yang dapat memenuhi semua yang dijanjikannya. Lawan dari
menepati janji adalah ingkar janji. Menepati janji merupakan salah satu sifat
terpuji yang menunjukkan keluhuran budi manusia dan sekaligus menjadi hiasan
yang dapat mengantarkannya mencapai kesuksesan dari upaya yang dilakukan.
Menepati janji juga dapat menarik simpati dan penghormatan orang lain.
Rasulullah SAW. tidak pernah mengingkari janji dalam hidupnya, sebaliknya
beliauselalu menepati janji-janji yang pernah dilontarkan. Kita pun sebagai
umat Nabi sudah selayaknya meneladani beliau dalam hal menepati janji ini
sehingga kita selalu dipercaya oleh orang-orang yang berhubungan dengan kita.
Dalam beberapa ayat Al-Quran, Allah menegaskan kewajiban orang yang beriman
untuk menepati janji. Dalam QS. al-Maidah (5): 1 Allah Swt. berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
أَوْفُوا بِالْعُقُودِ ۚ أُحِلَّتْ لَكُم بَهِيمَةُ الْأَنْعَامِ إِلَّا مَا
يُتْلَىٰ عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنتُمْ حُرُمٌ ۗ إِنَّ
اللَّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ [٥:١]
Artinya
:“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. dihalalkan bagimu
binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu)
dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji.
Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.” (QS.
Al-Maidah: 1)
Firman Allah
dalam surat Al-Isra’:34
[١٧:٣٤] إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولًا ۖ وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ ۚ
وَلَا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّىٰ
يَبْلُغَ أَشُدَّهُ
Artinya
:“Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih
baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu
pasti diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra’: 34)
Janji memang ringan diucapkan namun berat untuk
ditunaikan. Betapa banyak orangtua yang mudah mengobral janji kepada anaknya
tapi tak pernah menunaikannya. Betapa banyak orang yang dengan entengnya
berjanji untuk bertemu namun tak pernah menepatinya. Dan betapa banyak pula
orang yang berhutang namun menyelisihi janjinya. Bahkan meminta udzur pun
tidak. Padahal, Rasulullah telah banyak memberikan teladan dalam hal ini
termasuk larangan keras menciderai janji dengan orang-orang kafir. Manusia
dalam hidup ini pasti ada keterikatan dan pergaulan dengan orang lain. Maka
setiap kali seorang itu mulia dalam hubungannya dengan manusia dan terpercaya
dalam pergaulannya bersama mereka, maka akan menjadi tinggi kedudukannya dan
akan meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Sementara seseorang tidak akan bisa
meraih predikat orang yang baik dan mulia pergaulannya, kecuali jika ia
menghiasi dirinya dengan akhlak-akhlak yang terpuji. Dan di antara akhlak
terpuji yang terdepan adalah menepati janji.
B. MACAM-MACAM JANJI
1.
Janji kepada Allah
Ketahuilah bahwa setiap muslim, dia telah melakukan
perjanjian dengan Allah. Di saat dia mengucapkan dua kalimat syahadat, dia
telah mengikrarkan janji untuk beribadah hanya kepada Allah saja, dan tidak
melakukan ibadah kecuali dengan cara yang diajarkan oleh Rasulullah.
Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
“Wahai
orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji kalian.” (Q.S. Al-Maidah:1)
Sebagian
ahli tafsir dari kalangan sahabat dan tabi’in,
di antaranya adalah Ibnu Abbas dan Mujahid, juga sebagian ahli bahasa, di
antaranya Az-Zujaj, mengatakan, “Yaitu
perjanjian kepada Allah yang diambil dari umat ini agar mereka memenuhinya.
Yaitu perkara-perkara yang Allah halalkan dan haramkan, juga perkara-perkara
yang Allah wajibkan berupa shalat, puasa, zakat dan yang lainnya dari syariat
Allah.” (Lihat ‘Az-Zawajir’, Al-Haitami dan ‘Al-Kabair’, Adz-Dzahabi)
Dan termasuk
janji kepada Allah adalah nadzar seseorang kepada-Nya. Misalnya seseorang
mengatakan, “Jika Allah sembuhkan penyakit saya maka saya bernadzar untuk
berpuasa selama sepuluh hari.” Wajib baginya menunaikan nadzar tersebut apabila
telah sembuh dari penyakitnya.
2.
Janji Terhadap Diri Sendiri
Biasanya janji dalam hati, tetapi kadang-kadang ada juga yang diwujudkan dalam
lisannya, atau bahkan secara tertulis, supaya dia tidak lupa pada janjinya itu.
Janji berstatus sebagai nazar untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Jika sudah masuk wilayah nazar, maka hukumnya adalah wajib. Misalnya berjanji
untuk bangun setiap pagi menjelang subuh, berjanji untuk mengaji paling tidak
sehari sekali, berjanji tidak akan bergaul dengan orang yang berakhlak tercela.
Berjanji untuk melaksanakan rukun Islam yang kelima atau berhaji ke Baitullah,
berjanji untuk melaksanakan tasyakuran jika ia lulus ujian. Contoh Seorang yang
sakit yang serius, kala itu dia mengucapkan Jika aku sembuh dari penyakitku,
aku akan berpuasa tiga hari. hal itu merupakan janji manusia terhadap diri
sendiri yang harus ditunaikan, yang dalam bahasa agama disebut dengan nadzar.
Ini harus dilaksanakan karena Allah telah berfirman : وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ “
…Dan hendaklah menyempurnakan (memenuhi) nazar mereka… “ (QS.Al Hajj 29). Tentu
saja nadzar yang harus dipenuhi adalah nadzar yang yang tidak menyimpang dari
syari’at agama Islam. Tapi misalnya ada orang yang mengatakan,’’Kalau saya
lulus ujian, aku akan potong tangan ibuku.” itu haram dilaksanakan, karena
manusia oleh Allah tidak diperkenankan untuk menyiksa diri sendiri ataupun
orang lain.
3.
Perjanjian sesama manusia
Perjanjian
sesama manusia ini banyak sekali gambarannya. Penulis akan memberikan beberapa
contoh yang dengannya insya Allah terwakili gambaran-gambaran yang lain.
a.
Ketaatan terhadap penguasa
muslim yang sah
Pada masa
tegaknya daulah Islamiah, maka setiap pemimpin kaum muslimin dibai’at oleh
seluruh kaum muslimin agar selalu mendengar dan taat pada penguasa selama bukan
dalam perkara maksiat. Inilah janji ketaatan yang wajib ditunaikan. Orang yang
memberuntak kepada penguasa muslim yang sah dan mati sebelum sempat bertobat
maka dia akan bertemu Allah dengan tanpa memiliki hujjah (argumentasi).
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ خَلَعَ
يَداً مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا حُجَّةَ لَهُ
“Barang
siapa melepaskan diri dari ketaatan (kepada penguasa), niscaya dia bertemu
Allah dengan tanpa memiliki pembelaan.” (H.R. Bukhari dari sahabat Abu Hurairah)
Perlu
diketahui bahwa bai’at ini merupakan
hak pemimpin/pemerintah. Jika mereka meminta bai’at wajib bagi kita untuk melakukannya.
Adapun jika tidak, seperti keadaan kita saat ini, maka semata-mata kedudukan
mereka sebagai penguasa, kewajiban mendengar dan taat terhadap mereka tetap
berlaku.
b. Perjanjian yang terkait akad nikah
Di saat
seorang gadis dilamar oleh seorang lelaki, boleh baginya memberikan syarat
kepada calon suami untuk dipenuhi apabila telah menjadi istrinya. Jika calon
suami menyanggupi syarat tersebut maka wajib baginya untuk memenuhinya. Bahkan
hal ini merupakan janji yang paling berhak dipenuhi.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallan bersabda:
أَحَقُّ الشُّرُوطِ أَنْ تُوفُوا بِهِ
مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوجَ
“Syarat/janji
yang paling berhak ditepati adalah syarat yang kalian halalkan dengannya
kemaluan.” (H.R. Al Bukhari dari
sahabat ‘Uqbah bin ‘Amir)
c.
Perjanjian terhadap orang kafir
Demikianlah
keluhuran Islam, terhadap musuh sekalipun Islam tetap memegang janjinya. Di
saat terjadi perjanjian gencatan senjata dengan pihak kafir Allah perintahkan
kaum muslimin untuk menjaga perjanjian tersebut dan memenuhinya.
Allah
berfirman yang artinya, “Kecuali orang-orang musyrik yang telah mengadakan
perjanjian dengan kalian dan mereka sedikit pun tidak mengurangi (isi
perjanjian) dan tidak (pula) mereka membantu seorang pun yang memusuhi kalian,
maka terhadap mereka itu penuhilah janji sampai batas waktunya. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. At-Taubah: 4)
d. Upah
pekerja
Seorang yang
bekerja tentu dia telah mengikat perjanjian dengan majikan/atasannya tentang
upahnya. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar
menyegerakan pembayaran upah pekerja sebelum kering keringatnya. Maka orang
yang tidak memenuhi hak para pekerja, dengan mengurangi upahnya atau bahkan
tidak membayarnya sama sekali, dia telah melakukan kezaliman yang sangat besar.
Dalam hadits
qudsi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Allah berfirman:
“Tiga kelompok manusia yang akan menjadi lawan-Ku di hari Kiamat: seorang yang
mengikat perjanjian atas nama-Ku kemudian berkhianat dan seorang yang menjual
orang lain yang merdeka kemudian memakan hasilnya dan seorang yang
mempekerjakan seorang pekerja hingga selesai pekerjaannya kemudian tidak
diberikan upahnya”. (H.R. Al
Bukhari dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).
e.
Menjanjikan sesuatu terhadap anak kecil
Sobat,
pernahkah kamu mendengar seorang ibu berkata kepada putranya yang masih kecil
dan sedang menangis: “Dek, dek, jangan menangis. Sini ibu kasih permen. Kalo
dedek diam nanti ibu belikan susu kesukaan dedek.” Atau berkata kepada putrinya
yang masih balita di luar rumah bermain kotor-kotoran, “Nak kemari, ibu kasih
sesuatu.” Nah, ini semua sekadar contoh memberi janji kepada anak kecil.
Sahabat
Abdullah bin ’Amir pernah bercerita bahwasanya suatu ketika dia dipanggil oleh
ibunya. Pada saat itu Rasulullah menyaksikannya. Ibunya berkata kepadanya:
“Kemarilah nak, aku beri engkau sesuatu.” Rasulullah pun bersabda kepada
ibunya: “Apa yang hendak engkau berikan kepadanya?”. Ibunya menjawab, “Aku
hendak memberinya kurma.” Beliau bersabda, “Seandainya engkau tidak memberinya
sesuatu, niscaya tercatat atasmu satu kedustaan”. (H.R. Abu Dawud dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani rahimahullah)
C.
HUKUM MEMENUHI JANJI
Hukum berjanji adalah boleh (jaiz) atau disebut juga dengan mubah.
Tetapi hukum memenuhi atau menepatinya adalah wajib. Melanggar atau tidak
memenuhi janji dalah haram dan berdosa. Berdosanya itu bukan sekadar hanya
kepada orang yang kita janjikan tetapi juga kepada Allah SWT. Dasar dari wajibnya
kita menunaikan janji yang telah kita janjikan antara lain adalah:
a.
Perintah Allah dalam Al-Qur’an Al-Karim, surat An-Nahl, ayat 91: “Dan tepatilah perjanjianmu apabila kamu
berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah itu, sesudah meneguhkannya,
sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu. Sesungguhnya Allah
mengetahui apa yang kamu perbuat.”
b.
Menunaikan janji adalah ciri orang beriman, sebagaimana diungkapkan Allah dalam
surat Al-Mukminun. Salah satunya yang paling utama adalah mereka yang
memelihara amanat dan janji yang pernah diucapkannya. Firman-Nya: “Telah beruntunglah orang-orang beriman,
yaitu orang-orang yang memelihara amanat-amanat dan janjinya.”
c.
Ingkar janji adalah perbuatan setan untuk mengelabui manusia, maka mereka
merasakan kenikmatan manakala manusia berhasil termakan janji-janji kosongnya
itu. Allah berfirman dalam surat An-Nisa, ayat 120: “Syaitan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan
angan-angan kosong pada mereka, padahal syaitan itu tidak menjanjikan kepada
mereka selain dari tipuan belaka.”
d.
Ingkar janji adalah sifat Bani Israil. Ingkar janji juga perintah Allah kepada
Bani Israil, namun sayangnya perintah itu dilanggarnya dan mereka dikenal
sebagai umat yang terbiasa ingkar janji. Hal itu diabadikan di dalam Al-Quran
Al-Karim: “Hai Bani Israil, ingatlah akan
nikmatKu yang telah Aku anugerahkan kepadamu, dan penuhilah janjimu kepadaKu,
niscaya Aku penuhi janjiKu kepadamu dan hanya kepadaKu-lah kamu harus takut.”
Dari
uraian di atas, jelaslah bahwa hukum menepati janji adalah wajib. Dalam
ungkapan bahasa Melayu, ada peribahasa: Sekali lancung ujian, seumur orang
tidak akan percaya lagi. Malah mengingkari janji adalah salah satu sifat orang
munafik. Rasulullah bersabda: “Tanda orang-orang
munafik itu ada tiga keadaan. Pertama, apabila berkata-kata ia berdusta. Kedua,
apabila berjanji ia mengingkari. Ketiga, apabila diberikan amanah (kepercayaan)
ia mengkhianatinya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Meskipun
demikian, sebagai agama yang adil selalu memperhatikan situasi dan kemampuan
seseorang, sehingga ada beberapa situasi yang merupakan pengecualian dari hukum
tersebut, antara lain adalah:
1.
Karena
dipaksa.
Gara-gara
dipaksa bisa menjadi alasan yang memperbolehkan seorang Muslim untuk membatalkan
janji yang ia buat, seperti seseorang yang ditahan atau dicegah sehingga ia
tidak bisa memenuhi janjinya, atau seseorang yang diancam dengan hukuman yang
menyakitkan. Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya
Allah memaafkan kepada umatku dari kesalahan yang tidak disengaja, lupa atau
yang dipaksakan atasnya.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Hibban, Hakim dan
Ibnu Majah)
2.
Berjanji
untuk melakukan sesuatu perbuatan yang haram atau tidak melakukan yang hukumnya
wajib.
Barangsiapa
yang berjanji kepada seseorang bahwa ia akan melakukan perbuatan yang haram
untuknya, atau ia tidak akan melakukan sesuatu yang hukumnya wajib, maka
diperbolehkan baginya untuk tidak memenuhi janji tersebut.
3.
Betul-betul
tidak mampu.
Jika
terjadi suatu kejadian yang tidak diduga sebelumnya dan menimpa orang yang
berjanji, seperti sakit, kematian saudaranya atau transportasi yang bermasalah
dan alasan-alasan lainnya, maka situasi tersebut mungkin bisa menjadi alasan
yang tepat apabila dia tidak bisa memenuhi janjinya, sesuai dengan firman Allah
swt: “Allah tidak membebani seseorang
melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Al-Baqarah: 286).
Pada dasarnya segala janji yang baik yakni janji yang tidak bertentangan
dengan ajaran agama, wajib ditunaikan, wajib dipenuhi. Namun boleh jadi hukum
janji itu bisa berubah. Ini menurut M.Yunan Nasution dalam khutbahnya, menjadi:
- Sunnah memenuhinya. Artinya boleh ditinggalkan. Misalnya orang yang berjanji untuk meninggalkan sesuatu yang tidak diperintahkan agama. Misainya, sejak hari ini saya tidak akan makan sambal.
- Sunnah tidak memenuhinya. Contohnya seperti orang yang berjanji dan bersumpah akan melakukan suatu perbuatan, misalnya jika saya lulus SLTA saya mau kursus menjahit. Ternyata dia berubah pikiran untuk melanjutkan kuliah dan ternyata diridhai orang tua. Maka kursus menjahitnya pun dibatalkan, karena melanjutkan kuliah. Konsekuensinya dia harus membayar kafarat sumpahnya itu. yaitu puasa kafarat 3 hari berturut- turut.
- Wajib tidak memenuhi janjinya. Yakni janji untuk berbuat jahat.
Janji dikisahkan suatu ketika Rasulullah
SAW menjanjikan seorang pembantu kepada Abdul haitam bin Thayyban. Lalu beliau mendatangkan
3 tawanan perang. Dua tawanan diberikan kepada orang yang pernah dijanjikannya,
sedang yang seorang lagi diberikan kepada Abdul Haitam. Tiba-tiba Fatimah,
putrinya, yang tangan terlihat bekas menggiling bumbu meminta seorang pembantu
dari Rasulullah SAW. Rasululah menolak permintaan puterinya, seraya berkata: “Bagaimana dengan janjiku kepada Abdul
Haitam?”
Kisah di atas menggambarkan ketegasan
Rasulullah SAW dalam menepati janji kepada umatnya. Beliau lebih mendahulukan
kepentingan Abdul Haitam daripada puterinya . Nabi tidak menginginkan umatnya
menjadi korban hanya gara gara tidak disiplin dengan janji.
Menepati janji merupakan bagian dari
ciri-ciri kaum beriman. Dengan menepati janji, semangat kesatuan, kualitas
hidup, dan etos kerja umat dapat tercipta dengan baik. Tak sedikit tali
persaudaraan dan persahabatan yang telah di pupuk dengan baik menjadi
retak hanya gara-gara pengkhianatan
terhadap janji.
Oleh karena itu, islam melarang umatnya
mengumbar pernyataan-pernyataan (deklarasi) serta janji-janji kosong tanpa
bukti dan kenyataan. Firman Allah : “Dasar besar bagi umat yang suka berkata
tanpa membuktikan apa yang dikatakannya”. (QS. Ash-shaf [61]:3)
Radullulah menggolongkan orang yang suka inkar janji sebagai
ciri perbuatan munafik. “Tiga ciri
perbuatan munafik” sabda Nabi SAW yaitu: (H.R Bukhari dan Muslim)
1. Bila
berbicara dia dusta
2. Bila
berjanji menyalahi
3. Bila
diamanati mengkhianati
Minimal ada tiga dampak positif bagi
umat manusia yang senantiasa menepati janji, yaitu:
1. Tidak
ada unsur yang di kecewakan dan di rugikan dalam pergaulan
2. Tidak
ada waktu yang tersita dalam meningkatkan kualitas kerja (etos kerja)
3. Membiasakan
hidup berdisiplin
Demikian pentingnya menepati janji, sehingga
para ulama di masa lalu sangat berhati-hati dan tidak gampang mengumbar janji.
Itu sebabnya, Ibnu Mas’ud apabila berjanji ia mengatakan insya Allah.
Al-Quran juga mendorong kita untuk
selalu menepati janji (QS. Al-Maidah[5]:1). Menghormati ayat ini, pakar tafsir
Al-Maraghi menjelaskan tiga hal janji yang harus di tepati yaitu:
1. Janji
kepada Allah
2. Kepada
diri sendiri
3. Janji
kepada sesama manusia
Ketiga bentuk janji ini merupakan kaitan
organik yang tak apat di pisahkah. Bila manusia konsisten dengan tiga bentuk
janjian ini, ia akan dapat membentuk dirinya menjadi tegar beraktivitas, memilikikreasi
dan garapan kerja yang beretika dan berbudaya lembek, malas, cenderung
menyimpang (korup).
Di zaman pembangunan ini, kita di tuntut
untuk selalu membuktikan kesatuan antara pernyataan dan perbuatan. Dalam
menungkatkan kualitas dan taraf hidup umat tidak hanya cukup memberikan
janji-janji abstrak yang tidak dipahami tanpa dapat ditepati dengan prestasi
dan amal perbuatan.
D.
HIKMAH MENEPATI JANJI
Menepati janji
merupakan salah satu kriteria dari keimanan seseorang. Dengan demikian, orang
yang tidak dapat menepati janji belum memiliki iman yang utuh. Bahkan Nabi
memasukkan orang yang tidak dapat menepati janji-janjinya ke dalam orang
munafik (seperti yang sudah dikemukakan di atas). Jadi, kebaikan seorang Muslim
tidak hanya terletak pada penunaian ibadah saja, tetapi juga interaksi jiwanya
dengan ajaran-ajaran Islam, keluhuran akhlaknya, dan juga penunaian
janji-janjinya dan tidak melakukan penipuan serta pengkhianatan terhadap
janjijanjinya.
Menepati
janji merupakan kunci sukses dalam komunikasi. Orang yang selalu menepati janji
akan mudah menjalin komunikasi dengan orang lain. Sekali saja orang mengingkari
janjinya, maka orang lain akan sulit memberikan kepercayaan kepadanya.
Ketika semua orang, apa pun status, profesi dan pekerjaannya senantiasa
menepati janji yang telah diikrarkannya, maka kehidupan ini akan damai dan
indah. Saling percaya, menghormati, dan mengasihi akan merebak di semua sisi
kehidupan manusia. Semoga Allah SWT memberi kemampuan kepada kita untuk menjadi orang-orang
yang senantiasa menepati janji sebagai wujud ketaatan kepada Allah SWT. Serta
dapat memuliakan dan membina jalinan antar sesama.
Beberapa
hikmah menepati janji yaitu:
1.
Dengan menepati janji, kita terhindar dari sifat munafik.
Sebab, perilaku orang yang munafik salah satunya adalah ingkar janji.
2.
Dengan menepati janji dapat menjadi jalan untuk masuk
surga Firdaus. Surga Firdaus ini hanya diperuntukkan bagi orang yang memiliki
sifat-sifat baik.
3.
Dengan menepati janji, kita akan terbebas dari
tuntutan baik di dunia maupun di akhirat. Setiap janji akan diminta
pertanggungjawabannya.
4.
Dengan menepati janji, kita meneladani sifat Allah,
yang tidak pernah mengingkari janji-Nya.
5.
Dengan menepati
janji, kita akan dipercaya orang lain. Salah satu sifat Nabi SAW. yang mengantarkannya dipilih Allah menjadi Nabi
dan Rasul-Nya adalah karena ia adalah orang yang tepercaya.
6.
Dengan menepati janji, kita akan menjadi pribadi yang
berwibawa, tidak dilecehkan, dan akan mendapatkan prasangka baik dari orang
lain.
7.
Dengan
menepati janji kita akan terhindar dari dosa besar dan akan meraih keutamaan.
Mengingkari janji antara sesama Muslim
hukumnya haram,
sekalipun terhadap orang kafir, lebih-lebih terhadap sesama Muslim. Jadi, memenuhi janji termasuk
keutamaan, sedangkan mengingkarinya dosa besar.
8.
Dengan
menepati janji, jalinan antar individu akan terjalin harmonis dan semakin erat.
Menepati janji merupakan wujud dari memuliakan, menghargai, dan menghormati
manusia.
9. Dengan
menepati janji, kita digolongkan menjadi golongan Nabi Muhammad SAW.
E. BAHAYA INGKAR JANJI
Ingkar janji alias berbuat kebohongan. Hampir setiap orang yang pernah berhubungan
dengan orang lain kami kira sudah pernah merasakan, betapa pahitnya dibohongi
orang lain dengan ingkar janji. Memang ingkar janji itu penuh dengan madharat,
banyak sisi negatif yang akan timbul akibat ingkar janji ini. Di antaranya :
1.
Dengan mengingkari janji, orang itu termasuk orang
yang munafik. Sebab, perilaku orang yang munafik salah satunya adalah ingkar
janji.
2.
Dengan mengingkari janji maka semakin dijauhkan dari
surga Firdaus. Sebab, surga Firdaus
hanya diperuntukkan bagi orang yang memiliki sifat-sifat baik.
3.
Dengan mengingkari janji, tidak akan dipercaya orang
lain. Bahkan orang-orang terdekat pun
juga tidak akan percaya.
4.
Dengan mengingkari janji, kita tidak memiliki wibawa,
sering dilecehkan, dan selalu mendapatkan prasangka buruk dari orang lain.
5.
Dengan mengingkari janji, berarti telah melakukan dosa
besar.
6.
Dengan
mengingkari janji, jalinan antar individu akan terputus bahkan bias saling
bermusuhan. Jika orang yang diingkari itu tidak rela, maka akan bereaksi dan
timbul kemarahan. Jika marah tak terkendali, bisa menimbulkan pertengkaran,
perkelahian, bahkan bisa menyebabkan pembunuhan.
7.
Jika pemimpin ingkar janji terhadap rakyatnya, maka
bukan mustahil akan terjadi pemberontakan dan prahara di negerinya. Jika
periodenya habis, jangan harap bisa terpilih lagi sebagai pemiumpin. Jika yang
ingkar janji suatu perusahaan terhadap karyawannya. sering menimbulkan demo
yang bisa membangkrutkan perusahaan itu sendiri.
Allah SWT akan mengutuk keras dan melaknat serta menimpakan bencana
terhadap orang yang ingkar janji, baik itu berjanji kepada Allah maupun
berjanji terhadap saesama manusia. Ingkar janji adalah merupakan indikasi orang
munafik, karena ciri-ciri orang munafik adalah suka berdusta, suka ingkar janji
dan suka mengkhianati teman.
F. MENJAUHI SIFAT MUNAFIK/ INGKAR JANJI
Beragam
manusia menghiasi kehidupan ini. Berbagai sifat dan karakter juga bisa mengisi
kehidupan. Tidak hanya orang dengan kepribadian baik yang mengisi keuniversalan
alam. Namun, sifat dan karakter yang kurang baik juga mewarnai denyut
aktivitas. Menjadi orang baik adalah harapan semua manusia. Tidak ada orang
yang ingin hidupnya diisi dengan perbuatan dosa. Penyebab seseorang berbuat
dosa pun bervariasi karena setiap orang memiliki sifat yang berbeda. Ada yang
berupa kepentingan pribadi, adapula yang karena kepentingan bisnis. Kepentingan
pribadi pun juga sangat luas, misalnya ambisi dalam menduduki jabatan tertentu.
Beragam sifat kurang baik pun mengisi keuniversalan manusia. Mulai dari sifat yang berdosa kecil hingga besar. Itulah namanya kehidupan. Warna warni karakter, sifat selalu ada dalam kehidupan.
Beragam sifat kurang baik pun mengisi keuniversalan manusia. Mulai dari sifat yang berdosa kecil hingga besar. Itulah namanya kehidupan. Warna warni karakter, sifat selalu ada dalam kehidupan.
Salah
satu sifat yang tergolong tidak baik adalah sifat munafik. Seringkali, kita
mendengar kata munafik. Kadangkala kita tidak mengetahui apakah sifat munafik
tersebut dan bagaimanakah tanda-tanda orang yang tergolong munafik.
Munafik merupakan salah satu sifat kurang terpuji.
Namun, yang lebih utama adalah menjauhi sifat-sifat munafik. Untuk lebih memudahkan menghilangkan sifat munafik, kita perlu mengetahui tanda-tanda sifat munafik tersebut. Dengan mengenali sifat tersebut, kita akan lebih mudah menjauhi sifat munafik. Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh HR. Bukhori Muslim mengemukakan ‘’Ayatul munafiqhi shalasha idza qhadasha qhudaba. Wa idha wa ada akh lafa. Wa idza’ tumina qho na.” Yang artinya adalah tanda orang munafik itu tiga jika berkata dusta dan jika berjanji menyalahi dan jika dipercaya khianat (cidera janji). (HR. Bukhori Muslim)
Namun, yang lebih utama adalah menjauhi sifat-sifat munafik. Untuk lebih memudahkan menghilangkan sifat munafik, kita perlu mengetahui tanda-tanda sifat munafik tersebut. Dengan mengenali sifat tersebut, kita akan lebih mudah menjauhi sifat munafik. Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh HR. Bukhori Muslim mengemukakan ‘’Ayatul munafiqhi shalasha idza qhadasha qhudaba. Wa idha wa ada akh lafa. Wa idza’ tumina qho na.” Yang artinya adalah tanda orang munafik itu tiga jika berkata dusta dan jika berjanji menyalahi dan jika dipercaya khianat (cidera janji). (HR. Bukhori Muslim)
Salah
satu tanda sifat munafik terdapat pada orang yang suka berdusta. Bohong
merupakan sifat yang tercela. Seringkali kita menemui orang yang suka
mengatakan dusta. Umumnya, orang yang suka berdusta sekali maka dia akan terus
berbohong sebagaimana terperinci pada artikel saya sebelumnya mengenai
hilangnya kejujuran. Berbagai penyebab yang membuat orang suka berdusta. Ada
yang suka berdusta memang dikarenakan karakternya memang seperti itu dan
adapula yang suka berdusta karena keadaan atau kondisi yang membuat bohong
lebih baik. Namun, berbagai alasan dusta tidak dapat dibenarkan karena dusta
adalah perbuatan yang mengandung dosa.
Selain
dusta, orang yang ingkar janji juga termasuk dalam tanda-tanda orang munafik.
Orang yang tidak pernah menepati janjinya termasuk dalam golongan orang
munafik. Mereka mudah berkata janji tetapi tidak bisa menepatinya. Ingkar janji
seringkali kita jumpai. Tidak hanya dalam kehidupan masyarakat biasa, tetapi
juga sering dijumpai apabila mendekati pemilihan umum, baik pemilihan kepala
daerah hingga eksekutif. Sebagai contoh, seorang calon kepala daerah dalam
melaksanakan kampanye mudah sekali berbicara janji di depan rakyatnya.
Tujuannya, adalah menarik simpati warga untuk mendukungnya menjadi pemimpin
daerah. Manakala calon pemimpin tersebut meraih suara banyak hingga membuatnya
terpilih menjadi kepala daerah, maka janji-janjinya semakin lama semakin pudar
dan calon pemimpin tersebut tidak menepatinya. Hal ini tidak bisa dilepaskan
dari berbagai faktor, misalnya kepentingan pribadi yang ingin menumpuk harta
karena telah mendapatkan kesempatan emas hingga kepentingan politik. Oleh
karena itu, hendaknya setiap manusia menjadi orang yang amanah. Artinya
manakala mereka berjanji maka ucapannya dapat dipercaya.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Janji menurut Kamus Bahasa Indonesia adalah perkataan yang menyatakan
kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat. Pengertian lain menyebutkan,
bahwa yang disebut dengan janji adalah pengakuan yang mengikat diri sendiri
terhadap suatu ketentuan yang harus ditepati atau dipenuhi. Macam-macam janji
yaitu janji dengan Allah, diri kita sendiri, dan kepada sesama manusia.
Pada dasarnya segala janji yang baik yakni janji yang tidak bertentangan
dengan ajaran agama, wajib ditunaikan, wajib dipenuhi. Namun boleh jadi hukum
janji itu bisa berubah. Ini menurut M.Yunan Nasution dalam khutbahnya, menjadi:
Sunnah memenuhinya. Artinya boleh ditinggalkan. Sunnah tidak memenuhinya. Wajib
tidak memenuhi janjinya. Yakni janji untuk berbuat jahat.
Beberapa
hikmah menepati janji yaitu: Dengan menepati janji, kita terhindar dari sifat munafik.
Sebab, perilaku orang yang munafik salah satunya adalah ingkar janji. Lalu, dengan menepati
janji dapat menjadi jalan untuk masuk surga Firdaus. Surga Firdaus ini hanya
diperuntukkan bagi orang yang memiliki sifat-sifat baik. Lalu, dengan menepati
janji, kita akan terbebas dari tuntutan baik di dunia maupun di akhirat. Setiap janji akan diminta
pertanggungjawabannya, dll. Ingkar janji itu penuh dengan madharat, banyak sisi
negatif yang akan timbul akibat ingkar janji ini. Di antaranya : Dengan
mengingkari janji, orang itu termasuk orang yang munafik. Sebab, perilaku orang
yang munafik
salah satunya adalah ingkar janji. Lalu, dengan mengingkari janji maka semakin
dijauhkan dari surga Firdaus. Sebab, surga Firdaus hanya diperuntukkan bagi orang yang memiliki
sifat-sifat baik. Dengan mengingkari janji, tidak akan dipercaya orang lain.
Bahkan orang-orang terdekat pun juga
tidak akan percaya, dll.
Kita
sebagai umat muslim yang baik harus menjauhi sifat munafik/ingkar janji. Sifat itu
diantaranya munafik, berdusta, dll. Kita harus menjadi pribadi muslim yang bisa
mengamalkan nilai islam didalam masyarakat salah satunya menepati janji.
B. SARAN
Seharusnya kita sebagai umat muslim
harus lebih berhati-hati dalam berjanji. Karena janji adalah hutang sampai
matipun itu akan tetap ditagih. Maka dari itu, apabila kita memang tidak mampu
menepati janji hendaknya tidak usah mengatakan janji. Sebab Allah sangat membenci
orang-orang yang berbohong (mengingkari janji) dan itu merupakan salah satu
ciri dari orang yang munafik. Selanjutnya saya sebagai penulis mengharapkan
kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca, demi kebaikan
makalah ini kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Ayub, Mohammad E. 1996. Manajemen Masjid: petunjuk praktis bagi
para pengurus. Jakarta: Gema Insani Press.
Branson.
1999. Belajar
“Civic
Education” dari Amerika. Yogyakarta: Lembaga
Kajian Islam dan Sosial (LKIS).
Chamim, A.I .dkk. 2001. Pendidikan Kewarganagaraan
(Menuju Kehidupan yang Demokratis dan Berkeadaban). Yogyakarta: Majelis
Pendidikan Tinggi dan Pengembangan (Dikitilitbang) Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Cipto, B. dkk. 2002. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic
Education). Yogyakarta: Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pendidikan
(LP3) UMY.
Ghufron A Mas'adi. 2002. Fiqh Muamalah Konstekstual. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Iman, Fauzul. 2005. Lensa Hati. Yogyakarta: Pustaka Pesantren.
Latief, Hilman dan
Zezen Zaenal Mutaqin. 2015. Islam dan
Urusan Kemanusiaan: Konflik, Perdamaian, dan Filantropi. Jakarta: Serambi.
Misrawi,
Zuhairi.
2010. Al-Qur'an Kitab Toleransi:
Tafsir
Tematik Islam. Rahmatan Lil
'Ȃlamȋn. Jakarta: Pustaka
Oasis.
Musa As-Syarif, Muhammad. 2004.
Meremehkan Janji. Jakarta: Gema Insani Press.
Oesman, O. & Alfian. 1990. Pancasila Sebagai Ideologi
dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Jakarta:
BP-7 Pusat.
Rasyid,
Daud. 1998. Islam dalam Berbagai Dimensi.
Jakarta: Gema Insani Press.
Sudarsono, Heri. 2004. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Yogyakarta: Adipura.
Taniredja, H. T. dkk. 2009. Pendidikan Kewarganegaraan
(di Perguruan Tinggi Muhammadiyah). Bandung: CV ALFABETA.
Zawawi, Ali dan Saifullah Ma’shum. 1999.
Penjelasan Al-Qur’an tentang krisis sosial,
ekonomi, dan politik. Jakarta: Gema Insani Press.
Maaf, ijin copas
ReplyDelete