ANTIBODI MONOKLONAL SEBAGAI IMUNOTEKNOLOGI DALAM PHARMACEUTICAL TECHNOLOGY
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Antibodi, juga dikenal sebagai imunoglobulin, yang
merupakan salah satu komponen terpenting dari respon imun humoral: yang
melindungi pejamu terhadap infeksi. Antibodi diklasifikasikan sebagai antibodi
poliklonal (PoAbs) dan antibodi monoklonal (mAbs), dan antibodi ini memiliki
struktur dan fungsi yang sama, tetapi berbeda satu sama lain berdasarkan asal,
produksi, dan spesifisitasnya. Antibodi monoklonal diproduksi oleh satu klon,
sedangkan antibodi poliklonal diproduksi oleh banyak klon (Büyükköroğlu dan
Åženel, 2018).
Pengetahuan akan sel B secara genetik terprogram untuk
mensintesis antibodi sangat spesifik yang telah dimanfaatkan dalam pengembangan
antibodi untuk tes diagnostik yang dikenal sebagai antibodi monoklonal.
Biasanya, respon terhadap antigen adalah heterogeneous karena epitop multipel
antigen yang dimurnikan akan menstimulasi berbagai klon sel B (Stevens, 2003).
Perawatan dengan antibodi monoklonal menjadi semakin
penting dalam onkologi klinis. Antibodi ini secara khusus menghambat jalur
sinyal dalam pertumbuhan tumor dan/atau menginduksi tanggapan imunologi
terhadap sel tumor. Dengan menggabungkan antibodi monoklonal beberapa jalur
dapat ditargetkan secara bersamaan, berpotensi menyebabkan efek aditif atau
sinergis. Secara teoritis, antibodi sangat cocok untuk digunakan dalam terapi
kombinasi, karena toksisitas tumpang tindih yang terbatas dan kurangnya
interaksi farmakokinetik (Henricks, Schellens, Huitemad, Beijnen, 2015).
Antibodi monoklonal sebagai targeting missiles merupakan imunoterapi yang menjanjikan karena
memiliki sifat mengikat secara spesifik terhadap suatu target antigen atau sel
abnormal sehingga antibodi monoklonal sangat efektif untuk dipakai sebagai
dasar terapi kanker. Antibodi monoklonal sebagai terapi kanker diinjeksikan ke
dalam tubuh pasien, molekul itu akan mencari sel kanker (antigen) sebagai
target. Antibodi monoklonal secara potensial merusak atau menghancurkan
aktivitas sel kanker atau dengan cara lain yaitu meningkatkan respons imun
jaringan tubuh melawan kanker. (Adams, G.P., et al., 2005; VonMehren, M., et
al., 2003)
Berdasarkan latar belakang tersebut maka perlu adanya
pemahaman lebih lanjut mengenai antibodi moniklonal sebagai inovasi dalam pharmaceutical technology. Oleh karena
itu, penulis akan memaparkan beberapa informasi penting terkait antibodi
monoklonal sebagai imunoteknologi dalam pharmaceutical
technology.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah pengertian
imunoteknologi dan antibodi monoklonal dan bagaimana sejarah monoklonal
antibodi?
2.
Apakah perbedaan
antibodi poliklonal dan antibodi monoklonal?
3.
Bagaimana proses monoclonal antibody engineering, teknik
hibridoma dan prosedur pembuatan antibodi monoklonal serta bagaimana mekanisme
kerja antibodi monoklonal dan pemilihan antibodi spesifik penghasil klon?
4.
Apakah antibodi
monoklonal rekombinan dan apakah target terapi antibodi monoclonal serta apakah
kegunaannya dalam penggunaan klinik?
5.
Bagaimana abzymes sebagai antibodi monoklonal yang
mengkatalisis reaksi dan bagaimana proses antibodi monoklonal chimeric dan
hybrid yang memiliki potensial klinik yang besar?
6.
Bagaimana antibodi
monoklonal dapat dikonstruksi dari Ig-gene
libraries?
C.
Tujuan
1. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami pengertian
imunoteknologi, antibodi monoklonal dan sejarah monoclonal antibody.
2. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami perbedaan
antibodi poliklonal dan antibodi monoclonal serta proses monoclonal antibody engineering, teknik hibridoma dan prosedur
pembuatan antibodi monoklonal dan mekanisme kerja antibodi monoklonal serta
pemilihan antibodi spesifik penghasil klon.
3. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami antibodi
monoklonal rekombinan dan target terapi antibodi monoklonal serta kegunaannya
dalam penggunaan klinik.
4. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami abzymes sebagai antibodi monoklonal yang
mengkatalisis reaksi, proses antibodi monoklonal chimeric dan hybrid yang
memiliki potensial klinik yang besar, dan antibodi monoklonal yang dapat
dikonstruksi dari Ig-gene libraries.
BAB II
ANTIBODI MONOKLONAL SEBAGAI IMUNOTEKNOLOGI DALAM PHARMACEUTICAL TECHNOLOGY
A.
Pengertian Imunoteknologi dan Antibodi
Monoklonal
Imunoteknologi adalah cabang penting dari
bioteknologi, yang merupakan penerapan skala industri dari prosedur imunologis
dalam diagnosis penyakit, untuk menghasilkan vaksin, untuk imunisasi massal
untuk mencegah penyakit yang lazim dan menghasilkan agen terapi imunologis
untuk menyembuhkan yang menderita. Ini adalah teknologi yang didasarkan pada
aplikasi sel dan molekul sistem kekebalan tubuh (T. Saxena, 2011).
Antibodi merupakan campuran protein di dalam darah dan
disekresi mukosa menghasilkan sistem imun bertujuan untuk melawan antigen asing
yang masuk ke dalam sirkulasi darah. Antibodi dibentuk oleh sel darah putih
yang disebut limfosit B. Limfosit B akan mengeluarkan antibodi yang kemudian
diletakkan pada permukaannya. Setiap antibodi yang berbeda akan mengenali dan
mengikat hanya satu antigen spesifik. Antigen merupakan suatu protein yang
terdapat pada permukaan bakteri, virus dan sel kanker. Pengikatan antigen akan
memicu multiplikasi sel B dan penglepasan antibodi. Ikatan antigen antibodi
mengaktivasi sistem respons imun yang akan menetralkan dan mengeliminasinya.
Antibodi memiliki ber-bagai macam bentuk dan ukuran walaupun struktur dasarnya
berbentuk `Y`(gambar 2.1). Antibodi tersebut mempunyai 2 fragmen, fragmen
antigen binding (Fab) dan fragmen cristallizable (Fc). Fragmen antigen binding
digunakan untuk mengenal dan mengikat antigen spesifik, tempat melekatnya
antigen antibodi yang tepat sesuai regio yang bervariasi disebut complementary
determining region (CDR) dan Fc berfungsi sebagai efektor yang dapat
berinteraksi dengan sel imun atau protein serum (Albert, B., et al., 2002;
Abbas, A.K., 2005; Nelson, P.N., et al., 2000).
Gambar 2.1. Struktur umum antibodi.
Antibodi, juga
dikenal sebagai imunoglobulin, yang merupakan salah satu komponen terpenting
dari respon imun humoral: yang melindungi pejamu terhadap infeksi. Antibodi
diklasifikasikan sebagai antibodi poliklonal (PoAbs) dan antibodi monoklonal
(mAbs), dan antibodi ini memiliki struktur dan fungsi yang sama, tetapi berbeda
satu sama lain berdasarkan asal, produksi, dan spesifisitasnya. Antibodi
monoklonal diproduksi oleh satu klon, sedangkan antibodi poliklonal diproduksi
oleh banyak klon (Büyükköroğlu dan Şenel, 2018).
Antibodi monoklonal adalah antibodi buatan identifik
karena diproduksi oleh salah satu jenis
sel imun saja dan semua klonnya merupakan sel single parent. Antibodi monoklonal mempunyai sifat khusus yang unik
yaitu dapat mengenal suatu molekul, memberikan informasi tentang molekul
spesifik dan sebagai terapi target tanpa merusak sel sehat sekitarnya. Antibodi
monoklonal murni dapat diproduksi dalam jumlah besar dan bebas kontaminasi.
Antibodi monoklonal dapat diperoleh dari sel yang dikembangkan di laboratorium,
reagen tersebut sangat berguna untuk penelitian terapi dan diagnostik
laboratorium. (Albert, B., et al., 2002; Abbas, A.K., 2005; Nelson, P.N., et
al., 2000).
Antibodi monoklonal dapat diciptakan untuk mengikat
antigen tertentu kemudian dapat mendeteksi atau memurnikannya. Manusia dan
tikus mempunyai kemampuan untuk membentuk antibodi yang dapat mengenali
antigen. Antibodi monoklonal tidak hanya mempertahankan tubuh untuk melawan
organisme penyakit tetapi juga dapat menarik molekul target lainnya di dalam
tubuh seperti reseptor protein yang ada pada permukaan sel normal atau molekul
yang khas terdapat pada permukaan sel kanker. Spesifisitas antibodi yang luar
biasa menjadikan zat ini dapat digunakan sebagai terapi. Antibodi mengikat sel
kanker dan berpasangan dengan zat sitotoksik sehingga membentuk suatu kompleks
yang dapat mencari dan menghancurkan sel kanker (Albert, B., et al., 2002;
Abbas, A.K., 2005; Nelson, P.N., et al., 2000).
B.
Sejarah Monoklonal Antibodi
Pada tahun 1908, Metchnikof dan Erlich mengemukakan mengenai teori
imunologi yang membawa perubahan besar pada pemanfaatan antibodi untuk
mendeteksi adanya antigen (zat asing) di dalam tubuh. Sebelum ditemukannya
teknologi antibodi monoklonal, antibodi dahulunya diperoleh dengan cara
konvensional yakni mengimunisasi hewan percobaan, mengambil darahnya dan
mengisolasi antibodi dalam serum sehingga menghasilkan antibodi poliklonal.
Apabila dibutuhkan antibodi dalam jumlah besar maka binatang percobaan yang
dibutuhkan juga sangat besar jumlahnya.
Selain itu, bila diproduksi dalam jumlah besar antibodi poliklonal jumlah
antibodi spesifik yng diproduksi juga sangat sedikit, sangat heterogen dan sangat
sulit menghilangkan antibodi lain yang tidak diinginkan (Radji M. 2010). Maka
dari itu dilakukan serangkaian penelitian untuk membuat antibodi spesifik
secara in vitro, sehingga dapat diproduksi antibodi spesifik dalam jumlah
besar, dan tidak terkontaminasi dengan antibodi lainnya.
Pada tahun 1975, Georges Kohler, Cesar Milstein and Niels Kaj Jerne
menemukan cara baru dalam membuat antibodi dengan mengimunisasi hewan
percobaan, kemudian sel limfositnya difusikan dengan sel meiloma, sehingga sel
hibrid dapat dibiakan terus menerus. Sel mieloma adalah sel limfosit B yang
abnormal yang mampu bereplikasi terus-menerus dan menghasilkan sebuah antibodi
spesifik berupa paraprotein, sel mieloma disebut juga dengan sel B kanker.
Mereka juga mampu membuat antibodi yang homogen yang diproduksi oleh satu klon
sel hibrid. Antibpdi tersebut lebih spesifik dibandingkan dengan antibodi
poliklonal karena dapat mengikat 1 epitop antigen dan dapat dibuat dalam jumlah
yang tak terbatas. Definisi epitop sendiri adalah daerah spesifik pada antigen
yang dapat dikenali oleh antibodi. Antibodi yang homogen dan spesifik ini
disebut antibodi monoklonal. Berkat temuan antibodi monoklonal Georges Kohler,
Cesar Milstein and Niels Kaj Jerne mendapatkan hadiah nobel dibidang fisiologis
dan kedokteran pada tahun 1985.
Antibodi monoklonal pertama (mAbs) diciptakan pada pertengahan 1970-an
untuk menargetkan mutasi spesifik dan cacat pada struktur protein yang
diekspresikan pada beberapa penyakit dan kondisi. Antibodi ini sekarang bagian
dari perawatan utama untuk neoplastik, autoimun,dan penyakit peradangan kronis,
yang menyebabkan peningkatan laporan reaksi hipersensitivitas (HSR) sekunder
untuk kelas obat ini (Santos dan Galvao, 2017).
Generasi pertama mAbs adalah antibodi monospesifik/bifungsional, dengan
satu ikatan bagian ke antigen tertentu dan bagian Fc utuh yang mengikat pada
reseptor Fc pada aksesori sel. Pada tahun 2009, catumaxomab, mAb
bispecifik/trifungsional, disetujui untuk pengobatan ascites maligna pada pasien dengan kanker (Santos dan Galvao,
2017).
Menurut Hafeezl, Gan, dan Scott (2018), karena pemenang Nobel Paul Ehrlich
mengusulkan konsep peluru ajaib pada tahun 1906, Köhlerdan Milstein menemukan
teknologi Hybridoma pada tahun 1975,
dan Greg Winter memelopori teknik untuk memanusiakan antibodi monoklonal pada
tahun 1988, antibodi monoklonal telah berhasil dikembangkan untuk mengobati
penyakit medis. Antibodi monoklonal adalah pengobatan yang efektif untuk
menghambat reaktivitas alloimun, keganasan hematologis, keganasan organ padat,
penyakit virus dan juga digunakan sebagai terapi anti platelet.
Antibodi monoklonal dibuat dengan cara penggabungan atau fusi dua jenis sel
yaitu lomfosit B yang memproduksi antibodi dengan sel kanker (sel mieloma) yang
dapat hidup dan membelah terus menerus. Hasil fusi antara sel limfosit B dan
sel kanker secara in vitro ini disebut dengan hibridoma. Apabila sel hibridoma
dibiakkan dalam kultur sel, sel yang secara genetik mempunyai sifat identik
dengan akan memproduksi antibodi sesuai dengan antibodi yang diproduksi oleh
sel aslinya yaitu sel limfosit B. Hal yang penting untuk diperhatikan adalah
proses pemilihan sel klon yang identik yang dapat menskresi antibodi yang
spesifik. Karena antibodi yang diproduksi berasal dari sel hibridoma tunggal
(mono-klon), maka antibodi yang diproduksi disebut dengan antibodi monoklonal.
Sel hibridoma mempunyai kemampuan untuk tumbuh secara tidak terbatas dalam
kultur sel, sehingga mampu memproduksi antibodi homogen yang spesifik (monoklonal)
dalam jumlah yang hampir tidak terbatas. Antibodi monklonal merupakan senyawa
yang homogen, sangat spesifik dan dapat diperoleh dalam jumlah yang besar
sehingga menguntungkan jika digunakan sebagai alat diagnostik. Beberapa jenis
antibodi monoklonal telah tersedia dipasaran untuk mendeteksi bakteri patogen
dan virus serta untuk uji kehamilan.
Penggunaan antibodi monoklonal dalam kanker dan penyakit autoimun pada
manusia telah menjadikan mereka salah satu kelas yang paling cepat berkembang
dari obat-obatan baru yang disetujui untuk indikasi ini dalam beberapa dekade
terakhir. Ulasan ini berfokus pada peran antibodi monoklonal sebagai terapi
imunomodulator terhadap kanker dan penyakit autoimun, strategi yang digunakan
untuk meningkatkan kemanjuran, dan bagaimana mekanisme resistensi sedang
ditangani untuk meningkatkan hasil terapi untuk pasien (Hafeezl, Gan, danScott,
2018).
C.
Perbedaan Antibodi Poliklonal dan Antibodi Monoklonal
1.
Antibodi Monoklonal
Antibodi monoklonal adalah antibodi yang homogen atau
mempunyai sifat yang spesifik karena dapat mengikat 1 epitop antigen dan dapat
dibuat dalam jumlah tidak terbatas. Antibodi monoklonal dibuat dengan cara
penggabungan atau fusi dua jenis sel yaitu sel limfosit B yang memproduksi
antibodi dengan sel kanker (sel mieloma) yang dapat hidup dan membelah terus
menerus. Hasil fusi antara sel B dengan sel kanker secara in vitro disebut
dengan Hibridoma.
Dua jenis antibodi monoklonal yang digunakan dalam
pengobatan kanker:
a.
Naked mAbs
adalah antibodi yang bekerja sendiri. Terdapat obat atau bahan radioaktif yang
melekat pada mereka. Ini adalah mAbs yang paling umum digunakan saat ini.
b.
Conjugated mAbs adalah
orang-orang yang bergabung dengan obat kemoterapi, partikel radioaktif atau
racun (zat yang racun sel). MAbs ini bekerja, setidaknya sebagian, dengan
bertindak sebagai menembakan perangkat untuk membawa zat ini langsung ke
sel-sel kanker.
2.
Antibodi Poliklonal
Menurut Sarmoko (2010) antibodi poliklonal adalah antibodi
dimana di dalam suatu populasi terdapat lebih dari satu macam antibodi, atau
campuran antibodi yang mengenal epitop yang berbeda pada antigen yang sama.
Selanjutnya Radji (2010) mengatakan bahwa dalam antibodi poliklonal jumlah
antibodi yang spesifik sangat sedikit, sangat heterogen karena dapat mengikat
bermacam-macam epitop dan sangat sulit menghilanagkan antibodi lain yang tidak
diinginkan.
3.
Perbedaan lanjut
Antibodi Monoklonal dan Antibodi Poliklonal
Tabel
perbedaan antibodi monoklonal dan poliklonal.
Antibodi
Monoklonal
|
Antibodi
Poliklonal
|
Mahal dalam produksinya
|
Tidak mahal dalam produksinya
|
Membutuhkan teknologi yang sangat canggih
|
Tidak butuh teknologi yang terlalu canggih
|
Waktu produksi lama karena harus membentuk hibridoma
|
Waktu produksi relatif singkat
|
Menghasilkan antibodi spesifik dalam jumlah banyak
|
Menghasilkan antibodi nonspesifik dalam jumlah banyak
|
Hanya mengenal satu epitop pada antigen
|
Menghasilkan antibodi nonspesifik dalam jumlah banyak
|
Setelah hibridoma dibuat konstan dan sumber yang
terbarukan dan semua kumpulan akan sama
|
Kumpulan yang terbentuk bervariasi
|
Kerugian Antibodi Monoklonal dan Antibodi Poliklonal.
Antibodi
Monoklonal
|
Antibodi
Poliklonal
|
-
|
Kumpulan yang terbentuk bervariasi
|
Memproduksi antibody spesifik dalam jumlah yang besar
tetapi sifatnya bisa menjadi terlalu
|
Memproduksi antibodi non spesifik dalam jumlah yang
besar yang sewaktu-waktu dapat memberikan efek samping pada beberapa aplikasi
|
Lebih rentan terhadap hilangnya Epitop melalui
perawatan kimia antigen daripada antibodi poliklonal
|
Beberapa epitopes membuatnya penting untuk memeriksa
immunogen urutan untuk setiap cross-reactivity
|
Antibodi
poliklonal, di dalam suatu populasi antibodi terdapat lebih dari satu macam
antibodi, atau campuran antibodi yang mengenal epitop yang berbeda pada antigen
yang sama. Proses yang terjadi pada antibodi poliklonal yaitu produksi dengan
imunisasi hewan dengan antigen yang tepat. Serum dari hewan terimunisasi
dikumpulkan, antibodi dalam serum dapat dimurnikan lebih lanjut. Karena satu
antigen menginduksi produksi banyak antibodi maka hasilnya berupa ‘polyclonal’/campuran antibodi. Antibodi
monoklonal (MAb) adalah antibodi homogen yang dengan spesifitas yang sama
diproduksi dari klon tungal dari sel yang menghailkan antibodi.
D.
Monoclonal
Antibody Engineering, Teknik Hibridoma dan Prosedur Pembuatan
Antibodi Monoklonal
Ada banyak aplikasi klinis di mana spesifisitas yang sangat baik dari
antibodi monoklonal tikus akan berguna. Namun, ketika antibodi monoklonal tikus
diperkenalkan ke manusia, mereka dikenal sebagai respon antibodi asing dan
evokean yang dengan cepat membersihkan antibodi monoklonal tikus dari aliran
darah. Selain itu, kompleks sirkulasi antibodi tikus dan manusia dapat
menyebabkan reaksi alergi. Dalam beberapa kasus, penumpukan kompleks pada
organ-organ seperti ginjal dapat menyebabkan reaksi serius dan bahkan mengancam
jiwa. Jelas, salah satu cara untuk menghindari reaksi yang tidak diinginkan ini
adalah dengan menggunakan antibodi monoklonal manusia untuk aplikasi klinis.
Namun, persiapan antibodi monoklonal manusia telah terhambat oleh berbagai
masalah teknis. Menanggapi kesulitan memproduksi antibodi monoklonal manusia
dan komplikasi yang dihasilkan dari penggunaan antibodi monoklonal tikus pada
manusia, sekarang ada upaya besar untuk merekayasa antibodi monoklonal dan
situs pengikatan antibodi dengan teknologi DNA rekombinan.
Pengetahuan yang berkembang tentang struktur dan regulasi gen antibodi
telah memungkinkan apa yang disebut Cesar Milstein, salah satu penemu teknologi
antibodi monoklonal, yang disebut "antibodi buatan manusia" berasal
dari wilayah satu spesies dan wilayah konstan berasal dari spesies lain. Gen
baru telah dibuat yang menghubungkan sekuens nukleotida yang mengkode protein
nonantibodi dengan sekuens yang mengkode wilayah variabel antibodi spesifik
untuk antigen tertentu. Hibrida molekuler atau chimera ini mungkin dapat
memberikan racun yang kuat ke target antigenik tertentu, seperti sel tumor.
Akhirnya, dengan penggantian lokus imunoglobulin dari satu spesies dengan yang
lain, hewan dari satu spesies telah diberkahi dengan kapasitas untuk menanggapi
imunisasi dengan memproduksi antibodi yang dikodekan oleh gen-gen Ig yang
ditransplantasikan secara genetik dari donor. Dengan mengambil sampel yang
signifikan dari semua gen wilayah variabel berat dan ringan imunoglobulin
melalui penggabungan ke dalam perpustakaan bakteriofag, telah dimungkinkan
untuk mencapai rekonstruksi signifikan dan berguna dari seluruh repertoar
antibodi individu. Beberapa bagian berikutnya menjelaskan masing-masing jenis
rekayasa genetika antibodi ini.
Teknik Hibridoma
Tikus yang diimunisasi dengan antigen tertentu dan
setelah beberapa waktu, sel-sel limfa
diambil. Sel limfa digabungkan dengan sel-sel mieloma dengan adanya
polietilenglikol (PEG), yang merupakan suatu surfaktan. PEG menghasilkan fusi
sel plasma dengan sel mieloma, dan menghasilkan hibridoma. Hanya sebagian kecil
sel yang benar-benar menyatu, dan beberapa di antaranya seperti sel, dua sel
mieloma atau dua sel limfa. Setelah fusi, sel ditempatkan dalam kultur
menggunakan media selektif yang mengandung hypoxanthine, aminopterin, dan
thymidine (HAT) (Stevens, 2013).
Kultur dalam media ini digunakan untuk memisahkan sel
hibridoma dengan memungkinkan mereka untuk tumbuh secara selektif. Sel mieloma
biasanya dapat tumbuh tanpa batas dalam kultur jaringan, tetapi dalam hal ini
sel mieloma tidak bisa karena kedua jalur untuk sintesis nukleotida diblokir.
Satu jalur diblokir karena garis sel mieloma yang digunakan kurang dalam enzim
yang dibutuhkan HGPRT dan timidin kinase. Jalur lain juga terhalang oleh
kehadiran aminopterin. Akibatnya sel-sel mieloma mati (Stevens, 2013). Sel B
normal tidak dapat dipertahankan terus menerus dalam kultur sel, jadi sel B akan
mati. Sehingga ini akan menyisakan sel hibridoma yang menyatu, yang memiliki
kemampuan yang diperoleh dari sel mieloma untuk memproduksi tanpa batas dalam
kultur dan kemampuan yang diperoleh dari sel B normal, untuk mensintesis
nukleotida melalui jalur HGPRT dan
timidin kinase (Stevens, 2013).
Gambar
2.2. Teknik Hibridoma.
Formasi dari hibridoma pada produksi antibodi monoklonal.
Seekor tikus diinjeksi, dan diambil sel limfanya. Sel limfa tersebut
digabungkan dengan sel mieloma dan disepuhkan dalam media yang terbatas. Hanya
sel hibridoma yang akan tumbuh di media ini, dimana sel hibridoma akan
mensitesa dan megeluarkan imunoglobulin monoklonal spesifik untuk penentu tunggal pada antigen. Berdasarkan National Academy of Sciences (1999),
perkembangan teknologi hibridoma telah mengurangi jumlah hewan (tikus, kelinci,
dan sebagainya) diperlukan untuk menghasilkan antibodi yang diberikan tetapi
dengan penurunan kesejahteraan hewan ketika metode asites digunakan. Ada lima
tahapan dalam melakukan teknik hibridoma, yaitu:
Langkah 1: Imunisasi Tikus dan Pemilihan Donor Mouse
untuk Menghasilkan Sel Hibridoma
Tikus diimunisasi dengan antigen yang disiapkan untuk
injeksi baik dengan mengemulsi antigen
dengan adjuvant Freund atau adjuvants lainnya atau dengan menyeragamkan gel
slice yang mengandung antigen. Sel utuh, seluruh membran, dan mikroorganisme
kadang-kadang digunakan sebagai imunogen. Di hampir semua laboratorium, tikus
digunakan untuk menghasilkan antibodi yang diinginkan. Secara umum, tikus
diimunisasi setiap 2-3 kali tetapi protokol imunisasi bervariasi di antara para
peneliti.Ketika titer antibodi yang cukup tercapai dalam serum, tikus yang
diimunisasi di-eutanasia dan limpa dikeluarkan untuk digunakan sebagai sumber
sel untuk fusi sel myeloma.
Langkah 2 : Skrining Tikus untuk Produksi Antibodi
Setelah beberapa minggu imunisasi, sampel darah diperoleh
dari tikus untuk pengukuran antibodi serum. Beberapa teknik manusiawi telah
dikembangkan untuk mengumpulkan volume kecil darah dari tikus.Titer antibodi
serum ditentukan dengan berbagai teknik, seperti enzyme-linked immunosorbent
assay (ELISA) dan flow cytometry. Jika titer antibodi tinggi, fusi sel dapat
dilakukan. Jika titer terlalu rendah, tikus dapat dikuatkan sampai respon yang
memadai tercapai, seperti ditentukan dengan pengambilan sampel darah berulang.
Ketika titer antibodi cukup tinggi, tikus biasanya didorong oleh suntikan
antigen tanpa adjuvant intraperitoneal atau intravena (melalui vena ekor) 3
hari sebelum fusi tetapi 2 minggu setelah imunisasi sebelumnya. Kemudian
tikus-tikus itu di-eutanasia dan limpa mereka diambil untuk in vitro produksi
sel hibridoma.
Langkah 3 : Persiapan Sel Myeloma
Sel-sel limpa memproduksi antibodi, yang memiliki rentang
hidup yang terbatas, dengan sel-sel yang berasal dari tumor abadi limfosit
(myeloma) menghasilkan hibridoma yang mampu tumbuh tanpa batas. Sel-sel myeloma
adalah sel yang diabadikan yang dikultur dengan 8-azaguanine untuk memastikan
kepekaan mereka terhadap hypoxanthine-aminopterin-thymidine
(HAT) medium seleksi yang digunakan setelah fusi sel. Seminggu sebelum sel
fusi, sel-sel myeloma tumbuh di 8-azaguanine. Sel harus memiliki viabilitas
tinggi dan pertumbuhan yang cepat. HAT menengah ini hanya memungkinkan sel-sel
leburan untuk bertahan hidup dalam
kultur.
Langkah 4 : Fusion Sel Myeloma dengan Sel Immune Limpa
Sel limpa tunggal dari tikus yang diimunisasi digabungkan
dengan sel mieloma yang disiapkan sebelumnya. Fusi dicapai dengan
co-sentrifugasi sel limpa yang baru dipanen dan sel myeloma dalam polietilenglikol, zat yang menyebabkan
membran sel menjadi sekering. Seperti yang disebutkan pada langkah 3, hanya sel
yang bersatu akan tumbuh di media pilihan khusus. Sel-sel tersebut kemudian didistribusikan
ke 96 piring yang berisi sel-sel feeder yang diturunkan dari pencelupan peritoneal salin tikus. Sel pengumpan
diyakini memasok faktor pertumbuhan yang
mempromosikan pertumbuhan sel hibridoma.
Langkah 5 : Kloning Hybridoma Cell Lines
Membatasi
Pengenceran atau Ekspansi dan Stabilisasi Klon oleh Produksi Ascites
Pada tahap ini, kelompok kecil sel hibridoma dari 96 lempeng sumur dapat tumbuh
di jaringan kultur diikuti oleh seleksi untuk
pengikatan antigen atau ditumbuhkan oleh metode ascites mouse dengan
kloning dikemudian waktu. Kloning dengan “membatasi pengenceran” saat ini
memastikan bahwa mayoritas sumur masing-masing mengandung paling banyak sebuah klon tunggal.
Pertimbangan yang cukup diperlukan pada
tahap ini untuk memilih hibrida yang mampu melakukan ekspansi versus hilangnya
total produk fusi sel karena kurangnya populasi atau in vitro yang tidak
memadai pertumbuhan tinggi pengenceran. Dalam
beberapa kasus, antibodi yang disekresikan bersifat racun bagi sel-sel
yang rapuh yang dipertahankan in vitro. Mengoptimalkan metode ekspansi asites
tikus pada tahap ini dapat menyimpan sel.
Cara Pembuatan Antibodi Monoklonal
KÅ‘hler dan Milstein menjelaskan bagaimana caranya
mengisolasi dan mengembangkan antibodi monoklonal murni spesifik dalam jumlah
banyak yang didapat dari campuran antibodi hasil respons imun. Tikus yang telah
diimunisasi dengan antigen khusus ke dalam sumsum tulang akan menghasilkan sel
limfosit B yang memiliki masa waktu hidup terbatas dalam kultur, hal ini dapat
diatasi dengan cara menggabungkan dengan sel limfosit B tumor (myeloma) yang
abadi. Hasil campuran heterogen sel hybridoma
dipilih hybridoma yang memiliki 2
kemampuan yaitu dapat menghasilkan antibodi khusus dan dapat tumbuh di dalam
kultur. Hybridoma ini diperbanyak
sesuai klon individualnya dan setiap klon hanya menghasilkan satu jenis
antibodi monoklonal yang permanen dan stabil. Hybridoma yang berasal dari satu limfosit akan menghasilkan
antibodi yang akan mengenali satu jenis antigen. Antibodi inilah yang dikenal
sebagai antibodi monoklonal (Gambar 2.3).
Gambar 2.3. Skema pembuatan
antibodi monoklonal dari kultur tikus.
Proses pembuatan antibodi monoklonal melalui 5 tahapan
yaitu:
1.
Imunisasi tikus dan
seleksi tikus donor untuk pengembangan sel hybridoma
Tikus diimunisasi dengan antigen tertentu untuk menghasilkan antibodi yang
diinginkan. Tikus dimatikan jika titer antibodinya sudah cukup tercapai dalam
serum kemudian limpanya digunakan sebagai sumber sel yang akan digabungkan
dengan sel myeloma.
2.
Penyaringan
produksi antibodi tikus
Serum
antibodi pada darah tikus itu dinilai setelah beberapa minggu imunisasi. Titer
serum antibodi ditentukan dengan berbagai macam teknik seperti enzyme link immunosorbent assay (ELISA)
dan flow cytometry. Fusi sel dapat
dilakukan bila titer antibodi sudah tinggi jika titer masih rendah maka harus
dilakukan booster sampai respons yang
adekuat tercapai. Pembuatan sel hybridoma
secara in vitro diambil dari limpa tikus yang dimatikan.
3.
Persiapan sel
myeloma
Sel
myeloma yang didapat dari tumor limfosit abadi tidak dapat tumbuh jika
kekurangan hypoxantine guanine
phosphoribosyl transferase (HGPRT) dan sel limpa normal masa hidupnya
terbatas. Antibodi dari sel limpa yang memiliki masa hidup terbatas menyediakan
HGPRT lalu digabungkan dengan sel myeloma yang hidupnya abadi sehingga
dihasilkan suatu hybridoma yang dapat tumbuh tidak terbatas. Sel myeloma
merupakan sel abadi yang dikultur dengan 8-azaguanine sensitif terhadap medium
seleksi hypoxanthine aminopterin thymidine (HAT). Satu minggu sebelum fusi sel,
sel myeloma dikultur dalam 8-azaguanine. Sel harus mempunyai kemampuan hidup
tinggi dan dapat tumbuh cepat. Fusi sel menggunakan medium HAT untuk dapat
bertahan hidup dalam kultur.
4.
Fusi sel myeloma
dengan sel imun limpa
Satu
sel limpa digabungkan dengan selmyeloma yang telah dipersiapkan. Fusi ini
diselesaikan melalui sentrifugasi sel limpa dan sel myeloma dalam polyethylene glycol suatu zat yang dapat
menggabung-kan membran sel. Sel yang berhasil mengalami fusi dapat tumbuh pada
medium khusus. Sel itu kemudian didistribusikan ke dalam tempat yang berisi
makanan, didapat dari cairan peritoneal tikus. Sumber makanan sel itu
menyediakan growth factor untuk
pertumbuhan sel hybridoma.
5.
Pengembangan lebih
lanjut kloning sel hybridoma
Kelompok kecil
sel hybridoma dapat dikembangkan pada kultur jaringan dengan cara seleksi
ikatan antigen atau dikembangkan melalui metode asites tikus. Kloning secara limiting dilution akan memastikan suatu
klon itu berhasil. Kultur hybridoma dapat dipertahankan secara in vitro dalam
tabung kultur (10-60 ug/ml) dan in vivo pada tikus, hidup tumbuh di dalam suatu
asites tikus. Konsentrasi antibodi dalam serum dan cairan tubuh lain 1-10
ug/ml.
Produksi Antibodi Monoklonal pada Tanaman untuk Imunoterapi
kanker
Antibodi Monoklonal (mAbs) telah sering diproduksi dalam
sistem ekspresi yang berbeda seperti ragi, sel serangga, dan sel mamalia.
Penelitian baru saja menjelaskan bahwa, mAb yang berbeda-beda dan turunannya
juga telah diekspresikan pada tanaman. Sistem instalasi terdalam yang digunakan
untuk produksi Ab tingkat besar, tanaman yang ditransformasikan, yang bertindak
sebagai bioreaktor, dibudidayakan secara in vitro, memungkinkan regenerasi
matang tanaman dan perbanyakan sel tanaman sebagai suspensi sel platform kultur.
Sistem pabrik ini membantu pabrik manufaktur biomassa in vitro, termasuk daun,
batang, dan akar, dan tanaman dewasa dapat ditransplantasikan dan ditanam in
vivo (dalam pot tanah). Dengan demikian, tanaman berbeda dari yang lain sistem
produksi kultur sel yang dijelaskan di atas dalam hal fleksibilitas untuk
digunakan dalam platform vitro dan in vivo. Sistem tanaman seperti tembakau,
alfalfa, dan beberapa lainnya telah dikembangkan karena mereka yang paling
mudah diakses dan sumber umum biomassa daun. Jagung dan kedelai dapat
menghasilkan dan mengakumulasi mAb dalam biji. Sayuran tanaman memiliki kadar
protein terlarut total yang relatif tinggi, yang mungkin bermanfaat untuk
ekspresi protein rekombinan. Di antara tanaman sayur, biomassa daun Cina kubis
memiliki tingkat protein terlarut total tertinggi dibandingkan kepada orang
lain, menjadikannya kandidat bioreaktor untuk diproduksi protein terapi rekombinan.
Tembakau memiliki jurusan keuntungan seperti hasil biomassa daun tinggi dan
peningkatan skala cepat melalui produksi benih yang mudah, jika dibandingkan
dengan yang lain spesies tanaman. Dalam laporan terbaru, tingkat ekspresi protein
rekombinan pada batang tembakau mirip dengan daun, sehingga menunjukkan bahwa
biomassa seluruh tanaman tembakau dapat digunakan untuk produksi terapi
rekombinan protein, akhirnya meningkatkan biaya produksi hulu efisiensi. Selain
itu, tembakau adalah tanaman non-pangan, non-makan yang telah ditandai dengan
baik sebagai sistem ekspresi tidak termasuk kontaminasi patogen manusia, yang
mengurangi masalah keamanan hayati. Namun, tembakau mengandung atau nikotin alkaloid
beracun lainnya, yang perlu dihilangkan menggunakan langkah ekstraksi tambahan.
Selanjutnya, tembakau menghasilkan antibodi N-glikosilasi heterogen karena distribusi
tempat antibodi yang berbeda di jalur sekretori, yang dapat menyebabkan kesulitan
dalam mengontrol kualitas dari antibodi yang diproduksi (Ghislain Moussavou, et
al., 2015).
E.
Mekanisme Kerja Antibodi Monoklonal dan Pemilihan
Antibodi Spesifik Penghasil Klon
Antibodi monoklonal menggunakan mekanisme kombinasi untuk
meningkatkan efek sitotoksik sel tumor. Mekanisme komponen sistem imun adalah antibody
dependent cellular cytotoxicity (ADCC), complement dependent cytotoxicity
(CDC), mengubah signal transduksi sel tumor atau menghilangkan sel
permukaan antigen. Antibodi dapat digunakan sebagai target muatan (radioisotop,
obat atau toksin) untuk membunuh sel tumor atau mengaktivasi prodrug di
tumor, antibody directed enzyme prodrug therapy (ADEPT). Antibodi
monoklonal digunakan secara sinergis melengkapi mekanisme kerja kemoterapi
untuk melawan tumor (Adams, G.P., et al., 2005).
1. Antibody
dependent cellular cytotoxicity (ADCC)
Antibody
dependent cellular cytotoxicity (ADCC)
terjadi jika antibodi mengikat antigen sel tumor dan Fc antibodi melekat dengan
reseptor Fc pada permukaan sel imun efektor. Interaksi Fc reseptor ini
berdasarkan kemanjuran antitumor dan sangat penting pada pemilihan suatu
antibodi monoklonal. Sel efektor yang berperan masih belum jelas tapi
diasumsikan sel fagosit mononuklear dan atau natural killer (NK).
Struktur Fc domain dimanipulasi untuk menyesuaikan jarak antibodi dan
interaksi dengan Fc reseptor. Antibody dependent cellular cytotoxicity (ADCC)
dapat meningkatkan respons klinis secara langsung menginduksi destruksi tumor
melalui presentasi antigen dan menginduksi respons sel T tumor. Antibodi
monoklonal berikatan dengan antigen permukaan sel tumor melalui Fc reseptor
permukaan sel NK. Hal ini memicu penglepasan perforin dan granzymes untuk
menghancurkan sel tumor . Sel-sel yang hancur ditangkap antigen presenting
cell (APC) lalu dipresentasikan pada sel B sehingga memicu penglepasan
antibodi kemudian antibodi ini akan berikatan dengan target antigen. Sel cytotoxic
T lymphocytes (CTLs) dapat mengenali dan membunuh sel target antigen
(Adams, G.P., et al., 2005).
Gambar 2.4. Skema mekanisme kerja Antibody Dependent Cellular
Cytotoxicity (ADCC).
2. Complement
dependent cytotoxicity (CDC)
Pengikatan
antibodi monoklonal dengan antigen permukaan sel akan mengawali kaskade
komplement. Complement dependent cytotoxicity (CDC) merupakan suatu
metode pembunuh sel tumor yang lain dari antibodi. Imunoglobulin G1 dan G3
sangat efektif pada CDC melalui jalur klasik aktivasi komplemen. Formasi
kompleks antigen antibodi merupakan komplemen C1q berikatan dengan IgG sehingga
memicu komplemen protein lain untuk mengawali penglepasan proteolitik sel
efektor kemotaktik/agen aktivasi C3a dan C5a . Kaskade komplemen ini diakhiri
dengan formasi membrane attack complex (MAC) sehingga terbentuk suatu
lubang pada sel membran. Membrane attack complex (MAC) memfasilitasi
keluar masuknya air dan Na+ yang akan menyababkan sel target lisis (Adams,
G.P., et al., 2005).
Gambar 2.5 Skema mekanisme kerja Complement Dependent
Cytotoxicity (CDC)
3.
Perubahan transduksi signal
Reseptor growth
factor merupakan suatu antigen target tumor, ekspresinya berlebihan pada
keganasan. Aktivasi transduksi signal pada kondisi normal akan menginduksi
respons mitogenik dan meningkatkan kelangsungan hidup sel, hal ini diikuti
dengan ekspresi perkembangan sel tumor yang berlebihan yang juga menyebabkan
tumor tidak sentitif terhadap zat kemoterapi. Antibodi monoklonal sangat
potensial menormalkan laju perkembangan sel dan membuat sel sensitif terhadap
zat sitotoksik dengan menghilangkan signal reseptor ini. Target antibodi EGFR
merupakan inhibitor yang kuat untuk transduksi signal. Terapi antibodi
monoklonal memberikan efek penurunan densitas ekspresi target antigen contohnya
penurunan konsentrasi EGFR permukaan sel tumor atau membersihkan ligan seperti
VEGF. Pengikatan ligand reseptor growth factor memicu dimerisasi dan
aktivasi kaskade signal sehingga terjadi proliferasi sel dan hambatan terhadap
zat 54 sitotoksik . Antibodi monoklonal menghambat signal dengan cara
menghambat dimerisasi atau mengganggu ikatan ligand (Adams, G.P., et al.,
2005).
Gambar 2.6. Skema mekanisme kerja pada transduksi sinyal.
4.
Imunomodulasi
Beberapa
percobaan menunjukkan antibodi yang langsung melawan cytotoxic T lymphocyte
antigen 4 (CTLA 4) terbukti dapat menginduksi regresi imun. Pola toksisitas
yang diteliti pada uji klinis memperlihatkan hubungan perlekatan CTLA 4 dengan
ligan dapat menginduksi respons autoimun, hal ini terlihat pada aktivasi sel T dependent.
Gabungan antibodi anti-CTLA 4 dengan antibodi monoklonal menginduksi ADCC,
kemoterapi sitotoksik atau radioterapi sehingga dapat meningkatkan respons imun
terhadap antigen spesifik tumor (Adams, G.P., et al., 2005).
5.
Penghantaran muatan sitotoksik
Antibodi
monoklonal pada terapi kanker akan melawan target sel tumor dengan cara
mengikat sel spesifik tumor dan menginduksi respons imun. Antibodi monoklonal
telah digunakan secara luas dalam percobaan sebagai zat sitotoksik sel-sel
tumor. Modifikasi antibodi monoklonal dilakukan dengan tujuan sebagai zat
penghantar radioisotop, toksin katalik, obat-obatan, sitokin, enzim atau zat
konjugasi aktif lainnya. Pola antibodi bispesifik pada kedua bagian Fab
memungkinkan untuk mengikat target antigen dan sel efektor (Adams, G.P., et
al., 2005).
6.
Antibodi directed enzyme prodrug therapy (ADEPT)
Antibodi
directed enzyme prodrug therapy (ADEPT)
menggunakan antibodi monoklonal sebagai penghantar untuk sampai ke sel tumor
kemudian enzim mengaktifkan prodrug pada tumor, hal ini dapat
meningkatkan dosis active drug di dalam tumor. Konjugasi antibodi
monoklonal dan enzim mengikat antigen permukaan sel tumor kemudian zat
sitotoksik dalam bentuk inaktif prodrug akan mengikat konjugasi antibodi
monoklonal dan 55 enzim permukaan sel tumor akhirnya inaktivasi prodrug terpecah
dan melepaskan active drug di dalam tumor (Adams, G.P., et al., 2005).
Gambar 2.7. Skema mekanisme kerja pada
imunomodulasi.
Pemilihan Antibodi Spesifik-Penghasil Klon
Sel hibridoma yang tersisa diencerkan dan
ditempatkan di dalam sumur mikrotiter, dimana mereka diizinkan untuk tumbuh.
Setiap sumur mengandung satu klon, kemudian disaring atau ada antibodi yang
diinginkan dengan mengeluarkan supernatan. Setelah diidentifikasi, hibridoma
mampu dipertahankan dalam kultur sel tanpa batas, dan menghasilkan pasokan
antibodi monoklonal yang siap bereaksi dengan epitop tunggal (Stevens, 2013).
Atau bisa juga dengan beberapa prosedur dibawah ini:
1.
Imunisasi Mencit
a.
Antigen berupa
protein atau polisakarida yang berasal dari bakteri atau virus, disuntikkan
secarasubkutan pada beberapa tempat atau secara intra peritoneal.
b.
Setelah 23 minggu
disusul suntikan antigen secara intravena, mencit yang tanggap kebal terbaik
dipilih.
c.
Pada hari ke-12
hari suntikan terakhir antibodi yang terbentuk pada mencit diperiksa dan
diukurtiter antibodinya.
d.
Mencit dimatikan
dan limfanya diambil secara aseptis. Kemudian dibuat suspensi sel limfa untuk
memisahkan sel B yang mengandung antibodi.
2.
Cara imunisasi lain
yang sering digunakan adalah imunisasi sekali suntik intralimfa (Single-Shot Intrasplenic
Immunization). Imunisasi cara ini dianggap lebih baik, karena
eliminasi antigen oleh tubuh dapat dicegah.
Fusi
sel kebal dan sel mieloma:
a. Pada kondisi
biakan jaringan biasa, sel limfa yang membuat antibodi akan cepat mati,
sedangkan sel mieloma dapat dibiakkan terus-menerus. Fusi sel dapat menciptakan
sel hibrid yang terdiri darigabungan sel limfa yang dapat membuat antibodi dan
sel mieloma yang dapat dibiakkan secaraterus menerus dalam jumlah yang tidak
terbatas secara in vitro.
b. Fusi sel
diawali dengan fusi membran plasma sehingga menghasilkan sel besar
dengan dua ataulebih inti sel, yang berasal dari kedua induk sel yang berbeda
jenis yang disebut heterokarion.
c. Pada waktu
tumbuh dan membelah diri terbentuk satu inti yang mengandung kromosom
kedua induk yang disebut sel hibrid.
Frekuensi fusi
dipengaruhi bebrapa faktor antara lain jenis medium, perbandingan jumlah sel limpa
dengan sel mieloma, jenis sel mieloma yang digunakan, dan bahan yang mendorong
timbulnya fusi (fusagon). Penambahan polietilen glikol (PEG) dan
dimetilsulfoksida (DMSO) dapat menaikan efisiensi fusi sel.
Eliminasi sel induk yang tidak berfusi:
Frekuensi
terjadinya hibrid sel limfa-sel mieloma biasanya rendah, karena itu penting
untukmematikan sel yang tidak fusi yang jumlahnyaa lebih banyak agar sel hibrid
mempunyaikesempatan untuk tumbuh dengan cara membiakkan sel hibrid dalam media
selektif yang mengandung hyloxanthine, aminopterin, dan thymidine (HAT).
Isolasi
dan pemilihan klon hibridoma yaitu:
1.
Sel hibrid
dikembangbiakkan sedemikian rupa, sehingga tiap sel hibrid aka membentuk
kolonihomogen yang disebut hibridoma.
2.
Tiap koloni
kemudian dibiakkan terpisah satu sama lain.
3.
Hibridoma yang
tumbuh diharapkan mensekresi antibodi ke dalam medium, sehingga antibodi yang
terbentuk bisa diisolasi. Pemilihan klon hibridoma dilakukan dua kali, pertama
adalah dilakukan untuk memperolehhibridoma yang dapat menghasilkan antibodi,
dan yang kedua adalah memilih sel hibridoma penghasil antibodi monoklonal yang
potensial menghasilkan antibodi monoklonal yang tinggi dan stabil.
Umumnya untuk menetukan antibodi
yang diinginkan dilakukan dengan cara Enzyme Linked Immunosorbent Assay
(ELISA) atau radioimmunoassay (RIA). Pemilihan klon
hibridoma dilakukan dua kali, pertama adalah dilakukan untuk memperoleh
hibridoma yang dapat menghasilkan antibodi; dan yang kedua adalah memilih sel
hibridoma penghasil antibodi monoklonal yang potensial menghasilkan antibodi
monoklonal yang tinggi dan stabil.
F.
Antibodi Monoklonal Rekombinan
Antibodi monoklonal adalah antibodi buatan identifik
karena diproduksi oleh salah satu jenis sel imun saja dan semua klonnya
merupakan sel single parent. Antibodi
monoklonal mempunyai sifat khusus yang unik yaitu dapat mengenal suatu molekul,
memberikan informasi tentang molekul spesifik dan sebagai terapi target tanpa
merusak sel sehat sekitarnya. Antibodi monoklonal murni dapat diproduksi dalam
jumlah besar dan bebas kontaminasi. Antibodi monoklonal dapat diperoleh dari
sel yang dikembangkan di laboratorium, reagen tersebut sangat berguna untuk
penelitian terapi dan diagnostik laboratorium (Albert, B., et al., 2002; Abbas,
A.K., 2005; Nelson, P.N., et al., 2000).
Pemanfaatan antibodi monoklonal dalam bidang kesehatan,
baik untuk diagnostik atau mengatasi penyakit kanker tertentu, telah banyak
dilakukan. Beberapa antibodi monoklonal yang dilakukan untuk pengobatan berasal
dari sel mencit atau tikus, sering menimbulkan reaksi alergi pada pasien yang
menerima terapi antibodi monoklonal tersebut. Hal ini disebabkan karena protein
mencit dikenal sebagai antigen asing oleh sel tubuh pasien, sehingga
menimbulkan reaksi respon imun antara lain berupa alergi, inflamasi dan
penghancuran atau destruksi antibodi monoklonal itu sendiri. Untuk mengatasi
hal tersebut maka dikembangkanlah antibodi monoklonal rekombinan manusia, yaitu
suatu monoklonal antibodi yang sebagian atau seluruhnya terdiri dari protein yang
berasal dari manusia, untuk mengurangi efek penolakan oleh sistem imun pasien
(Radji, M., 2011; Tuscano, J.M., et al; 2005).
Beberapa jenis antibodi monoklonal generasi baru yang
telah dikembangkan antara lain:
1.
Antibodi monoklonal
murine (fully mouse)
Yaitu
antibodi murni yang didapatkan dari tikus. Antibodi ini dapat menyebabkan human
anti mouse antibodies (HAMA). Biasanya antibodi ini memiliki akhiran dengan
nama “momab” (contohnya Ibritumomab®) (Radji, M., 2011; Tuscano, J.M., et al;
2005).
2.
Antibodi monoklonal
kimera (chimaric)
Antibodi
monoklonal ini dibuat melalui teknik rekayasa genetika untuk menciptakan galur
mencit atau tikus transgenik yang dapat memproduksi sel hybrid mencit manusia
yang disebut kimera (chimaric).
Bagian variabel molekul antibodi (Fab),
termasuk bagian antigen binding
site, berasal dari mencit, sedangkan bagian lainnya, yaitu bagian yang constant (Fc) berasal dari manusia.
Memiliki akhiran dengan nama “ximab” (Rituximab®) (Radji, M., 2011; Tuscano,
J.M., et al; 2005).
3.
Antibodi monoklonal
manusiawi (humanized)
Antibodi
ini dibuat secara rekayasa genetika dimana bagian protein yang berasal dari
mencit hanya terbatas pada antigen binding site saja, sedangkan bagian yang
lainnya yaitu bagian variable dan bagian konstan berasal dari manusia. Antibodi
ini memiliki akhiran nama “zumab” (Transtuzumab®) (Radji, M., 2011; Tuscano,
J.M., et al; 2005).
4.
Antibodi monoklonal
manusia (fully human)
Antibodi ini
merupakan antibodi yang paling ideal untuk menghindari terjadinya respon imun
karena protein antibodi yang disuntikkan kedalam tubuh seluruhnya merupakan
protein yang berasal dari manusia. Salah satu pendekatan yang dilakukan untuk
merancang pembentukan antibodi monoklonal yang seluruhnya mengandung protein
manusia tersebut adalah dengan teknik rekayasa genetika untuk menciptakan
mencit transgenik yang membawa gen yang berasal dari manusia, sehingga mampu
memproduksi antibodi yang diinginkan. Pendekatan lainnya adalah merekayasa
suatu binatang transgenik yang dapat mensekresikan antibodi manusia dalam air
susu yang dikeluarkan oleh binatang tersebut. Antibodi yang 100% mengandung
protein manusia memiliki akhiran nama “mumab” (Panitumumab®) (Radji, M., 2011;
Tuscano, J.M., et al; 2005).
Gambar 2.8. Struktur
antibodi monoklonal rekombinan. Dari yang paling kiri ke kanan; antibodi
monoklonal fully mouse, chimaric,. humanized, fully human.
G.
Target Terapi Antibodi Monoklonal dan Kegunaan Penting
Dalam Penggunaan Klinik
Terapi target didefinisikan sebagai obat atau molekul
untuk membunuh sel tumor melalui interaksi target yang terdapat pada sel ganas.
Terapi target ditujukan bagaimana secara selektif melawan molekul pada
permukaan sel dan jalur signal metabolik sel ganas. Terapi target secara
potensial dapat memisahkan sel normal selanjutnya mengurangi toksisiti dan
memperbaiki kualiti hidup. Jenis terapi target tergantung cara kerja dan target
spesifik, bermacam zat yang dapat diklasifikasikan ke dalam subkategori yaitu antibodi
monoklonal, inhibitor tyrosine kinase, inhibitor proteosome, inhibitor cyclin
dependent kinase (CKD), inhibitor Raf kinase, angiogenic agents, inhibitormatrix metalloproteinase, inhibitor
farnesyltransferase, inhibitor deacetylase, inhibitor COX-2, teknologi
antisense dan terapi gen.
Terapi target pada KPKBSK (kanker paru jenis karsinoma
bukan sel kecil) yang digunakan adalah inhibitor EGFR antibodi monoklonal
″Trastuzumab″ (Herceptin), ″Cetuximab″ (Erbitux), inhibitor EGFR tyrosine
kinase ″Gefitinib″ (Irresa), inhibitor angiogenesis metalloproteinase,
inhibitor VEGF antibodi monoklonal ″Bevacizumab″ (Avastin) dan inhibisi
tranduksi signal antisense oligonucleotide protein kinase C alpha (Herbst,
R.S., 2002; Herbst, R.S., 2003).
Epidermal
Growth Factor Receptor (EGFR) dan Tyrosine Kinase (TK)
Reseptor
growth factor sangat penting
untuk mengatur proses seluler tumor seperti proliferasi, differensiasi,
pertahanan, angiogenesis dan migrasi. Reseptor
growth factor terdiri dari HER-1 (epidermal
growth factor [EGFR] atau c-erb B1), HER-2 (c-erb B-2), HER3 (c-erb B-3)
dan HER4 (c-erb B4). Epidermal growth
factor receptor (EGFR)/HER 1 melekat pada bagian ekstraseluler (EGF, transforming growth factor α (TGF-α) dan
growth factor lainnya), bagian
transmembran dan bagian tyrosine kinase intraseluler (Herbst, R.S., 2003).
Epidermal
growth factor receptor EGFR
berikatan dengan ligand menyebabkan
homodimerisasi atau heterodimerisasi reseptor HER famili yang lain dan
mengaktifkan tyrosine kinase (TK). Fosforilasi reseptor tyrosine menerima
signal protein intraseluler dan mengubah signal ekstraseluler menjadi
transduksi signal intraseluler. Molekul efektoradapter seperti growth factor
reseptor bound protein 2 (Grb2) dan Src
homology collagen protein (Shc) berperan sebagai dasar untuk merangkai
elemen signal yang dibutuhkan untuk aktivasi proliferasi seluler. Molekul enzim
lainnya yang mengaktifkan EGFR TK fosforilasi adalah son of sevenless (SOS), phosphatidyl inositol 3 kinase (PI3K) dan
Grb2-associated binder 1 (Herbst, R.S., 2003).
Jalur transduksi signal multipel diawali fosforilasi EGFR
termasuk kaskade signal Ras (oncogen)
- mitogen activated protein kinase
(MAPK). Scr dan jalur signal tranducers
and activator of transcription (STAT) secara luas digunakan sebagai signal growth untuk menginduksi gen
trankripsi dan menimbulkan berbagai macam respons sel. Proliferasi seluler
hasil aktivasi EGFR TK terjadi melalui beberapa jalur transduksi signal. Signal
proliferasi jalur MAPK terjadi setelah molekul adapter mengaktivasi kompleks
EGFR timbul langkah aktivasi dari Ras, Raf, MAP/Erk kinase (MEK1) dan extracellular regulated kinase (Erk)
protein yang akan meningkatkan aktiviti faktor transkripsi untuk proliferasi
dan aktivasi progresi siklus sel (Herbst, R.S., 2003).
Aktivasi EGFR TK mempengaruhi progresi tumor soliter. Transforming growth factor α (TGFα) dan
EGF menginduksi angiogenesis serta permeabiliti sel vaskuler dengan
meningkatkan ekspresi VEGF tumor. Peningkatan ekspresi VEGF tumor akan
menghasilkan ketidakseimbangan antara faktor pro dan antiangiogenik di dalam
tumor yang akhirnya menimbulkan vaskularisasi dan pertumbuhan baru. Peningkatan
densiti mikrovaskuler merupakan suatu peningkatan aktivasi EGFR TK. Epidermal growth factor receptor tyrosine
kinase (EGFR TK) juga berinteraksi dengan jalur komponen yang mempengaruhi
sel-sel adhesi, hal ini penting untuk invasi tumor sel ke jaringan yang
berdekatan. Epidermal growth factor
receptor tyrosine kinase (EGFR TK) juga mengaktivasi matrix
metalloproteinase dan stimulasi motiliti sel tumor yang akhirnya menambah
metastasis. Aktivasi EGFR TK secara tidak langsung menghambat apoptosis sel
tumor, meningkatkan tahan hidup sel tumor dan resisten terhadap terapi
sitotosik. Aktiviti ini disebabkan oleh PI3K suatu signal molekul penting jalur
antiapoptotik yang mempengaruhi faktor transkripsi nuclear factor κB (NF κB)
dan juga mengatur jalur aktiviti Ras MAPK pada proliferasi seluler (Herbst,
R.S., 2003).
Ekspresi EGFR meningkat pada keganasan dan ditemukan
40-80% pada KPKBSK. Ekspresi EGFR secara histologis sering meningkat pada squamous cell carcinoma, large cell
carcinoma dan sedikit meningkat pada small
cell carcinoma. Titer EGFR meningkat pada KPKBSK stage IV dibandingkan stage
I, II dan juga meningkat pada kasus yang berkaitan dengan mediastinal. Ekspresi
EGFR sangat penting dalam perkembangan dan progresi keganasan, beberapa
penelitian didapatkan korelasi positif antara ekspresi EGFR yang berlebihan, invasi
tumor dan rendahnya lama tahan hidup (Herbst, R.S., 2003).
Gambar
2.9. Skema aktivitas jarus RAS-MAPK pada proliferasi seluler.
Hambatan dalam terapi
Distribusi antigen sel ganas sangat heterogen sehingga
beberapa sel dapat mengenali antigen tumor dan sel lainnya tidak. Densitas
antigen bervariasi bila rendah antibodi monoklonal tidak efektif. Aliran darah
tumor tidak selalu optimal bila antibodi monoklonal dihantarkan melalui darah
maka sulit untuk mengandalkan terapi ini. Tekanan interstisial yang tinggi
dalam tumor dapat mencegah ikatan dengan antibodi monoklonal. Antigen tumor
selalu dilepaskan sehingga antibodi mengikat antigen bebas dan bukan sel tumor.
Antibodi monoklonal diperoleh dari sel tikus kemungkinan
masih ada respons imun antibodinya yang disebut respons human anti mouse
antibodies (HAMA). Respons ini tidak hanya menurunkan kemanjuran terapi
antibodi monoklonal tapi juga menyisihkan kemungkinan terapi ulangan. Reaksi
silang antibodi monoklonal dengan antigen jaringan normal jarang sehingga
aplikasi antibodi monoklonal memberikan hasil yang baik pada keganasan
hematologi dan tumor soliter walaupun terdapat beberapa rintangan. (VonMehren,
M., 2003).
Beberapa contoh produk di pasaran yaitu:
1.
Transtuzumab
″Trastuzumab″
(Herceptin) merupakan suatu antibodi monoklonal humanized yang menghambat sel pertumbuhan dengan cara mengikat
bagian ekstraseluler reseptor HER2 protein tyrosine kinase. ″Trastuzumab″ juga
menginduksi ADCC melalui sel NK dan monosit untuk melawan sel ganas. ″Trastuzumab″
mempunyai efek samping berupa disfungsi jantung (27% pada terapi kombinasi dan
8% terapi tunggal), mielosupresi dan diare. Ekspresi protein HER2 yang
berlebihan ditemukan pada jaringan tumor KPKBSK dengan menggunakan teknik immunohistochemistry (IHC) 20%, fluorescence in situ hybridization
(FISH) 6% dan kadar serum HER2 > 15 ng/ml pada ELISA 6%. Immunohistochemistry (IHC) didapatkan 66
spesimen memberikan hasil positif dan ELISA didapatkan 13 spesimen positif
tetapi tidak satupun spesimen positif pada FISH (Segota, E., et al., 2004;
Heinmoller, P., et al., 2003).
Kombinasi
″trastazumab″ dan kemoterapi memberikan hasil lebih baik growth inhibitor pada sel yang mengekspresi HER2. Kombinasi
″trastuzumab″ dengan kemoterapi terbukti secara klinis memberikan keuntungan
pasien kanker payudara metastasis HER2 positif. Penelitian uji klinis
randomisasi fase II efek penambahan kombinasi ″trastazumab″ dengan kemoterapi
standar (gemcitabine dan cisplatin) pada pasien KPKBSK HER2 positif memberikan
hasil toleransi yang baik secara klinis. Kombinasi paclitaxel, carboplatin dan
″trastuzumab″ dapat diberikan pada KPKBSK stage lanjut dengan toksisiti yang
tidak lebih buruk dibandingkan dengan terapi tanpa ″trastuzumab″. Strategi yang
paling menjanjikan dari target HER2 adalah penggunaan kombinasi inhibitor EGRF
TK dengan inhibitor HER2 dimerization. (Bunn, P.A., et al., 2001; Vogel, C.L.,
et al., 2002; Lanjer, C.J., et al., 2004).
2.
Cetuximab
″Cetuximab″
(Erbitux) merupakan antibodi monoklonal chimeric yang bekerja mengikat EGFR
pada bagian ekstraseluler. ″Cetuximab″ memberikan efek samping ruam acneiform,
folikulitis pada wajah dan dada serta dilaporkan juga reaksi hipersensitif. Response rate (RR) lebih tinggi bila
terjadi ruam pada kulit. Penelitian fase II monoterapi ″cetuximab″ pasien
KPKBSK rekuren dan metastasis yang dideteksi EGFRnya dan yang telah diberikan
satu atau lebih regimen kemoterapi sebelumnya, didapatkan 2 dari 29 (6,9%)
parsial respons (PR) dan 5 pasien (17,2%) penyakitnya stabil. Uji klinis fase
II pasien KPKBSK stage IIIB/IV rekuren atau metastasis didapatkan respons, 3,3%
PR (2/60 pasien) dan 25% penyakitnya stabil (15/60 pasien). Hal ini menunjukkan
toleransi ″cetuximab″ sangat baik (Lynch, T.J., et al., 2004; Theinelt, C.D.,
et al., 2005).
Efikasi
″cituximab″ ditambah kemoterapi lainnya telah diteliti. Penelitian fase I pada
KPKBSK didapatkan PR 2 dari 19 pasien (10,5%) dengan dosis multipel ″cetuximab″
dan cisplatin. Uji klinis randomisasi terkontrol kemoterapi naive pasien KPKBSK
stadium lanjut dengan ekspresi EGFR berlebihan didapatkan RR yang tinggi pada
regimen ″cetuximab″, vinorelbine dan cisplatin dibandingkan hanya dengan
″vinorelbine″ dan ″cisplatin″ saja (31,7% vs 20,0%). Penelitian lain kombinasi
″cetuximab″ dilaporkan bahwa didapatkan RR yang hampir sama. Kombinasi
″cetuximab″ dengan docetaxel kemoterapi pada KPKBSK refrakter/resisten
didapatkan 28% (13/47) PR dan 17% (8/47) penyakitnya stabil. ″Cetuximab″ yang
ditambahkan regimen paclitaxel + carboplatin atau regimen gemcitabine + carboplatine
pada KPKBSK naïve didapatkan masing – masing RR 26% (31 pasien) dan 28,6% (35
pasien) (Lynch, T.J., et al., 2004; Theinelt, C.D., et al., 2005).
3.
Bevacizumab
″Bevacizumab″
(Avastin) merupakan antibodi monoklonal humanized
yang bekerja pada target VEGF, menstimulasi formasi pembuluh darah baru tumor.
″Bevacizumab″ mempunyai efek samping berupa hipertensi sedang dan efek yang
jarang terjadi adalah perforasi intestinal. Beberapa inhibitor angiogenesis
telah diteliti pada KPKBSK termasuk VEGF, VEGFR antibodi dan inhibitor VEGFR
TK. Penelitian terbaik inhibitor angiogenesis adalah ″bevacizumab″ suatu
antiVEGF antibodi yang dikombinasikan dengan kemoterapi dan ″erlotinib″ pada
KPKBSK stage lanjut atau rekuren. Uji
klinis randomisasi terkontrol 99 pasien KPKBSK stage IIIB/IV atau rekuren,
″bevacizumab″ ditambahkan pada paclitaxel + carboplatin memberikan respons dan time to progression (TTP)
yang baik dibandingkan dengan paclitaxel + carboplatin saja. Median TTP jauh
lebih bermakna pada pasien yang mendapatkan regimen ″bevacizumab″ dosis tinggi
(15mg/kg) daripada yang mendapatkan dosis kecil (7,5mg/kg) (7,4 vs 4,2 bulan
p=0,023). Tidak ada perbedaan yang bermakna pada TTP pada grup ″bevacizumab″
dosis rendah dibandingkan paclitaxel + carboplatin saja. (Johnson, D.S., et
al., 2005).
Hasil
awal uji klinis fase I/II ″bevacizumab″ dan ″erlotinib″ pada KPKBSK stage
IIB/IV atau rekuren didapatkan PR 8 dari 40 pasien (20%) dan penyakit stabil 26
dari 40 pasien (65%), median survival
time 12,6 bulan dan progression free
survival 6,2 bulan. Eastern
Cooperative Oncology Group (ECOG) E4599 trial
membandingkan regimen paclitaxel + carboplatin dengan ″bevacizumab″ (PCB) dan
tanpa ″bevacizumab″ (PC) pada KPKBSK stage lanjut. Hal ini merupakan uji klinis
fase III pertama yang menunjukkan keuntungan survival terapi lini pertama
kombinasi target biologi dengan kemoterapi, dilaporkan RR 27% pada PCB
dibandingkan 10% pada PC, progression
free survival (PFS) (6,4 vs 4,5 bulan) dan median survival rates (12,5 vs 10,3 bulan) dengan ″bevacizumab″.
″Bevacizumab″ memberikan toleransi yang baik bila dikombinasi dengan regimen
paclitaxel + carboplatin yang akan mengubah toksisiti regimen kemoterapi.
″Bevacizumab″ mempunyai efek samping hipertensi, proteinuria dan hemoragik.
Kasus hemoragik sangat kecil tetapi dilaporkan terjadi hemoragik pulmoner yang
merupakan sebab hambatan angiogenesis. Hilangnya neovessel dalam jumlah besar
pada sentral tumor menyebabkan perdarahan ke dalam kaviti tumor yang nekrosis.
(Johnson, D.S., et al., 2005).
4.
Rituximab
Rituximab adalah murine
/ antibodi manusia yang diarahkan terhadap chimeric CD20. CD20 diekspresikan
secara relatif selektif pada sel B dari tahap pra-sel B sampai sel-sel postgerminal
berdiferensiasi menjadi sel plasma. Tikus KO CD20 menunjukkan sel-B normal pengembangan
dan fungsi, tetapi tanggapan kalsium yang diinduksi CD19 dan pensinyalan
reseptor sel-B secara signifikan diubah. Tidak seperti antigen yang lain, CD20
tidak ditumpahkan atau diinternalisasi dalam beristirahat sel B normal. Data
ini mendukung CD20 sebagai target ideal untuk berbasis antibodi terapi pada
keganasan sel B dewasa. Rituximab adalah antibodi terapeutik pertama yang
disetujui untuk pengobatan kanker. Tidak mengherankan, mayoritas mekanisme studi
aksi dari antibodi yang digunakan secara terapi berasal studi praklinis dengan
rituximab. Seperti kebanyakan imunoglobulin Antibodi terapi G1 (IgG1),
rituximab dapat memediasi CDC, ADCC, dan apoptosis langsung dengan antibodi cross-linking. Investigasi ekstensif dari
setiap mekanisme telah dilakukan pada limfoma dan CLL. Meskipun CDC relevan
dengan rituximab mediated sitotoksisitas
pada beberapa garis sel B, sel CLL mengekspresikan redup CD20 dan hanya
sebagian kecil sel yang rentan terhadap CDC oleh rituximab.8,9 Studi praklinis
in vitro dan in vivo yang sangat elegan telah menunjukkan bahwa sel-sel CLL
rentan terhadap pencukuran CD20 setelahnya pengobatan, dan ini mengurangi
kemampuan CDC untuk terjadi. Upaya untuk mencabut fenomena shave telah dilakukan dengan memberikan dosis rituximab yang sangat
rendah pada tiga kali jadwal mingguan dengan aktivitas klinis yang sangat
sederhana. Jadi, walaupun hipotesisnya sangat kuat dengan data praklinis yang
mendukung mendukung pencukuran sebagai alasan aktivitas klinis rituximab
sederhana ketika diberikan pada dosis yang lebih tinggi, tidak jelas CDC apa berkontribusi
pada penghapusan tumor. Monosit memediasi ketergantungan antibodi fagositosis
seluler (ADCP) dan sel NK menjadi perantara ADCC14 terhadap sel CLL berlabel
rituximab secara in vitro. Meskipun fungsi monosit dan sel NK untuk memediasi ADCP
dan ADCC, masing-masing, tentunya dikompromikan secara in vitro dan kemungkinan
dikompromikan in vivo pada pasien CLL. Mekanismenya ADCP imun bawaan dan ADCC
tidak diketahui tetapi mungkin dari peningkatan sel T regulator yang didokumentasikan
pada pasien CLL dengan penyakit aktif. Studi baru-baru ini menunjukkan bahwa T
mengatur sel-sel secara dramatis dapat meredam ADCC yang dimediasi ke arah
rituximabel sel-sel tumor. Dengan sel T regulatori yang meningkat dalam CLL
pasien, berkurang monositnya dan fungsi NK sell, yang kontribusi sel-sel ini
terhadap eliminasi tumor tidak jelas. Di Selain itu, polimorfisme nukleotida
tunggal Fc
RIIIa dan Fc
RIIa yang meningkatkan
ADCC dan dikaitkan dengan peningkatan respons terhadap rituximab, pada limfoma
tidak berdampak pada pengobatan rituximab respon dalam CLL. Strategi diarahkan
baik membalikkan disfungsi imun bawaan dengan agen modulasi imun tersebut
sebagai interleukin-2 agonis TLR, atau agen yang menghabiskan T sel pengatur
menawarkan peluang terbaik untuk mengoptimalkan kekebalan tubuh partisipasi sel
dalam pembersihan tumor oleh rituximab. Akhirnya, beberapa kelompok-kelompok
telah menunjukkan bahwa rituximab dapat memediasi kedua kasus yang bergantung
satu sama lain dan apoptosis independen in vitro dan dalam vivo. Apoptosis
tampaknya paling banyak mekanisme aksi penting dalam CLL dan melibatkan
aktivasi dari p38 protein kinase yang diaktifkan mitogen, jalur itu membutuhkan
gen p53 utuh, dan caspase belahan dada. Ofatumumab, anti-CD20 generasi kedua
yang sepenuhnya manusiawi itu mengenali epitop CD20 yang berbeda dari
rituximab, memiliki kesamaan ADCC, CDC yang lebih kuat, dan membutuhkan tautan silang
untuk mendorong langsung apoptosis mirip dengan riutximab.29,30 GA101 berikatan
dengan afinitas tinggi ke epitop CD20 dan, sebagai akibatnya, induksi ADCC
adalah 5 hingga 100 kali lebih besar dibandingkan dengan rituximab.31-34 Tipe
II anti-CD20 antibodi seperti B1 dan GA101 mempromosikan apoptosis langsung
tanpa antibodi hubungan silang. Perbedaan lain antara tipe I (rituximab,
ofatumumab) dan tipe II (GA101, B1) anti-CD20 antibodi terutama terletak pada
kemampuannya untuk mendistribusikan kembali CD20 ke dalam rakit lipid membran
plasma. Antibodi anti-CD20 tipe II jangan pisahkan CD20 menjadi rakit lipid dan
sangat efektif mengaktifkan mekanisme caspase-independent,
lysosomal-dependent kematian yang tergantung pada adhesi homotypic.
Relevansi pengamatan ini secara in vivo di antara pasien CLL yang menerima terapi
antibodi CD20 tipe II tetap belum diselidiki (Samantha M. Jaglowski, et al.,
2010).
Aplikasi Klinis
Antibodi monoklonal awalnya digunakan untuk pengujian
diagnnostik in vitro, yang menggunakan antibodi spesifik untuk rantai β dari chorionic gonadotropin manusia, sehingga
menghilangkan banyak reaksi positif palsu. Contoh lain termasuk deteksi antigen
tumor dan oengukuran kadar hormon. Baru-baru ini, bagaimanapun, ada
penekanan pada penggunaan antibodi
monoklonal sebagai agen terapeutik.
Salah satu kemajuan terbesar dalam bidang bioteknologi
adalah penemuan antibodi monoklonal
(mAbs). Antibodi monoklonal telah merevolusi bidang penelitian dan kedokteran.
Dengan memanfaatkan kekhususan molekuler untuk target biologis, antibodi
monoklonal telah memberi peneliti kemampuan untuk mempelajari proses biologis
dengan andal dan dengan akurasi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Para ilmuwan
telah menciptakan banyak teknik biologis umum, seperti tes immunosorbent enzim-linked, western blot, dan flow cytometry melalui penggunaan antibodi monoklonal. Di luar
penggunaannya di laboratorium, antibodi monoklonal menunjukkan harapan besar
dalam pengaturan klinis dalam pengobatan penyakit (Ndoja dan Lima, 2017).
Selain itu kisah sukses terbesar lainnya dalam pengobatan
dua penyakit autoimun: rheumatoid
arthritis dan penyakit Chron (radang kolin inflamasi progresif). Kedua penyakit
ini telah diobati dengan antibodi monoklonal yang disebut inflixmab yang
menghalangi aksi tumor necrosis faktor-alpha. Pengobatan untuk kanker payudara,
limfoma non-Hodgkin, dan terapi anti platelet untuk sindrom koroner akut juga
sangat menjanjikan. Faktanya bahwa antibodi monoklonal sekarang dapat
dimanusiakan oleh teknologi rekombinan telah mengurangi reaksi terhadap reagen
itu sendiri, yang dulunya berasal dari tikus. Antibodi ini cenderung berkembang
di masa depan karena lebih dari seperempat obat saat ini dalam perkembangan
bersifat monoklonal (Stevens, 2013).
Antibodi Monoklonal Penting dalam Penggunaan Klinis
Antibodi monoklonal terbukti sangat berguna sebagai
diagnostik, pencitraan, dan reagen terapeutik dalam kedokteran klinis. Awalnya,
antibodi monoklonal digunakan terutama sebagai reagen diagnostik in vitro. Di
antara banyak monoklonal reagen diagnostik antibodi yang sekarang tersedia
adalah produk untuk mendeteksi kehamilan, mendiagnosis berbagai mikroorganisme
patogen, mengukur kadar berbagai obat dalam darah, mencocokkan antigen
histokompatibilitas, dan mendeteksi antigen yang berasal dari tumor tertentu.
Antibodi monoklonal radiolabel juga dapat digunakan
secara in vivo untuk mendeteksi atau menemukan antigen tumor, memungkinkan
dengan sebelum diagnosis beberapa tumor primer atau metastasis pada pasien.
Misalnya, antibodi monoklonal terhadap kanker payudara sel-sel diberi label
dengan yodium-131 dan dimasukkan ke dalam darah untuk mendeteksi penyebaran
tumor ke kelenjar getah bening regional. Teknik pencitraan monoklonal ini dapat
mengungkapkan kanker payudara metastasis yang tidak terdeteksi oleh alat lain,
yang kurang sensitif teknik pemindaiannya.
Imunotoksin terdiri dari monoklonal yang spesifik
terhadap tumor antibodi yang digabungkan dengan racun mematikan yang berpotensi
dapat menjadi reagen terapeutik. Racun yang digunakan dalam menyiapkan
imunotoksin termasuk risin, toksin Shigella, dan toksin difteri, semuanya di
antaranya menghambat sintesis protein. Racun ini sangat ampuh dengan satu
molekul saja telah terbukti membunuh sel. Setiap racun ini terdiri dari dua
jenis yang berbeda secara fungsional komponen polipeptida, rantai penghambat
(toksin) dan satu atau lebih rantai pengikat, yang berinteraksi dengan reseptor
permukaan sel; tanpa polipeptida pengikat toksin tidak bisa masuk ke dalam sel
dan karenanya tidak berbahaya. Sebuah imunotoksin disiapkan dengan mengganti
polipeptida pengikat dengan antibodi monoklonal yang spesifik untuk tertentu
sel tumor (Gambar 2.10-a). Secara teori, monoklonal antibodi akan mengantarkan
rantai toksin secara khusus ke tumor sel, di mana akan menyebabkan kematian
dengan cara menghambat protein sintesis (Gambar 2.10-b). Respon klinis awal
untuk imunotoksin tersebut pada pasien dengan leukemia, limfoma, dan beberapa
jenis kanker lainnya telah menjanjikan, dan penelitian untuk mengembangkan dan
menunjukkan keamanan dan efektivitasnya sedang berlangsung.
Gambar 2.10. (a) Racun yang
digunakan untuk menyiapkan imunotoksin termasuk risin, toksin Shigella, dan
toksin difteri. Setiap racun mengandung penghambat rantai toksin (merah) dan
komponen pengikat (kuning). Untuk membuat imunotoksin, komponen pengikat racun
diganti dengan antibodi monoklonal (biru). (b) Toksin Difteri berikatan dengan
reseptor membran sel (kiri) dan ikatan difteri-imunotoksin ke antigen terkait
tumor (kanan). Dalam kedua kasus, toksin diinternalisasi dalam endosom. Rantai
toksin kemudian dilepaskan ke dalam sitoplasma, di mana ia menghambat sintesis
protein dengan mengkatalisasi inaktivasi faktor perpanjangan 2 (EF-2).
Beberapa antibodi monoklonal dalam penggunaan klinis:
H.
Abzymes: Antibodi
Monoklonal yang Mengkatalisis Reaksi
Reaksi yang mengkatalisasi pengikatan suatu antibodi dengan antigennya
serupa dalam banyak cara untuk mengikat enzim ke substratnya. Pada kedua kasus
tersebut, pengikatan yang terjadi lemah, interaksi nonkovalen dan menunjukkan
spesifisitas tinggi dan sering memiliki afinitas tinggi. Apa yang membedakan
interaksi antibodi-antigen dari enzim dan interaksi substrat adalah bahwa
antibodi tidak berubah antigen, sedangkan enzim mengkatalisasi perubahan kimia
di substratnya. Namun, seperti halnya enzim, antibodi yang sesuai kekhususan
dapat menstabilkan keadaan transisi dari suatu ikatan substrat, sehingga
mengurangi energi aktivasi untuk bahan kimia yang dimodifikasi dari substrat.
Kesamaan antara interaksi antigen-antibodi dan interaksi
enzim-substrat menimbulkan pertanyaan apakah beberapa antibodi dapat
berperilaku seperti enzim dan mengkatalisasi reaksi kimia. Untuk menyelidiki
kemungkinan ini, kompleks hapten-carrier disintesis di mana hapten secara
struktural menyerupai keadaan transisi dari ester yang mengalami hidrolisis.
Sel limpa dari tikus diimunisasi, dengan ini analog keadaan transisi
digabungkan dengan sel myeloma menjadi menghasilkan antibodi monoklonal
antihapten.
Ketika antibodi monoklonal diinkubasi dengan ester
substrat, beberapa dari mereka mempercepat hidrolisis sekitar 1000 kali lipat;
yaitu mereka bertindak seperti enzim yang biasanya mengkatalisasi hidrolisis
substrat. Aktivitas katalitik dari antibodi ini sangat spesifik; yaitu, mereka
terhidrolisis hanya ester yang struktur transisinya mirip dengan analog.
keadaan transisi digunakan sebagai hapten dalam imunisasi mengkonjugasikan.
Antibodi katalitik ini disebut abzym mengacu
pada peran ganda mereka sebagai antibodi dan enzim.
Tujuan utama dari penelitian antibodi katalitik adalah
derivasi dari baterai abzim yang memotong ikatan peptida pada spesifik residu
asam amino, sama seperti enzim restriksi memotong DNA di situs tertentu. Abzim
seperti itu akan menjadi alat yang sangat berharga di Indonesia, analisis struktural dan fungsional protein.
Selain itu, dimungkinkan untuk menghasilkan abzymes
dengan kemampuan untuk melarutkan gumpalan darah atau untuk membelah
glikoprotein virus secara spesifik situs tertentu, sehingga memblokir
infektivitas virus. Sayangnya, katalitik antibodi yang mengikat ikatan peptida
protein memiliki kesulitan untuk diturunkan. Banyak penelitian saat ini sedang
dikejar di bidang ini dikhususkan untuk solusi masalah penting tapi sulit ini.
I.
Antibodi Monoklonal Chimeric Dan Hybrid Memiliki
Potensial Klinik yang Besar
Salah satu
pendekatan rekayasa antibodi adalah dengan mengkloning rekombinan DNA yang mengandung promoter, leader, dan urutan variable region dari gen antibodi tikus
dan ekson wilayah konstan dari gen antibodi manusia (Gambar 2.11). Antibodi
yang dikodekan oleh gen rekombinan adalah chimera tikus-manusia, umumnya
dikenal sebagai human antibody.
Spesifisitas antigeniknya, yang ditentukan oleh wilayah variabel, berasal dari
DNA tikus; isotipe-nya, yang ditentukan oleh daerah konstan, berasal dari DNA
manusia. Karena daerah konstan ini antibodi chimeric dikodekan oleh gen
manusia, antibodi memiliki lebih sedikit penentu antigenik tikus dan imunogenik
jauh lebih rendah bila diberikan pada manusia dibandingkan antibodi monoklonal
tikus (Gambar 2.12-a). Kemampuan daerah variabel tikus yang tersisa di manusia
ini antibodi untuk menyediakan situs pengikatan yang sesuai untuk memungkinkan
pengenalan spesifik antigen target telah mendorong lebih jauh eksplorasi
pendekatan ini. Itu mungkin untuk diproduksi antibodi manusia-tikus chimeric di
mana hanya urutan CDR berasal dari tikus (Gambar 2.12-b). Keuntungan lain dari
antibodi chimeric yang dimanusiakan adalah mereka mempertahankan fungsi efektor
biologis antibodi manusia dan lebih cenderung memicu aktivasi komplemen manusia
atau pengikatan reseptor Fc. Salah satu manusia purba dengan chimeric antibodi
telah digunakan untuk mengobati pasien dengan sel-B varietas limfoma
non-Hodgkin.
Gambar 2.11.
Produksi monoklonal tikus-manusia chimeric antibodi. Ekspresi rantai berat dan
cahaya tikus-manusia chimeric vektor diproduksi. Vektor-vektor ini
ditransfusikan ke dalam Ab sel myeloma. Kultur dalam medium ampisilin memilih
untuk ditransfusikan sel-sel myeloma yang mengeluarkan antibodi chimeric.
Antibodi monoklonal
chimeric yang berfungsi sebagai imunotoksin juga dapat disiapkan. Di dalam
kasus, domain wilayah konstan terminal dalam spesifik tumor antibodi monoklonal
diganti dengan rantai toksin (Gambar 2.12-c). Karena kekurangan imunotoksin ini
terminal domain Fc, mereka tidak dapat mengikat bantalan sel Reseptor Fc.
Imunotoksin ini hanya dapat berikatan dengan tumor sel, membuatnya sangat
spesifik sebagai reagen terapi. Heteroconjugate,
atau antibodi bispecific, adalah
hibrida dari dua molekul antibodi yang berbeda (Gambar 2.12-d). Mereka dapat
dibangun dengan menghubungkan secara kimiawi dua berbeda antibodi atau dengan
mensintesisnya dalam hibridoma yang terdiri dari dua sel penghasil antibodi
monoklonal yang berbeda garis yang telah menyatu. Kedua metode ini menghasilkan
campuran antibodi monospecific dan bispecific dari dimana molekul
bispecific yang diinginkan harus dimurnikan. Menggunakan rekayasa genetika
untuk membangun gen yang akan dikodekan molekul hanya dengan dua kekhasan yang
diinginkan adalah banyak pendekatan yang lebih sederhana dan lebih elegan.
Beberapa molekul bispecific telah
dirancang di mana setengah dari antibody memiliki kekhususan untuk tumor dan
setengah lainnya memiliki kekhususan untuk molekul permukaan pada sel efektor imun,
seperti sel NK, makrofag teraktivasi, atau limfosit T sitotoksik (CTL). Heteroconjugate seperti itu telah
dirancang untuk mengaktifkan sel efektor kekebalan ketika itu crosslinked ke sel tumor sehingga mulai
memediasi penghancuran sel tumor.
Gambar 2.12.
Antibodi monoklonal Chimeric dan hybrid direkayasa oleh teknologi DNA
rekombinan. (a) Chimeric mouse-human
antibodi monoklonal yang mengandung domain VH dan VL dari antibodi monoklonal
tikus (biru) dan domain CL dan CH dari human
antibodi monoklonal (abu-abu). (B) Antibodi monoklonal chimeric hanya
mengandung CDR dari antibodi monoklonal tikus (pita biru) dicangkokkan dalam
kerangka wilayah monoklonal manusia. Antibodi disebut antibodi monoklonal
"manusiawi". (c) Antibodi monoklonal chimeric di mana domain terminal
Fc diganti oleh rantai toksin (putih). (D) Suatu heteroconjugate di mana satu setengah molekul antibodi tikus khusus
untuk antigen tumor dan separuh lainnya khusus untuk kompleks reseptor
sel-CD3/T.
J.
Antibodi monoklonal dapat dikonstruksi dari Ig-Gene Libraries
Pendekatan yang
sangat berbeda untuk menghasilkan antibodi monoklonal menggunakan polymerase chain reaction (PCR) untuk
menguatkan DNA yang mengkodekan rantai berat antibodi dan rantai ringan fragmen
Fab dari sel hybridoma atau plasma
sel. Wilayah promotor dan situs pembatasan EcoRI ditambahkan ke urutan yang diamplifikasi, dan
hasil konstruk dimasukkan ke dalam bakteriofag, menghasilkan pisahan rantai
berat dan rantai ringan. Pembelahan dengan EcoRI dan penyambungan acak gen
rantai berat dan ringan menghasilkan banyak konstruksi ringan-berat terbarukan
(Gambar5-22). Prosedur ini menghasilkan beragam antibodi kekhususan. Rantai L
dapat disaring dengan cepat, mereka yang mengeluarkan antibodi terhadap antigen
tertentu. Tingkat keragaman sebanding dengan repertoar in vivo manusia, dan
adalah mungkin untuk menunjukkan bahwa kekhususan terhadap luas berbagai
antigen dapat diperoleh dari perpustakaan ini. Seperti itu pendekatan
perpustakaan kombinasi membuka kemungkinan untuk memperoleh antibodi spesifik
tanpa perlu apa pun untuk imunisasi.
Namun, tantangan
nyata untuk melewati imunisasi in vivo dalam derivasi antibodi yang berguna
dari afinitas tinggi terletak dalam menemukan cara untuk meniru biologi respon
imun humoral. Evolusi in vivo sebagian besar respons imun humoral menghasilkan
dua hasil yang diinginkan. Salah satunya adalah peralihan kelas, di mana
variasi kelas antibodi dari spesifisitas yang sama diproduksi. Ini merupakan
pertimbangan penting karena class
switching yang terjadi selama respons imun menghasilkan antibodi yang
memiliki kekhususan yang sama tetapi fungsi efektor yang berbeda dan karenanya,
fleksibilitas biologis lebih besar. Yang lainnya adalah generasi antibodi
afinitas yang lebih tinggi dan lebih tinggi sebagai respon berlangsung. Tujuan
utama pendekatan perpustakaan Ig-gen adalah pengembangan strategi untuk
menghasilkan antibodi afinitas yang sesuai in vitro siap seperti mereka
dihasilkan oleh respon imun in vivo. Ketika tangguh hambatan teknis untuk
pencapaian tujuan-tujuan ini Jika diatasi, pendekatan kombinatorial berdasarkan
perpustakaan fag akan memungkinkan produksi rutin dan luas antibodi yang
berguna dari spesies yang diinginkan tanpa keterbatasan teknologi imunisasi dan
hibridoma yang saat ini menyulitkan produksi monoklonal antibodi.
Gambar 2.13. Prosedur umum untuk memproduksi pengkodean pustaka gen fragmen
besar. Dalam prosedur ini, mRNA terisolasi yang mengkodekan rantai berat dan
ringan diperkuat oleh rantai polimerase reaksi (PCR) dan dikloning dalam
vektor. Kombinasi acak dari gen rantai berat dan ringan menghasilkan sejumlah
besar konstruksi berat-ringan yang mengkode fragmen Fab dengan antigenik yang
berbeda.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Imunoteknologi adalah teknologi yang didasarkan pada aplikasi sel dan
molekul sistem kekebalan tubuh. Antibodi merupakan campuran protein di dalam
darah dan disekresi mukosa menghasilkan sistem imun bertujuan untuk melawan
antigen asing yang masuk ke dalam sirkulasi darah. Pada tahun 1908, Metchnikof
dan Erlich mengemukakan mengenai teori imunologi yang membawa perubahan besar
pada pemanfaatan antibodi untuk mendeteksi adanya antigen (zat asing) di dalam
tubuh. Pada tahun 1975, Georges Kohler, Cesar Milstein and Niels Kaj Jerne menemukan
cara baru dalam membuat antibodi dengan mengimunisasi hewan percobaan, kemudian
sel limfositnya difusikan dengan sel meiloma, sehingga sel hibrid dapat
dibiakan terus menerus. Antibodi poliklonal adalah antibodi dimana di dalam
suatu populasi terdapat lebih dari satu macam antibodi, atau campuran antibodi
yang mengenal epitop yang berbeda pada antigen yang sama. Formasi dari
hibridoma pada produksi antibodi monoklonal yaitu seekor tikus diinjeksi, dan
diambil sel limfanya. Sel limfa tersebut digabungkan dengan sel mieloma dan
disepuhkan dalam media yang terbatas. Hanya sel hibridoma yang akan tumbuh di
media ini, dimana sel hibridoma akan mensitesa dan megeluarkan imunoglobulin
monoklonal spesifik untuk penentu
tunggal pada antigen.
Antibodi monoklonal menggunakan mekanisme kombinasi untuk meningkatkan efek
sitotoksik sel tumor. Struktur antibodi monoklonal rekombinan dan jenis
antibodi monoklonal generasi baru yang telah dikembangkan antara lain; antibodi
monoklonal fully mouse, chimaric,. humanized, fully human. Terapi target
didefinisikan sebagai obat atau molekul untuk membunuh sel tumor melalui
interaksi target yang terdapat pada sel ganas. Antibodi monoklonal terbukti
sangat berguna sebagai diagnostik, pencitraan, dan reagen terapeutik dalam kedokteran
klinis. Awalnya, antibodi monoklonal digunakan terutama sebagai reagen
diagnostik in vitro. Di antara banyak monoklonal reagen diagnostik antibodi
yang sekarang tersedia adalah produk untuk mendeteksi kehamilan, mendiagnosis
berbagai mikroorganisme patogen, mengukur kadar berbagai obat dalam darah,
mencocokkan antigen histokompatibilitas, dan mendeteksi antigen yang berasal
dari tumor tertentu.
Abzymes
memiliki kemampuan untuk melarutkan gumpalan darah atau untuk membelah
glikoprotein virus secara spesifik situs tertentu, sehingga memblokir
infektivitas virus. Antibodi yang dikodekan oleh gen rekombinan adalah chimera
tikus-manusia, umumnya dikenal sebagai human antibody. Spesifisitas
antigeniknya, yang ditentukan oleh wilayah variabel, berasal dari DNA tikus;
isotipe-nya, yang ditentukan oleh daerah konstan, berasal dari DNA manusia.
Tujuan utama pendekatan Ig-gen library
adalah pengembangan strategi untuk menghasilkan antibodi afinitas yang sesuai
in vitro siap seperti mereka dihasilkan oleh respon imun in vivo.
B. Saran
Kita sebagai seorang farmasis harus tahu betul mengenai monoklonal
antibodi karena merupakan suatu teknologi farmasetik yang sangat bermanfaat
bagi kehidupan manusia dimasa yang akan datang. Sebagai farmasis yang baik,
alangkah lebih baik pula kita untuk senantiasa mempelajarinya dengan
sungguh-sungguh kemudian dapat mengimplementasikannya ke dalam bentuk
penelitian guna membuat inovasi baru sebagai bahan imunoteknologi dalam pharmaceutical technology.
DAFTAR
PUSTAKA
Abbas AK, Lichtman AH. Antibodies
and antigens. In: Schmitt WR, Krehling H, editors. 2005. Cellular and molecular immunology. 5th ed. Philadelphia: Elsevier
Saunders. 43-64.
Adams, G.P., dan Weiner, L.M.
2005. Monoclonal antibody therapy of
cancer. Nature Biotechnology. 23:
1147-57.
Alberts, B., Johnson, A., Lewis,
J., Raff, M., Robert, K., Walter, P. 2002. Manipulating proteins, DNA, and RNA.
In: Anderson MS, Dilernia B, editors. Molecular
biology of the cell. 4th ed. New York: Garland Science. 469-78.
American Cancer Society. 2005. Cancer facts & figures. Atlanta:
ACS.
Büyükköroğlu,
G. dan Åženel,B. 2018. Engineering Monoclonal Antibodies: Production and
Applications. Journal of Omics
Technologies and Bio-Engineering. Pages 353–389. doi:
10.1016/B978-0-12-804659-3.00016-6
Hafeez1, U.,
Gan, H.K., Scott, A.M. 2018. Monoclonal antibodies as immunomodulatory therapy
against cancer and autoimmune diseases. Journal
of Current Opinion in Pharmacology. doi: 10.1016/j.coph.2018.05.010
Henricks, L.M. Schellens, J.H.M.
Huitemad, A.D.R, Beijnen, J.H. 2015. The use of combinations of monoclonal
antibodies in clinical oncology. Journal
of Cancer Treatment Reviews. 41(10). doi: 10.1016/j.ctrv.2015.10.008
Herbst R. S. 2002. Targeted therapy in non small cell lung
cancer. Oncology (Williston Park). 16: 19-24.
Herbst RS, Bunn PA. 2003. Targeting the epidermal growth factor
receptor in non small cell lung cancer. Clin Cancer Res. 9: 5813-24.
Herbst RS, Shin DM. 2002. Monoclonal antibodies to target epidermal
growth factor receptor positive tumors: a new paradigm for cancer therapy.
Cancer. 94: 1593-611.
Isobe T, Herbst RS, Onn A. 2005. Current management of advanced non small
cell lung cancer: targeted therapy. Semin Oncol. 32: 315-28.
Jaglowski, Samantha M., Lapo
Alinari, Rosa Lapalombella, Natarajan Muthusamy, dan John C. Byrd. 2010. The
clinical application of monoclonal antibodies in chronic lymphocytic leukemia. BLOOD. Vol. 116, No. 19.
Jemal A, Murray T, Ward E,
Samuels A, Tiwari RC, Ghafoor A, et al. 2005. Cancer statistic. CA Cancer J Clin. 55: 10-30.
Jusuf, A., Harryanto, A.,
Syahruddin, E., Endardjo. S., Mudjiantoro, S., Sutandio, N. 2005. Kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil pedoman
diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: PDPI. 14-5.
Kindt, T.J., Osborne, B.A. &
Goldsby, R.A., 2006, Kuby Immunology (Kindt, Kuby Immunology 6th
Edition, W.H. Freeman.
KÅ‘hler,
G. dan Milstein, C. 1975. Continous
cultures of fused cells secreting antibody of predifined specificity.
Nature. 256: 495-7.
Maione P, Rossi A, Airoma G,
Ferrara C, Castaldo V. 2004. The role of
targeted therapy in non small cell lung cancer. Crit Rev Oncol Hematol. 51:
29-44.
Mishra BK, Parikh PM. 2006. Targeted therapy in oncology. MJAFI. 62:
169-73.
Moussavou, Ghislain, Kisung Ko,
Jeong-Hwan Lee, dan Young-Kug Choo. 2015. Production of Monoclonal Antibodies
in Plants for Cancer Immunotherapy. BioMed
Research International. Volume 2015. ID 306164.
National Academy of
Science. 1999. Monoclonal Antibody
Production: A Report of the Committee on Methods of Producing Monoclonal
Antibodies Institute for Laboratory Animal Research National Research Counci.
Washington DC: National Academy Press
Ndoja, S., Lima, H.
2017. Monoclonal Antibodies. Jornal of
Current Developments in Biotechnology and Bioengineering. Pages 71–95. doi:
10.1016/B978-0-444-63660-7.00004-8
Nelson PN, Reynolds GM, Waldron
EE, Ward E, Giannopoulos K, Murray PG. 2000. Demystified monoclonal antibodies. J Clin Pathol: Mol Pathol. 53:
111-7.
Ostoros G, Kovacs G, Szondy K,
Dome B. 2005. New therapies for non-small
cell lung cancer. Orv Hetil. 146: 1135-41.
Radji, Maksum. 2010. Imunologi &Virologi. Penerbitan PT ISFI; Jakarta.
Radji,
Maksum. 2010. Buku Ajar Mikrobiologi
Panduan Mahasiswa Farmasi dan Kedokteran. Jakarta: EGC.
Santos, R.B
Galvao, V.R. 2017. Monoclonal Antibodies Hypersensitivity Prevalence and
Management. Journal of Immunol Allergy Clin N
Am, 37 (2017) 695–711. doi: 10.1016/j.iac.2017.07.003
Stevens,
C.D. 2003. Clinical immunology and
Serology: A Laboratory Perspective 2nd edition. United States of America:
F.A. Davis Company.
Syahruddin E. 2006. Characteristic of patients in Indonesian
association for the study of lung cancer data. In: Committee PIPKRA,
editors. Abstracts of the 4th Scientific Respiratory Medicine Meeting. Jakarta
PIPKRA.
T. Saxena. 2011. Immunotechnology in Disease Diagnosis. Jaipur : Department of Life
Sciences, The IIS University.
Tuscano JM, Noonan K, Mulrooney
T. 2005. Monoclonal antibodies: case
studies in novel therapies. In: Frankel C, editor. A continuing education
program for oncology nurses. Pittsburgh: OES. 5-8.
Waldmann, T.A. 2003. Immunotherapy: past, present and future. Nature
Medicine. 9: 269-77.
Ward PA, Adams J, Faustman D,
Gebhart GF, Geistfeld JG, Imbaratto JW, et al. 1999. Monoclonal antibody production. In: Grossblatt N, editor. A report
of the commitee on methods of producing monoclonal antibodies institute for laboratory
animal research national research council. Washington DC: National Academy
Press. 6-8.
LAMPIRAN
PEMBAGIAN KERJASAMA DALAM
KELOMPOK
Fernando Calvin Simorangkir
|
Mencari Teori Pengertian Imunoteknologi dan Antibodi Monoklonal
|
Nevy Aulya Ramadani
|
Mencari dan Menjelaskan Sejarah Monoklonal Antibodi
|
Nurul Anisya Alawiyah
|
Menjelaskan Perbedaan Antibodi Poliklonal dan Antibodi Monoklonal
|
Ulfa Restiana Devi Pratiwi
|
Mencari Teori dan menjelaskan Monoclonal
Antibody Engineering, Teknik Hibridoma dan Prosedur Pembuatan Antibodi
Monoklonal serta menguraikan dan menjelaskan Abzymes sebagai antibodi monoklonal yang mengkatalisis reaksi
|
Intan Risa Nurasih
|
Menguraikan Mekanisme Kerja Antibodi Monoklonal dan Pemilihan Antibodi
Spesifik Penghasil Klon
|
Jauharotul Badiah
|
Menjelaskan Antibodi monoklonal rekombinan
|
Nurul Fitriyah
|
Mencari Penjelasan Target Terapi antibodi monoklonal dan kegunaan penting
dalam penggunaan klinik
|
Hilman Taofik Hidayah
|
Mencari teori dan
penjelasan Antibodi monoklonal chimeric dan hybrid yang memiliki potensial
klinik yang besar, teori Antibodi monoklonal yang dapat dikonstruksi dari Ig-Gene Libraries, penjelasan Produksi Antibodi Monoklonal pada Tanaman untuk Imunoterapi
kanker, penjelasan obat Rituximab dan menyusun makalah
|
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete