HAKIKAT AKHLAK SEBAGAI MODAL KEHIDUPAN SOSIAL


BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Akhlak merupakan tiang yang menopang hubungan yang baik antara hamba dengan Allah SWT (habluminallah) dan antar sesama umat (habluminannas). Akhlak yang baik akan hadir pada diri manusia dengan proses yang panjang, yaitu melaui pendidikan akhlak. Banyak kalangan di dunia ini menawarkan pendidikan akhlak yang mereka yakini kebaikannya, tetapi tidak semua dari pendidikan tersebut mempunyai kaidah-kaidah yang benar dalam Islam. Hal tersebut dikarenakan pengetahuan yang terbatas dari pemikiran manusia itu sendiri.
Sementara pendidikan akhlak yang dibawa oleh Islam merupakan sesuata yang benar dan tidak ada kekurangannya. Pendidikan akhlak yang ditawarkan Ilslam berasal langsung dari Allah SWT yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW melaui malaikat Jibril dengan Al-Qur’an dan Sunnah kepada umat Rasulullah. 
Kedudukan akhlak dalam kehidupan manusia menempati tempat yang penting, sebagai individu, kelompok maupun masyarakat dan bangsa, sebab jatuh bangunnya suatu masyarakat tergantung pada bagaimana akhlaknya. Apabila baik akhlaknya, maka sejahteralah lahir batinnya, apabila rusak akhlaknya, maka rusaklah lahir batinnya.
Akhlak, atau moral, atau etika adalah pola tindakan yang didasarkan atas nilai mutlak kebaikan. Hidup susila dan tiap-tiap perbuatan susila adalah jawaban yang tepat terhadap kesadaran akhlak, sebaliknya hidup yang tidak bersusila dan tiap-tiap pelanggaran kesusilaan adalah menentang kesadaran itu. Kesadaran akhlak adalah kesadaran manusia tentang dirinya sendiri, dimana manusia melihat atau merasakan diri sendiri sebagai berhadapan dengan baik dan buruk. Disitulah membedakan halal dan haram, hak dan bathil, boleh dan tidak boleh dilakukan, meskipun dia bisa melakukan. Itulah hal yang khusus manusiawi. Dalam dunia hewan tidak ada hal yang baik dan buruk atau patut tidak patut, karena hanya manusialah yang mengerti dirinya sendiri, hanya manusialah sebagai subjek menginsafi bahwa dia berhadapan pada perbuatannya itu, sebelum, selama dan sesudah pekerjaan itu dilakukan. Sehingga sebagai subjek yang mengalami perbuatannya dia bisa dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya itu.  
Pada era zaman yang modern ini, kualitas akhlak seorang muslim sangat memprihatinkan. Etika dan moral mereka tidak tertata dengan cukup baik dengan pola tindakan yang tidak didasarkan atas nilai mutlak kebaikan. Kita sebagai seorang muslim sangat penting untuk mengatahui bagaimana akhlak, etika, dan moral yang baik sebagai modal sosial bagi keberhasilan hidup seseorang. Maka dari itu, penting pula kita mengetahui apa saja sumber akhlak dalam islam, pengertian akhlak itu sendiri, dan lain-lain. Oleh karena itu, penulis akan menjelaskan semuanya didalam makalah ini.


B.     RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian dari akhlak?
2. Apa perbedaan dan persamaan antara akhlak, etika dan moral?
3. Apa saja sumber akhlak dalam islam?
4. Bagaimana akhlak sebagai modal sosial bagi keberhasilan hidup seseorang?


C.     TUJUAN PENULISAN
1. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami pengertian dari akhlak.
2. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami perbedaan dan persamaan antara akhlak, etika dan moral.
3. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami sumber akhlak dalam islam.
4. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami akhlak sebagai modal sosial bagi keberhasilan hidup seseorang.


BAB II
ISI

A.          PENGERTIAN AKHLAK
                Secara etimologis (lughatan) akhlaq (bahasa Arab) adalah bentuk jamak dari khuluq yang berarti budi berkerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Berakar dari kata khalaqa yang berarti menciptakan seakar dengan khaliq (pencipta), makhluq (yang diciptakan) dan khalaq (penciptaan) (Yunahar Ilyas, 1999).
Kesamaan akar kata diatas mengisyaratkan bahwa akhlaq tercakup pengertian terciptanya keterpaduan antara kehendak khaliq (Tuhan) dengan perilaku makhluk (manusia). Dari pengertian etimologi seperti ini, akhlaq bukan saja merupakan tata aturan atau norma perilaku yang mengatur hubungan antara sesama manusia, tetapi juga norma yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan dan bahkan dengan alam semesta sekalipun (Yunahar Ilyas, 1999).
Secara terminologis (ishthilahan) ada beberapa definisi tentang akhlaq.
1. Imam Al-Ghazali
"Akhlaq adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan" (Yunahar Ilyas, 1999).
2. Ibrahim Anis
"Akhlaq adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang dengannya lahirlah macam-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan." (Yunahar Ilyas, 1999).
3. Abdul Karim Zaidan
"Akhlaq adalah nilai-nilai dan sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa yang dengan sorotan dan timbangannya seseorang dalam menilai perbuatannya baik atau buruk, untuk kemudian memilih melakukan atau meninggalkannya." (Yunahar Ilyas, 1999).
Ketiga definisi yang dikutip diatas sepakat menyatakan bahwa akhlaq atau khuluq adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia, sehingga dia akan muncul secara spontan bilamana diperlukan, tanpa memerlukan dorongan dari luar, serta tidak memerlukan pemikiran atau pertimbangan terlebih dahulu. Dalam Mu'jam al-Wasith disebutkan min ghairi hajah ila fikr wa ru'yah (tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan). Dalam Ihya' Ulum ad-Din dinyatakan tashduru al-af al bi suhulah wa yusr, min ghairi hajah ila fikr wa ru'yah (yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan) (Yunahar Ilyas, 1999).
Sifat spontanitas dari akhlaq tersebut dapat diilustrasikan dalam contoh berikut ini. Bila seseorang menyumbang dalam jumlah besar untuk pembngunan masjid setelah mendapat dorongan dari seorang da'i (yang mengemukakan ayat-ayat dan hadist-hadist tentang keutamaan membangun masjid didunia). Maka orang tadi belum bisa dikatakan mempunyai sifat pemurah, karena kepemurahannya waktu itu lahir setelah mendapat dorongan dari luar dan belum muncul lagi pada kesempatan yang lain. Boleh jadi, tanpa dorongan seperti itu, dia tidak akan menyumbang, atau kalaupun menyumbang hanya dalam jumlah sedikit. Tapi manakala tidak ada doronganpun dia tetap menyumbang kapan dan dimana saja, barulah bisa dikatakan dia mempunyai sifat pemurah. Contoh lain, dalam menerima tamu. Bila seseorang membeda-bedakan tamu yang satu dengan yang lain, atau kadangkala ramah dan kadangkala tidak, maka orang tadi belum bisa dikatakan mempunyai sifat memuliakan tamu. Sebab seseorang yang memuliakan akhlaq memuliakan tamu, tentu akan selalu memuliakan tamunya (Yunahar Ilyas, 1999).
Dari keterangan diatas jelaslah bagi kita bahwa akhlaq itu haruslah bersifat konstan, spontan, tidak temporer dan tidak memerlukan pemikiran dan pertimbangan serta dorongan dari luar. Firman Allah SWT dalan Surat Al-Aḥzab ayat 21:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Artinya: "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah." (QS. Al-Aḥzab: 21)
Sekalipun dari beberapa definisi diatas kata akhlaq bersifat netral belum menunjukan kepada baik dan buruk, tapi pada umumnya apabila disebut sendirian, tidak dirangkai dengan sifat tertentu, maka yang dimaksud adalah akhlak yang mulia. Misalnya bila seseorang berlaku tidak sopan kita mengatakan padanya "kamu tidak berakhlaq". Padahal tidak sopan itu adalah akhlaqnya.[1]
B.     PERBEDAAN DAN PERSAMAAN AKHLAK, MORAL DAN ETIKA
Didalam kehidupan islami, terdapat istilah akhlak, etika dan moral. Ketiganya menentukan nilai baik dan buruk semua sikap serta perbuatan manusia dalam kehidupan. Perbedaannya terletak pada standar masing-masing. Bagi akhlak standarnya adalah al-Qur’an dan Sunnah, bagi etika standarnya pertimbangan akal pikiran, dan bagi moral standarnya adat kebiasaan yang umum berlaku dimasyarakat. Sekalipun dalam pengertiannya antara ketiga istilah diatas (akhlak,etika dan moral) dapat dibedakan, namun dalam pembicaraan sehari-hari, bahkan dalam beberapa literatur keislaman, penggunaannya sering tumpang tindih.

1.         Pengertian Akhlaq
Akhlaq atau khuluq adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia, sehingga dia akan muncul secara spontan bilamana diperlukan, tanpa memerlukan pemikiran atau pertimbangan lebih dahulu, serta tidak memerlukan dorongan dari luar.
2.      Pengertian Etika
Etika merupakan suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia kepada manusia lainnya, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia didalam perbuatan mereka dan menunjukan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat. Sehingga dapat diketahui bahwa etika itu menyelidiki segala perbuatan manusia kemudian menetapkan hukum baik atau buruk (Ahmad Amin, 1993).
Etika, seperti halnya dengan istilah yang menyangkut ilmiah lainnya berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu, ethos. Kata ethos ini dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti: tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap dan cara berpikir. Dalam bentuk jamak taetha artinya adalah adat kebiasaan. Dan arti inilah yang menjadi latar belakang terbentuknya istilah “etika” yang oleh filosuf besar Yunani, Aristoteles (384-322 SM) sudah dipakai sebagai filsafat moral.
Etika merupakan salah satu cabang ilmu dari filsafat yang mengkaji tentang perilaku seseorang dalam menentukan nilai perbuatan baik atau buruk, sehingga dalam menetapkan nilai tersebut menggunakan akal pikiran atau dengan kata lain, dengan akal-lah orang dapat menentukannya baik atau buruk.
Kita memberikan timbangan kepada berbagai perbuatan “baik atau buruk, benar atau salah, hak atau batal.” Hukum ini merata diantara manusia, baik yang tinggi kedudukannya maupun yang rendah. Hal tersebut dapat diucapkan oleh ahli hukum didalam soal undang-undang, oleh ahli perusahaan kepada perusahaan mereka, bahkan oleh anak-anak dalam permainan mereka; maka apakah artinya “baik atau buruk?” dan dengan ukuran “apakah” kita mengukur perbuatan yang akan kita beri hukum “baik atau buruk?”. Etika, suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang dilakukan oleh manusia pada yang lainnya, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka.
Tujuan etika dalam pandangan filsafat ialah mendapatkan ide yang sama bagi seluruh manusia disetiap waktu dan tempat tentang ukuran tingkah laku yang baik dan buruk yang dapat diketahui oleh akal pikiran manusia. Dengan demikian, pokok persoalan etika ialah segala perbuatan yang timbul dari orang yang melakukan dengan ikhtiar dan sengaja dan ia mengetahui kapan ia melakukannya.
Etika adalah menampilkan prinsip-prinsip umum untuk memperkirakan nilai hakiki dari tujuan akhir. Secara ilmiah, etika dibicarakan secara terpisah dari keyakinan agama ataupun pandangan metafisika tetapi pembahasan hakikat tertinggi dari tujuan itu secara tuntas dalam rangka mendapatkan kepastian yang baik dan yang buruk.
Islam, sebagaimana Etika Filosofis, juga berkeyakinan bahwa semua tujuan harus menyatu dalam tujuan terakhir.  Mengapa harus demikian?  Terhadap pertanyaan ini islam memberikan jawaban singkat. Kehidupan berasal usul dari keesaan eksistensi yang merupakan menifestasi dari keesaan Allah.[2]
3.      Pengertian Moral
Kata yang cukup dekat dengan “Etika” adalah “Moral”. Kata terakhir ini berasal dari bahasa latin mos (jamak: mores) yang berarti juga: kebiasaan, adat.Dalam bahasa Inggris dan banyak bahasa lain, termasuk bahasa Indonesia (pertama kali dimuat dalam KBBI 1998), kata mores masih dipakai dalam arti yang sama. Jadi, etimologi kata “etika” sama dengan etimologi kata “moral”, karena keduanya berasal dari kata yang berarti adat kebiasaan. Hanya bahasa asalnya berbeda: yang pertama berasal dari bahasa yunani, sedang yang kedua berasal dari bahasa latin (K. Bertens, 2007).
Moral merupakan nilai dasar yang terdapat dalam suatu masyarakat yang dapat digunakan dalam memilih antara nilai hidup (moral) serta adat istiadat yang menjadi dasar untuk menunjukkan bagaimana baik dan buruk. Perbuatan yang mencakup akhlak, etika dan moral yaitu seperti tingkah laku atau tata krama dalam kehidupan sehari-hari dalam lingkungan masyarakat.
Perbedaan lain antara etika dan moral adalah etika lebih bersifat teori sedang moral lebih bersifat praktis, etika memandang tingkah laku manusia secara universal (umum) sedangkan moral secara lokal (khusus), etika menerangkan tetapan ukuran yang digunakan, sedangkan moral merupakan hasil realisasi dari penetapan ukuran tersebut dalam perbuatan.
Moral merupakan suatu nilai mutlak yang terdapat dalam kehidupan bermasyarakat secara utuh. Penilaian terhadap moral diukur dari kebudayaan masyarakat setempat. Moral ialah suatu perbuatan seseorang dalam berinteraksi dengan sesama manusia, jika yang dilakukan seseorang tersebut sesuai dengan nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat tersebut dan dapat diterima serta memuaskan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai mempunyai moral yang baik, begitu juga sebaliknya. Moral adalah produk dari budaya dan Agama.

Persamaan Akhlak, Etika dan Moral
Ada beberapa persamaan antara akhlak, etika, dan moral  yang dapat dipaparkan sebagai berikut:
1.      Pertama; akhlak, etika, dan moral mengacu kepada ajaran atau gambaran tentang perbuatan, tingkah laku, sifat, dan perangai yang baik.
2.      Kedua; akhlak, etika, moral  merupakan prinsip atau aturan hidup manusia untuk menakar martabat dan harakat kemanusiaannya. Sebaliknya semakin rendah kualitas akhlak, etika, moral seseorang atau sekelompok orang, maka semakin rendah pula kualitas kemanusiaannya.
3.      Ketiga; akhlak, etika, moral seseorang atau sekelompok orang tidak semata-mata merupakan faktor keturunan yang bersifat tetap, stastis, dan konstan, tetapi merupakan potensi positif yang dimiliki setiap orang. Untuk pengembangan dan aktualisasi potensi positif tersebut diperlukan pendidikan, pembiasaan, dan keteladanan, serta dukungan lingkungan, mulai dari lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat secara tersu menerus, berkesinambungan, dengan tingkat konsistensi yang tinggi.
Perbedaan Akhlak, Etika dan Moral
Dari seginya di bagi menjadi 2 bagian yaitu; berdasarkan tolak ukur dan berdasarkan sifat.
1.      Berdasarkan Tolak Ukur
a.       Akhlak tolak ukurnya al-qur’an dan As Sunnah
b.      Etika tolak ukurnya pikiran atau akal
c.       Moral tolak ukurnya norma hidup yang ada di masyarakat berupa adat atau aturan tertentu
2.      Berdasarkan Sifat
a.       Etika bersifat teori
b.      Akhlak dan moral bersifat praktis

C.    SUMBER AKHLAK DALAM ISLAM
Maksud dari sumber akhlak ialah yang menjadi ukuran baik dan buruk atau mulia dan tercela. Sebagaimana keseluruhan ajaran islam, sumber akhlak adalah Al-Qur’an dan Sunnah, bukan akal pikiran atau pandangan masyarakat sebagaimana pada konsep etika dan moral dan pula bukan karena baik atau buruk dengan sendirinya sebagaimana pandangan Mu’tazilah.
Majid Fakhry dalam bukunya Etika dalam Islam (1996) menjelaskan bahwa Mu’tazilah adalah moralis pertama dalam islam. Korelasi antara pengetahuan dan kebenaran menurut Majid Fakhry dalam bukunya Etika dalam Islam (1996) adalah kunci tesis Mu’tazilah. Jika kemampuan dianggap sebagai dasar etika Mu’tazilah, maka keadilan dan kebijaksanaan Tuhan merupakan 2 dasar lain dari etika teologis.[3]
Dalam Islam, dasar atau alat pengukur yang digunakan untuk menyatakan baik-buruknya sifat seseorang itu adalah Al-Qur’an dan As-Sunah Nabi SAW. Apa yang baik menurut Al-Qur’an dan As-Sunah, itulah yang baik untuk dijadikan pegangan dalam kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, apa yang buruk menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, itulah yang tidak baik dan harus dihindari. Dasar akhlak yang dijelaskan dalam Al-Qur’an yaitu:
.لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيْرًا
Artinya :”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (Q.S. Al-Ahzab: 21)
Sedangkan dalam Al-Qur’an hanya ditemukan bentuk tunggal dari akhlak yaitu khuluq (QS. Al-Qalam (68): 4)
وإنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيْمٍ
Artinya: “Dan sungguh-sungguh engkau berbudi pekerti yang agung. (QS. Al-Qalam (68): 4)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: 
أَكْمَلُ المُؤْمِنِيْنَ إِيْمَاناً أَحْسَنُهُمْ خُلُقاً
Artinya: “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. (H.R. At-Tirmidzi)
Sungguh Rasulullah memiliki akhlak yang sangat mulia. Segala perbuatan dan perilaku beliau berpedoman pada Al-Qur’an. Aisyah memberikan gambaran yang sangat jelas akan akhlak beliau dengan mengatakan:
كَانَ خُلُقُهُ القُرْآن
Artinya: “Akhlak beliau adalah Al-Qur’an.” (H.R. Abu Dawud dan Muslim)
Segala tingkah laku dan tindakan Rasul, baik yang lahir maupun batin senantiasa mengikuti petunjuk dari Al-Qur’an. Al-Qur’an senantiasa mengajarkan umat Islam untuk berbuat baik dan menjauhi segala perbuatan yang buruk. Ukuran baik dan buruk ini ditentukan oleh Al-Qur’an.
Setiap orang yang dekat dengan Rasulullah SAW dalam akhlaknya maka ia dekat dengan Allah, sesuai kedekatannya dengan beliau. Setiap orang yang memiliki kesempurnaan  akhlak tersebut, maka ia pantas menjadi seorang raja yang ditaati yang dijadikan rujukan oleh seluruh manusia dan seluruh perbuatannya dijadikan panutan. Begitupun manusia yang tidak mempunyai akhlak pantas untuk pergi dari negeri ini. Karena ia sudah dekat dengan setan yang terlaknat dan terusir, sehingga ia harus diusir.
Dasar akhlak dari hadits yang secara eksplisit menyinggung akhlak tersebut yaitu sabda Nabi:
اِنَّمَابُعِثْتُلِأُتَمِّمَمَكَارِمَالْأَخْلَاقَ
Artinya : “Bahwasanya aku (Rasulullah) diutus untuk menyempurnakan keluhuran akhlak”. (H.R. Ahmad)
Akhlaqul karimah merupakan sumber asas pedoman hidup bagi umat muslim yang dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Hadist rasul.
Dalam konsep akhlak, segala sesuatu itu dinilai baik atau buruk, terpuji atau tercela, semata-mata karena Syara’ (Al-Qur’an dan Sunnah) menilainya dengan demikian. Kenapa sifat sabar, syukur, pemaaf, pemurah, dan jujur misalnya dinilai baik? Sifat-sifatbaik itu dinilai tidak lain karena Syara’. Begitu juga sebaliknya, kenapa pemarah, tidak bersyukur, dendam, kikir dan dusta misalnya dinilai buruk? Tidak lain karena Syara’ menilainya karena demikian.
Hati nurani atau fitrah dalam bahasa Al-Qur’an memang dapat menjadikan cintaterhadap kesucian dan selalu ukuran baik dan buruk karena manusia diciptakan oleh Allah SWT. sebab itulah hati nurani manusia selalu mendambakan dan merindukan kebenaran, ingin mengikuti ajaran-ajaran Tuhan karena kebenaran itu tidak akan didapat kecuali dengan Allah sebagai sumber kebenaran mutlak. Namun fitrah manusia tidak selalu dapat berfungsi dengan semestinya karena pengaruh dari luar, seperti pengaruh pendidikan serta lingkungan. Fitrah hanyalah merupaka  potensi dasar yang perlu dipelihara dan dikembangkan. Batapa banyak manusia yang fitrahnya tertutup sehingga hati nuraninya tidak dapat melihat lagi kebenaran. Oleh sebab itu ukuran baik dan buruk tidak dapat diserahkan sepenuhnya hanya kepada hati nurani atau fitrah manusia semata. Harus dikembalikan kepada penilaian Syara’.
Demikian juga hanya dengan akal pikiran. Ia hanyalah salah satu kekuatan yang dimiliki manusia untuk mencari kebaikan atau keburukan. Dan keputusannya bermula dari pengalaman empiris kemudian diolah menurut kemampuan pengetahuannya. Oleh karena itu keputusannya yang diberikan akal hanya bersifat spekulatif dan subjektif.
Demikianlah tentang hati nurani dan akal pikiran. Bagaimana dengan pandangan masyarakat? Pandangan masyarakat juga bisa dijadikan salah satu ukuran baik dan buruk, tetapi sangat relatif, tergantung sejauh mana kesucian hati nurani masyarakat dan kebersihan pikiran mereka dapat terjaga. Masyarakat yang hati nuraninya sudah tertutup dan akal pikiran mereka sudah dikotori oleh sikap dan perilaku yang tidak terpuji tentu tidak bisa dijadikan ukuran. Hanya kebiasaan masyarakat yang baiklah yang bisa dijadikan ukuran.
Dari uraian diatas jelaslah bagi kita bahwa ukuran yang pasti (tidak spekulatif), objektif, komprehensif, dan universal untuk menentukan baik dan buruk hanyalah Al-Qur'an dan As-Sunnah, bukan yang lain-lainnya.

D.    AKHLAK SEBAGAI MODAL KEHIDUPAN SOSIAL

Sesuatu perbuatan dipandang baik oleh masyarakat umum atau dipandang buruk. Dimana setiap orang dapat menilai sesuatu perbuatan itu perbuatan baik dan sesuatu perbuatan lainnya itu buruk. Perasaan terhadap sesuatu perbuatan itu baik atau perbuatan sesuatu itu buruk itu yang disebut moral sense. Umpamanya ada seseorang yang berbuat kasar terhadap orang tua, orang akan menilai bahwa perbuatan itu adalah tidak baik. Demikian pula terhadap perbuatan seperti; kikir, sombong, ujub takabur, aniaya, malas, dsb. Tetapi sebaliknya seumpanya ada seseorang yang bersikap ramah tamah, sabar, rendah hati, dermawan, adil, jujur, dan sebagainya, orang akan menilai bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan yang baik dan terpuji. [4]
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Artinya: ”(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali ‘Imran: 134)
Akhlak memang merupakan batas pemisah antara yang orang berakhlak dengan orang yang tidak berakhlak. Akhlak juga merupakan roh Islam yang mana agama tanpa akhlak samalah seperti jasad yang tidak bernyawa.karena salah satu misi yang dibawa oleh Rasulullah SAW ialah membina kembali akhlak manusia yang telah runtuh sejak zaman para nabi yang terdahulu.
Selain itu juga, akhlak ialah ciri-ciri kelebihan di antara manusia karena akhlak merupakan simbol kesempurnaan iman, ketinggian takwa dan kealiman manusia yang berakal. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda yang bermaksud: “Orang yang sempurna imannya ialah mereka yang paling baik akhlaknya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Hibban dan Hakim, Shahihul Jaami’ No. 1230)
Kekalnya suatu ummah juga karena kokohnya akhlak dan begitulah juga runtuhnya suatu ummah itukarena lemahnya akhlaknya. Hakikat kenyataan di atas dijelaskan dalam kisah-kisah sejarah dan tamadun manusia melalui Al-Qur’an seperti kisah kaum Lut, Samud, kaum nabi Ibrahim, Bani Israel dan lain-lain. Ummah yang berakhlak tinggi dan sentiasa berada di bawah keridhoan dan perlindungan Allah ialah ummah yang seperti pada zaman Rasulullah SAW.
Tidak adanya akhlak yang baik pada diri individu atau masyarakat akan menyebabkan manusia krisis akan nilai diri, keruntuhan rumah tangga, yang tentunya hal seperti ini dapat membawa kehancuran dari suatu negara. Pencerminan diri seseorang  juga sering digambarkan melalui tingkah laku atau akhlak yang ditunjukkan.
Allah SWT. telah menetapkan bahwa umat muslim adalah umat yang paling baik. Kebaikan ini dikarenakan oleh adanya sifat akhlak yang baik yang telah tumbuh dalam umat muslim. Sifat akhlak tersebut, secara umum telah dijelaskan dalam surah Āli ‘Imrān ayat 110:
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْراً لَّهُم مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
Artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 110).
Tiga sifat-sifat akhlak tersebut diatas yang disebutkan pada ayat 110 Q.S.Ali Imran yaitu keimanan kepada Allah SWT, memerintahkan kepada kebaikan (amar ma’rūf), dan mencegah dari kemungkaran (nahi munkar). Kepercayaan dalam bentuk iman kepada Allah SWT akan membangkitkan manusia untuk melakukan amal shaleh. Amar ma’rūf adalah cinta kepada manusia. Sedangkan nahi munkar adalah menanggulangi keburukan dan menyempitkan jalan bagi tumbuhnya keburukan dan kejahatan itu. Ini semua adalah puncak akhlak yang baik.
Akhlak merupakan jati diri bagi setiap orang karena setiap orang yang berakhlak jika dibandingkan dengan orang yang tidak berakhlak tentu akan sangat jauh berbeda. Akhlak tidak dapat dinilai atau digambarkan dengan mata uang apapun, akhlak merupakan wujud jati diri seseorang didalam pribadi seorang insan yang merupakan hasil didikan dari kedua orang tua serta pengaruh dari masyarakat sekeliling mereka.
Terbentuknya sebuah masyarakat diibaratkan sama seperti membangun sebuah bangunan. Kalau dalam pembinaan bangunan, asasnya disiapkan terlebih dahulu, begitu juga dengan membentuk masyarakat mesti di mulai dengan pembinaan asasnya terlebih dahulu. Jika asas yang dibina sangat kokoh maka tegaklah masyarakat tersebut. Jika lemah maka runtuhlah apa yang telah dibina diatasnya.
وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ
Artinya: “Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah Berbuat baik kepadamu.” (QS.al-Qashas: 77)
Akhlak memang sangat penting karena merupakan asas yang telah dilakukan oleh baginda Rasulullah SAW ketika memulai pembentukan masyarakat Islami. Sungguh akhlak itu sangat penting artinya dalam kehidupan bermasyarakat, dapat dibayangkan seperti apa jadinya bila suatu masyarakat tidak di bangun dengan asas akhlak yang mulia? Sungguh akan terjadi suatu kehancuran pada masyarakat tersebut.
"Dan tujuan akhir dari akhlak, yaitu memutuskan diri kita dari cinta kepada dunia, dan menancapkan dalam diri kita cinta kepada Allah SWT. Maka, tidak ada lagi sesuatu yang dicintai selain berjumpa dengan dzat illahi rabbi, dan tidak menggunakan semua hartanya kecuali karenanya…". Dapat disimpulkan bahwa Al-Ghazāli menempatkan kebahagiaan jiwa seorang insan sebagai tujuan akhir dan kesempurnaan dari akhlak. Kebahagiaan tertinggi dari jiwa seseorang berarti mengenal adanya Allah SWT. tanpa adanya keraguan sedikitpun (ma’rifatullah).
Allah SWT. merupakan sumber kasih sayang dalam setiap manusia dan kebenaran yang memuaskan jiwa dan rohani. Setiap manusia yang berpegang teguh pada prinsip akhlak yang baik akan mengupayakan hidupnya dengan bijak. Semua perbuatan dan amalnya diyakini keterarahan kepada Allah SWT. yang telah menanamkan segala hal yang baik dalam ciptaan. Dengan keseimbangan jiwanya, ia tidak membiarkan diri hanyut akan hal-hal bersifat material sejauh hal itu bisa menambah kesempurnaan akhlak.
1.      Penanaman Pendidikan Akhlak
Ada beberapa perkara yang menguatkan pendidikan akhlak dan meninggikannya. Ialah :
a.       Meluaskan lingkungan pikiran, yang telah dinyatakan oleh “Herbert Spencer” akan kepentingannya yang besar untuk meninggikan akhlak sungguh pikiran yang sempit itu sumber beberapa keburukan, dan akal yang kacau balau tidak dapat membuahkan akhlak yang tinggi. Kita melihat takutnya beberapa orang, disebabkan karena khurafat yang memenuhi otak mereka, dan banyak dari suku bangsa yang biadab, berkeyakinan bahwa keadilan itu hanya diwajibkan kepada orang-orang suku mereka, adapun kepada lainnya tidak dikata lain bisa merampas harta mereka atau mengalirkan darah mereka.
b.      Berkawan dengan orang yang terpilih. Setengah dari yang dapat mendidik akhlak ialah berkawan dengan oranag yang terpilih, karena manusia itu suka mencontoh, seperti mencontoh orang sekelilingnya dalam pakaian mereka, juga mencontoh dalam perbuatan mereka dan berperangai dengan akhlak mereka. Seorang ahli filsafat menyatakan: “Kabarilah saya siapa kawanmu, saya beri kabar kepadamu siapa engkau”. Maka berkawan dengan orang-orang yang berani dapat memberikan ruh keberanian pada jiwanya orang penakut, dan banyak dari orang pandai pikirannya, sebab cocok memilih kawan atau beberapa kawan yang mempengaruhi mereka dengan pengaruh yang baik dan membangun kekuatan jiwa mereka yang dahulu lemah.
c.       Membaca dan menyelidiki perjalanan para pahlawan dan yang berpikiran luar biasa. Sungguh perjalanan hidup mereka tergambar dihadapan pembaca dan memberi semangat unruk mencontoh dengan mengambil tauladan dari mereka. Suatu bangsa tidak sepi dari pahlawan, yang kalau dibaca tentu akan menimbulkan ruh yang baru yang dapat menggerakkan jiwa untuk mendatangkan perbuatan yang besar. Dan banyak orang yang terdorong mengerjakan perbuatan yang besar, karena membaca hikayatnya orang besar atau kejadian orang besar yang diceritakan. Dan yang berhubungan dengan semacam ini ialah perumpaan dan hikmah kiasan, yang banyak mempengaruhi kepada jiwa dan lebih dekat pada pikiran.
d.      Yang lebih penting memberi dorongan kepada pendidikan akhlak ialah supaya orang mewajibkan dirinya melakukan perbuatan baik bagi umum, yang selalu diperintahkan olehnya dan dijadikan tujuan yang harus dikejarnya sehingga hasil. Tujuan-tujuan ini banyak dan orang dapat memilih menurut apa yang sesuai dengan keinginan dan persediaannya, seperti menyelidiki pengetahuan atau mempertinggi satra syairnya atau usaha mengangkat bangsanya dari arah perekonomian atau politik atau agama. Sudah semestinya tiap-tiap manusia mempunyai bagian dari kepentingan umum, yang dicintai dan dikejarnya dengan demikian tumbuhlah kecintaanya terhadap sesama manusia dan disini keutamaan mendapat tanah yang subur. Dengan tidak ada bagian tersebut, ia hidup serba sempit karena hanya memikirkan kepentingan diri sendiri.
e.       Apa yang kita tuturkan didalam “kebiasaan” tentang menekan jiwa melakukan perbuatan yang tidak ada maksud kecuali menundukkan jiwa, dan menderma dengan perbuatan tiap-tiap hari dengan maksud membiasakan jiwa agar taat, dan memelihara kekuatan penolak sehingga diterima ajakan baik dan ditolak ajakan buruk.[5]
2.      Konsep 7B dalam Meraih Kesuksesan yang Hakiki
Manusia yang berpegang pada prinsip akhlak akan mengupayakan hidupnya secara bijak. Semua perbuatannya atau amalnya diyakini terarah kepada Allah yang telah menanamkan segala yang baik dalam ciptaan-Nya. Kesuksesan yang hakiki akan dapat diraih jika mengikuti konsep 7B, yaitu:
a.       Beribadah dengan benar 
b.      Bertakwa dengan baik
c.       Belajar tiada henti
d.      Bekerja keras dan ikhlas
e.       Bersahaja dalam hidup
f.       Bantu sesama dan
g.      Bersihkan hati selalu
                  Dengan tujuh konsep tersebut kita dapat mengimplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dengan akhlak yang baik, maka kesuksesan akan dengan mudah kita dapat, baik kesuksesan dunia maupun akhirat. Menguatkan nilai-nilai aqidah dan keimanan dalam jiwa.




BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Akhlak adalah buah dari keimanan dan keistiqamahan seseorang dalam menjalankan ibadah. Akhlak yang kita ketahui tersebut memiliki pengertian baik secara bahasa maupun secara istilah. Selain itu ada beberapa ulama yang juga menjabarkan pengertian akhlak sebagaimana Ibnu Miskawaih menyebutkan bahwa akhlak adalah keadaan jiwa atau sifat seseorang yang medorong melakukan sesuatu tanpa perlu mempertimbangkannya terlebih dahulu.
Etika adalah ajaran yang berbicara tentang baik dan buruk dan yang menjadi ukuran baik dan buruknya adalah akal karena memang etika adalah bagian dari filsafat. Dan Moral adalah ajaran baik dan buruk yang ukurannya adalah tradisi yang berlaku di suatu masyarakat.
Sumber akhlak adalah Al-Qur’an dan Sunnah, bukan akal pikiran atau pandangan masyarakat sebagaimana pada konsep etika dan moral dan pula bukan karena baik atau buruk dengan sendirinya sebagaimana pandangan Mu’tazirah.
Akhlak merupakan perhiasan diri bagi seseorang karena orang yang berakhlak jika dibandingkan dengan orang yang tidak berakhlak tentu sangat jauh perbedaannya.Akhlak tidak dapat dibeli atau dinilai dengan suatu mata uang apapun, akhlak merupakan wujud di dalam diri seseorang yang merupakan hasil didikan dari kedua orang tua serta pengaruh dari masyarakat sekeliling mereka. Jika sejak kecil kita kenalkan, didik serta diarahkan pada akhlak yang mulia, maka secara tidak langsung akan mempengaruhi tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari hingga seterusnya.


B.     SARAN
Kita sebagai seorang muslim harus bisa menjadi hamba Allah yang yang taat pada ajaran-Nya dan menjauhi larangan-Nya, serta menjadi seorang muslim yang dapat menerapkan etika, moral dan akhlak yang baik dan sesuai dengan ajaran islam dalam kehidupan sehari-hari.



DAFTAR PUSTAKA
Amin, Ahmad. 1991. Etika (Ilmu Akhlak). Jakarta: PT. Bulan Bintang.
Bertens, K. 2007. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Djatmika, Rachmat. 1996. Sistem Etika Islam. Jakarta: Puastaka Panjimas.
Fakhry, Majid. 1996. Etika dalam Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hakim, Khalifah Abdul. 1995. Hidup yang Islami. Yogyakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Hidayat, Nur. 2013. Akhlak Tasawuf. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Ilyas, Yunahar. 1999. Kuliah Akhlak. Yogyakarta: LPPI.


[1] Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak, (Yogyakarta, LPPI, 1999), hal.1
[2] Khalifah Abdul Hakim, Hidup yang Islami, (Yogyakarta, PT RajaGrafindo Persada, 1995), hal.167
[3] Majid Fakhry, Etika dalam Islam, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996) hal.38
[4] Rachmat Djatnika, Sistem Etika Islam, (Jakarta, Pustaka Panjimas, 1996), hal.60
[5] Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), (Jakarta, PT Bulan Bintang, 1991), hal.63

Comments

Popular posts from this blog

NASKAH BIANTARA - NGAMUMULE BUDAYA SUNDA

LAPORAN PENELITIAN PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN KECAMBAH KACANG HIJAU TERHADAP CAHAYA