MENGANALISA CERPEN
MENGANALISIS CERPEN BAHASA INDONESIA
Oleh : Himan Taofik Hidayah
Judul
: Kupu Kupu Musim Semi
Pengarang
: Rika
Alif Firda
Hari ini seperti biasa. Semua berjalan begitu saja. Aku menemukan diriku
terlelap di meja, bersama tumpukan buku-buku tebal yang berada di depan mukaku.
Suara gemericik air hujan yang semakin lama iramanya semakin padat, berhasil
membangunkanku. “Hooaam.. oh, jam empat.” Gumanku seorang diri setelah melirik
jam di dinding. Dengan lelapnya aku telah tertidur selama lebih dari dua jam.
Ku langkahkan kakiku menuju jendela yang tepat berada di samping meja belajar.
“Wuuusshh…” Udara dingin menerpa wajahku seketika setelah ku buka jendela.
Hujan. Hujan ini membawaku bernostalgia, mengingatkanku kepada sahabat
kecilku, Enna. Masih terbayang jelas senyum Enna kecil yang manis, dan tawanya
yang lucu. Hujan gerimis di awal musim gugur, lima belas tahun yang lalu. Dua
gadis kecil berusia kanak-kanak berlarian di suatu taman kota. Salah seorang
anak jatuh, dan menangis. Melihat temannya menangis, gadis kecil yang satunya
mencoba menghibur dengan pura-pura terjatuh. Lucu sekali. Ia kemudian
menggendong temannya yang masih menangis padahal ia lebih mungil. Tak lama
kemudian gadis kecil yang tadinya menangis tertawa dan melupakan kejadian saat
ia jatuh. Ya, Enna yang menggendongku saat itu. Aku tersenyum kecil mengingat
kejadian yang telah lama berlalu. “Kapan ya, kita bisa ketemu lagi?” Tanyaku
kepada diriku sendiri.
Pagi ini berkabut. Tetapi, aku harus tetap berangkat. Seperti rutinitas
biasanya, aku menggunakan bus kota untuk menuju ke tempat kursus. Bus terlihat
sepi, aku duduk di samping perempuan yang terlihat seusia denganku. Beberapa
saat terdiam, perempuan itu menyapaku.
“Hai, mbak. Mau ke mana?” Tanyanya.
“Eeh, iya. Mau kursus.” Jawabku dengan sedikit senyum.
“Ohh, gitu ya mbak.” Ia melontarkan senyum.
Setelah diam sesaat, “Aku Emi, nama mbak siapa?” ia bertanya kembali.
“Aku Hana. Oiya, jangan panggil mbak dong, kan aku berasa tua. Kayaknya kita seumuran deh.” Jawabku.
Percakapan kami terus berlanjut hingga akhirnya terhenti karena aku harus turun dari bus. Akhirnya, kami saling bertukar nomor telepon.
“Hai, mbak. Mau ke mana?” Tanyanya.
“Eeh, iya. Mau kursus.” Jawabku dengan sedikit senyum.
“Ohh, gitu ya mbak.” Ia melontarkan senyum.
Setelah diam sesaat, “Aku Emi, nama mbak siapa?” ia bertanya kembali.
“Aku Hana. Oiya, jangan panggil mbak dong, kan aku berasa tua. Kayaknya kita seumuran deh.” Jawabku.
Percakapan kami terus berlanjut hingga akhirnya terhenti karena aku harus turun dari bus. Akhirnya, kami saling bertukar nomor telepon.
Sudah dua bulan berlalu. Aku seperti menemukan sosok Enna di dalam diri
Emi. Dia baik, asyik diajak ngobrol dan dewasa. Walaupun demikian, dia tetap
punya cara untuk membuatku tertawa. Aku merasa menemukan sesosok sahabat lagi.
Semenjak SMP aku hanya berteman dengan temanku biasa saja, tidak ada yang
spesial. Aku masih belum bisa menggantikan sosok Enna, sampai akhirnya aku
bertemu Emi. Siang ini kita berencana bertemu kembali. Setelah pertemuan di bus
kita belum berjumpa lagi karena kesibukan masing-masing. Sampai di sebuah taman
di sebuah bangku, aku menemukan Emi. Dia cantik sekali dengan dress biru
setinggi lutut. Kita saling menyapa hingga akhirnya bercerita ke sana ke mari.
“Jadi, apa
kesibukanmu saat ini Em?” Tanyaku kepadanya.
“Aku.. aku kerja di butik Han. Ya, butik punya tanteku.” Jawabnya.
“Wah, kapan-kapan aku boleh mampir ya!” Aku begitu antusias mengetahui ia bekerja di butik. Aku menyukai fashion dan setelah kursus aku berencana melanjutkan sekolah desain. “Eee, anu Han, butik tanteku itu di luar kota. Tapi, boleh kok kapan-kapan aku ajak ke sana. Tapi setiap weekend aku pulang ke sini. Hehehe,” jelas Emi.
“Oiya Han, kamu kursus apa sih?” Sambungnya lagi.
“Oh, itu. Kursus bahasa Jepang Em. Buat cari sertifikat, rencananya mau lanjut kuliah di sana.” Kataku dengan senang. “Hloh, bukannya kamu lahir sampe SD di sana? Kok masih ngambil kursusnya. Hahahaha.” Goda Emi.
“Iya sih Em, tapi itu udah 7 tahun yang lalu. Lupalah aku. Hahaha.” Aku membela diri. Kami terus bercerita dan bercanda. Hari itu benar-benar indah.
“Aku.. aku kerja di butik Han. Ya, butik punya tanteku.” Jawabnya.
“Wah, kapan-kapan aku boleh mampir ya!” Aku begitu antusias mengetahui ia bekerja di butik. Aku menyukai fashion dan setelah kursus aku berencana melanjutkan sekolah desain. “Eee, anu Han, butik tanteku itu di luar kota. Tapi, boleh kok kapan-kapan aku ajak ke sana. Tapi setiap weekend aku pulang ke sini. Hehehe,” jelas Emi.
“Oiya Han, kamu kursus apa sih?” Sambungnya lagi.
“Oh, itu. Kursus bahasa Jepang Em. Buat cari sertifikat, rencananya mau lanjut kuliah di sana.” Kataku dengan senang. “Hloh, bukannya kamu lahir sampe SD di sana? Kok masih ngambil kursusnya. Hahahaha.” Goda Emi.
“Iya sih Em, tapi itu udah 7 tahun yang lalu. Lupalah aku. Hahaha.” Aku membela diri. Kami terus bercerita dan bercanda. Hari itu benar-benar indah.
Setahun berlalu dengan cepatnya. Tak terasa sebentar lagi aku akan
meninggalkan kota ini lagi, untuk belajar di kota kelahiranku. Hubungan
persahabatanku dengan Emi semakin baik. Aku memahaminya begitu juga sebaliknya.
Tetapi, selama mengenalnya ia selalu enggan menceritakan tentang kedua
orangtuanya. Aku tak masalah dengan hal itu, setiap orang memiliki privasi
masing-masing, pikirku.
“Han, makasih ya
udah mau jadi sahabatku.” Ucap Emi tiba-tiba ketika kita sedang berbaring di
rumput taman kota, tempat kita biasa bertemu. “Iya Em, aku seneng banget deh
punya sahabat baik kayak kamu.” Jawabku sembari menerawang jauh langit biru
dengan gumpalan awan putih yang terlihat lembut.
“Janji ya Em, kita bakal sahabatan sampai tua nanti.” Lanjutku sembari mengulurkan jari kelingkingku. Emi mengikatkan kelingkingnya. Hari yang cerah, bunga-bunga dan pohon-pohon di taman menjadi saksi janjiku dan Emi.
“Janji ya Em, kita bakal sahabatan sampai tua nanti.” Lanjutku sembari mengulurkan jari kelingkingku. Emi mengikatkan kelingkingnya. Hari yang cerah, bunga-bunga dan pohon-pohon di taman menjadi saksi janjiku dan Emi.
Hingga suatu malam, ketika aku terjebak mogok dengan kakak laki-lakiku
setelah membeli kenang-kenangan untuk Emi, karena lusa aku harus berangkat ke
Jepang. Aku menemukan gadis mirip sekali dengan Emi berjalan dengan seorang
lelaki yang menurutku sudah terlalu tua jika itu disebut pacar. Awalnya aku
tidak percaya, karena gadis itu berpenampilan sangat seksi dan terlihat sedang
bermanja dengan lelaki tua itu. Hingga mereka melewati mobilku.
“Emi.” Aku benar-benar tidak percaya dengan apa yang aku lihat saat ini.
“Itu benar-benar Emi.” Pikirku. Emi menyadari keberadaanku, ia terlihat kaget
dan langsung melepaskan pelukannya di pinggang lelaki itu. “Kenapa sayang?
Hotelnya sudah dekat tuh.” Ucap lelaki tua itu kepada Emi dengan manja. Aku
masih terdiam, aku tidak percaya. Emi akhirnya berjalan dengan lelaki tua itu
masuk ke dalam hotel, meski sesekali ia menoleh ke arahku.
“Dek, masuk mobil! Sini daerah rawan pr*stitusi. Bahaya!” Kata kakakku setengah berteriak. Aku masih terbengong, hingga kakakku mengulanginya lagi. “Dek, kok malah bengong! Ayo masuk mobil, bentar lagi selesai nih mesinnya.” Aku tersadar, tanpa menjawab aku masuk ke dalam mobil.
“Dek, masuk mobil! Sini daerah rawan pr*stitusi. Bahaya!” Kata kakakku setengah berteriak. Aku masih terbengong, hingga kakakku mengulanginya lagi. “Dek, kok malah bengong! Ayo masuk mobil, bentar lagi selesai nih mesinnya.” Aku tersadar, tanpa menjawab aku masuk ke dalam mobil.
Sepanjang perjalanan pulang, aku terus melamun. Aku sungguh tidak percaya,
jika Emi, sahabat yang selama ini aku kenal ada seorang pelac*r. Bagaimana
mungkin, apa maksudnya membohongiku selama ini. Aku tidak tahu pasti bagaimana
perasaanku saat ini. Kecewa, marah, tapi juga sedih. Aku berasal dari keluarga
yang bisa dibilang taat, dimana aku selalu menjaga pergaulanku, bagaimana bisa
aku bersahabat dengan seorang, “Ah… ” Pikiranku benar-benar kacau. “Dek, kamu
kenapa sih kok diem aja? Biasanya cerewet, ngomel-ngomel.” Sahut kakakku karena
melihatku terdiam. Aku tak menjawab, hanya tersenyum kecil yang ku paksakan.
Sesampainya di rumah, aku tak dapat lagi membendung air mataku. Ku hampiri
mamaku yang saat itu sedang membaca majalah di ruang tamu. Aku langsung
memeluknya dan menangis. “Kamu kenapa Nak?” Tanya mama bingung. “Hiro, kamu
apakan Adikmu?” Tanya mama kepada kakakku. “Nggak tahu tuh, tadi di mobil diem
aja tiba-tiba.” Kakakku menjawab yang kemudian duduk di sofa. Aku masih
menangis, mamaku mengelus kepalaku dan mencoba menenangkanku. Setelah ku rasa
aku mampu berbicara, ku ceritakan semuanya meski terbata-bata.
“Ya udah Nak, berarti temen kamu Emi itu jelas bukan anak baik-baik. Sudah,
jangan nangis lagi.” Kata mamaku sambil mengusap pipiku. Aku hanya mengangguk.
Sejak malam itu, mama menyuruhku berganti nomor dan memutuskan kontak dengan
Emi. Aku menyetujuinya begitu saja, aku benar-benar kacau malam itu. Tepat
pukul 9.30 pesawat yang membawaku terbang selama 7 jam, tiba di negara
kelahiranku, Jepang. Setelah menyelesaikan urusan administrasi, aku melanjutkan
perjalanan menuju Tokyo menggunakan kereta dari Narita.
—
“Welcome to Tokyo!” Kataku dalam
hati ketika kereta memasuki wilayah Tokyo. Aku bahagia sekali bisa kembali ke
tanah kelahiranku dan sejenak melupakan lukaku malam itu. Setelah beberapa saat
kereta berhenti di Shibuya Station. “Ya Tuhan, stasiun ini sudah banyak
berubah. Atau mungkin aku yang terlalu lama tidak menginjakkan kaki di kota ini
lagi. Hahaha..” Pikirku dalam hati. Setelah ke luar stasiun, dengan menenteng
koper yang lumayan besar aku mencari seseorang. Lalu pandanganku tertuju ke
suatu objek. “Waah, patung Hachiko!” Teriakku saat itu, yang membuat beberapa
orang menoleh ke arahku. Aku tak peduli, sudah lama sekali sejak meninggalkan
Jepang aku tidak melihat patung Hachiko lagi.
“Excuse me. Hana?” Suara seorang
yang terdengar asing menyapaku yang sedang asyik memotret patung Hachiko. Aku
menoleh. Aku terbengong sejenak, “Enna! It’s really you?” Aku terkejut
mengetahui siapa orang yang menyapaku tadi. Ya, dia Enna, sahabat kecilku. Dia
cantik sekali, meski kami saling berkomunikasi melalui media sosial, tetapi
sudah lebih dari 7 tahun aku tidak berjumpa dengannya. Sekarang ia telah
menjelma menjadi bidadari cantik dengan hijabnya.
Setelah meluapkan rasa rindu dan bercanda sejenak, Enna mengajakku singgah
di hotel yang ia tinggali. Setelah beristirahat sesaat, kami memutuskan untuk
berjalan-jalan mengelilingi Tokyo. Aku benar-benar melupakan Emi, benar-benar
lupa rasa kecewaku saat itu. Aku sudah terbiasa dengan kehidupan kota ini lagi.
Ku jalani hari-hariku dengan biasa. Aku mulai bisa menerima teman-teman baruku
di sini. Dan Enna, dia sudah kembali ke London dua minggu yang lalu.
Dua tahun begitu cepatnya berlalu. Ku jumpai lagi musim semi yang selalu ku
nanti. Di sela-sela kesibukan kuliah, Intan, teman sekamarku memberiku sebuah
novel.
“Han, nih kamu harus baca! Novelnya keren banget sumpah.” Kata Intan yang begitu meyakinkanku.
“Lihat sini!” Intan langsung memberikan Novel itu. Aku mulai membaca, “Ceritanya bagus. Tentang persahabatan ya Ntan?” Sahutku sembari asyik membaca.
“Iyaa Han, jangan sampai nangis ya bacanya. Hahahaha.” Goda Intan.
Lembar demi lembar ku baca. Aku seperti merasa tak asing dengan alur cerita ini.
“Han, nih kamu harus baca! Novelnya keren banget sumpah.” Kata Intan yang begitu meyakinkanku.
“Lihat sini!” Intan langsung memberikan Novel itu. Aku mulai membaca, “Ceritanya bagus. Tentang persahabatan ya Ntan?” Sahutku sembari asyik membaca.
“Iyaa Han, jangan sampai nangis ya bacanya. Hahahaha.” Goda Intan.
Lembar demi lembar ku baca. Aku seperti merasa tak asing dengan alur cerita ini.
“Hloh, kok. Bentar-bentar.” Gumanku dalam hati. Cerita dalam novel seperti
membuka lagi kenangan beberapa tahun yang lalu. Aku berusaha mengingatnya,
cerita ini seperti tidak asing bagiku. Ku buka lagi cover novel itu. Ku lihat
nama pengarangnya. “Emita Nuryani.” ejaku. “Emi!” Aku tersentak, mungkinkah
pengarang novel ini Emi? Seseorang yang selama ini telah aku lupakan.
Pertanyaan itu akhirnya terjawab ketika ku temukan tulisan kecil di halaman
terakhir novel yang berjudul “Kupu-Kupu yang Merindukan Sayapnya.” Seketika
dadaku sesak, air mata mengalir begitu saja. Mulutku kelu, bahkan aku tidak
bisa memikirkan apa-apa. Aku diam dengan pikiranku yang kacau.
—
Sudah setengah jam, di bawah teriknya matahari aku mencari alamat
seseorang. Akhirnya aku menemukannya setelah bertanya ke beberapa orang.
“Permisi, apa ada orang di dalam.” Kataku sembari mengetok pintu. Tak lama
kemudian keluarlah seorang wanita muda yang langsung membukakan pintu.
“Maaf, Anda siapa dan ada perlu apa?” Tanya perempuan itu.
“Eh, anu. Apakah anda yang bernama Ajeng? Editor dari novelnya Emita Nuryani?” Tanyaku.
“Oh, yayaya, kamu pasti Hana kan? Ayo silahkan masuk.” Aku heran mengapa ia langsung begitu yakin kalau aku Hana.
“Maaf mbak, saya dateng ke sini mau tanya tentang Emi, soalnya waktu saya menghubungi penerbit, saya disarankan untuk mendatangi mbak Ajeng. Mbak tahu Emi sekarang dimana?” Tanyaku tanpa berbasa-basi. “Tunggu bentar ya dek.” Jawabnya yang langsung meninggalkanku tanpa menjawab pertanyaanku terlebih dulu. Setelah menunggu beberapa saat ia kembali dengan membawa sebuah kotak.
“Maaf, Anda siapa dan ada perlu apa?” Tanya perempuan itu.
“Eh, anu. Apakah anda yang bernama Ajeng? Editor dari novelnya Emita Nuryani?” Tanyaku.
“Oh, yayaya, kamu pasti Hana kan? Ayo silahkan masuk.” Aku heran mengapa ia langsung begitu yakin kalau aku Hana.
“Maaf mbak, saya dateng ke sini mau tanya tentang Emi, soalnya waktu saya menghubungi penerbit, saya disarankan untuk mendatangi mbak Ajeng. Mbak tahu Emi sekarang dimana?” Tanyaku tanpa berbasa-basi. “Tunggu bentar ya dek.” Jawabnya yang langsung meninggalkanku tanpa menjawab pertanyaanku terlebih dulu. Setelah menunggu beberapa saat ia kembali dengan membawa sebuah kotak.
“Jadi begini Han, sekitar tiga bulan yang lalu, Emi mengirimkan karyanya ke
penerbit tempat mbak bekerja. Dan akhirnya ia lolos moderasi. Selama kurang
lebih sebulan mbak menemaninya mengedit tulisannya itu. Dan saat itulah Emi
menitipkan kotak ini untukmu.” Jelas mbak Ajeng. “Ohh, lalu sekarang Emi
tinggal di mana mbak?” Tanyaku lagi setelah menerima kotak itu. Mbak Ajeng diam
sejenak, ia tampak ragu memberitahuku.
“Maaf Han sebelumnya, Emi.. Emi sudah meninggal tepat sehari setelah novelnya rilis. Dia sakit, AIDS.” Aku terkejut mendengarnya, seperti ada sesuatu yang dengan cepat menusuk hatiku. “Kenapa? Kenapa? Kenapa aku baru tahu sekarang? Kenapa aku baru sadar sekarang?” Pertanyaan itulah yang berputar-putar di benakku saat ini. Rasanya terlalu sakit untuk menangis.
“Maaf Han sebelumnya, Emi.. Emi sudah meninggal tepat sehari setelah novelnya rilis. Dia sakit, AIDS.” Aku terkejut mendengarnya, seperti ada sesuatu yang dengan cepat menusuk hatiku. “Kenapa? Kenapa? Kenapa aku baru tahu sekarang? Kenapa aku baru sadar sekarang?” Pertanyaan itulah yang berputar-putar di benakku saat ini. Rasanya terlalu sakit untuk menangis.
“Hai Hana, sahabatku yang cantik, bagaimana kabarmu? Pasti baik-baik saja
kan? Aku yakin, suatu saat kamu pasti akan membaca suratku ini. Maaf ya Han,
aku berbohong padamu tentang status dan pekerjaanku. Dan kamu tidak perlu minta
maaf, aku mengerti kalau kamu pasti marah dan kecewa sama aku. Ya, aku memang
wanita kotor dan tidaklah pantas menjadi sahabatmu. Kamu tahu Han, kamu adalah
orang pertama yang mau dekat denganku, mau menjadi sahabatku, meskipun aku
harus berbohong.”
“Aku kangen banget sama kamu Han, sudah berkali-kali aku datang ke rumahmu
tetapi yah, aku sadar aku siapa. Dua tahun terasa lama sekali, berharap aku
dapat bertemu denganmu lagi. Hingga akhirnya aku mencoba menuliskan sesuatu
agar kelak bisa kamu baca. Hana, di dalam kotak ini ada mainan masa kecilku,
hanya itu yang aku punya dari kedua orangtuaku, hehehe kenang-kenangan yang
buruk bukan? Rasanya banyak sekali yang ingin aku ungkapkan, tetapi aku pasti
butuh banyak sekali kertas. Hana, aku sayang kamu, sahabatku yang cantik.
Sukses jadi desainer yaa, salam rindu dari jauh. Emi.”
“Emiiii… maafkan aku! Maafkan aku!” Tangisku meledak setelah membaca surat
itu. Aku menyesal, aku kecewa dengan diriku sendiri. Harusnya aku tahu, sakit
dan kecewanya aku saat malam itu tidak lebih sakit dibandingkan apa yang Emi
rasakan. “Kenapa sih, hidup harus ada yang seperti ini? Kenapa sih, aku harus
merasa jijik dengannya, bukan! Aku jijik dengan pekerjaannya. Kenapa? Kenapa?
Kenapa harus seperti ini? Kenapa hidup seakan membuat seorang pelac*r itu
adalah makhluk yang hina. Padahal, banyak dari mereka yang tidak
menginginkannya? Kenapa?” Aku menangis sejadi-jadinya. Mbak Ajeng memeluk dan
mencoba menenangkanku.
Dua minggu berlalu, aku sudah kembali ke Tokyo. Musim semi masih
berlangsung. Indahnya bunga sakura yang berterbangan bersama angin membuat
setiap pengunjung Ueno Park yang menikmati hanami, jatuh hati padanya. Cantik
sekali, “Andai Emi di sini.” Gumamku dalam hati. Ia pasti akan menari-nari di
antara bunga-bunga yang indah ini. “Selamat tidur sahabatku, selamat tidur di
tempat yang lebih nyaman. Bagiku kamu adalah kupu-kupu musim semi yang cantik.
Yang bisa memberi warna dan mengetuk hati setiap orang yang mengenalmu. Semoga
kita bisa bertemu lagi. Aku sangat merindukanmu. Hana Yoshida. Japan, 10 April
2015.”
HASIL ANALISA :
HASIL ANALISA :
A.
Unsur Intrinsik
1. Tema : Persahabatan
Kalimat yang menunjukkan tema :
“Han, makasih ya udah mau jadi sahabatku.” Ucap Emi
tiba-tiba ketika kita sedang berbaring di rumput taman kota, tempat kita biasa
bertemu. “Iya Em, aku seneng banget deh punya sahabat baik kayak kamu.” Jawabku
sembari menerawang jauh langit biru dengan gumpalan awan putih yang terlihat
lembut.
“Janji ya Em, kita bakal sahabatan sampai tua nanti.” Lanjutku sembari mengulurkan jari kelingkingku. Emi mengikatkan kelingkingnya. Hari yang cerah, bunga-bunga dan pohon-pohon di taman menjadi saksi janjiku dan Emi.
“Janji ya Em, kita bakal sahabatan sampai tua nanti.” Lanjutku sembari mengulurkan jari kelingkingku. Emi mengikatkan kelingkingnya. Hari yang cerah, bunga-bunga dan pohon-pohon di taman menjadi saksi janjiku dan Emi.
2. Alur : Alur Campuran
Alur/ Plot yang terdapat pada cerita “Kupu Kupu Musim
Semi” menggunakan alur campuran, karena cerita ini menceritakan kehidupan saat
ini dan masa lalu.
Terdapat kalimat yang menunjukan alur campuan :
Hujan. Hujan ini membawaku bernostalgia, mengingatkanku
kepada sahabat kecilku, Enna. Masih terbayang jelas senyum Enna kecil yang
manis, dan tawanya yang lucu. Hujan gerimis di awal musim gugur, lima belas
tahun yang lalu. Dua gadis kecil berusia kanak-kanak berlarian di suatu taman
kota. Salah seorang anak jatuh, dan menangis. Melihat temannya menangis, gadis
kecil yang satunya mencoba menghibur dengan pura-pura terjatuh. Lucu sekali. Ia
kemudian menggendong temannya yang masih menangis padahal ia lebih mungil. Tak
lama kemudian gadis kecil yang tadinya menangis tertawa dan melupakan kejadian
saat ia jatuh. Ya, Enna yang menggendongku saat itu. Aku tersenyum kecil
mengingat kejadian yang telah lama berlalu. “Kapan ya, kita bisa ketemu lagi?”
Tanyaku kepada diriku sendiri.
3. Sudut Pandang : Orang Pertama
Kalimat yang menunjukkan :
Pagi ini berkabut. Tetapi, aku harus tetap berangkat.
Seperti rutinitas biasanya, aku menggunakan bus kota untuk menuju ke tempat
kursus. Bus terlihat sepi, aku duduk di samping perempuan yang terlihat seusia
denganku. Beberapa saat terdiam, perempuan itu menyapaku.
4. Latar / Setting
a.
Latar Waktu
·
Pagi
Terdapat pada
kalimat : Pagi ini berkabut. Tetapi, aku harus tetap berangkat. Seperti
rutinitas biasanya, aku menggunakan bus kota untuk menuju ke tempat kursus.
·
Siang
Terdapat pada
kalimat : Siang ini kita berencana bertemu kembali. Setelah pertemuan di bus
kita belum berjumpa lagi karena kesibukan masing-masing. Sampai di sebuah taman
di sebuah bangku, aku menemukan Emi. Dia cantik sekali dengan dress biru
setinggi lutut. Kita saling menyapa hingga akhirnya bercerita ke sana ke mari.
·
Malam
Terdapat pada
kalimat : Hingga suatu malam, ketika aku terjebak mogok dengan kakak
laki-lakiku setelah membeli kenang-kenangan untuk Emi, karena lusa aku harus
berangkat ke Jepang.
b.
Latar Tempat
·
Kamar
Terdapat pada
kalimat : Ku langkahkan kakiku menuju jendela yang tepat berada di samping meja
belajar. “Wuuusshh…” Udara dingin menerpa wajahku seketika setelah ku buka
jendela.
·
Di Dalam Bus
Terdapat pada
kalimat : Bus terlihat sepi, aku duduk di samping perempuan yang terlihat
seusia denganku.
·
Taman
Terdapat pada
kalimat : Sampai di sebuah taman di sebuah bangku, aku menemukan Emi.
·
Rumah
Sesampainya di
rumah, aku tak dapat lagi membendung air mataku.
·
Tokyo
Terdapat pada
kalimat : “Welcome to Tokyo!” Kataku
dalam hati ketika kereta memasuki wilayah Tokyo.
·
Ueno Park
Terdapat pada
kalimat : Indahnya bunga sakura yang berterbangan bersama angin membuat setiap
pengunjung Ueno Park yang menikmati hanami, jatuh hati padanya.
c.
Latar Suasana
·
Menyedihkan
Terdapat pada
kalimat : Aku tidak tahu pasti bagaimana perasaanku saat ini. Kecewa, marah,
tapi juga sedih.
·
Mengharukan
Terdapat pada
kalimat : “Maaf Han sebelumnya, Emi.. Emi sudah meninggal tepat sehari setelah
novelnya rilis. Dia sakit, AIDS.” Aku terkejut mendengarnya, seperti ada
sesuatu yang dengan cepat menusuk hatiku. “Kenapa? Kenapa? Kenapa aku baru tahu
sekarang? Kenapa aku baru sadar sekarang?” Pertanyaan itulah yang
berputar-putar di benakku saat ini. Rasanya terlalu sakit untuk menangis.
5. Tokoh dan Penokohan
Tokoh :
1)
Hana Yoshida
2)
Emita Nuryani
3)
Enna
4)
Hiro (Kakak Hana)
5)
Lelaki Tua
6)
Mama Hana
7)
Intan
8)
Mbak Ajeng
Penokohan :
1)
Hana Yoshida :
Ramah, terdapat pada kalimat : “Eeh, iya. Mau kursus.” Jawabku dengan sedikit
senyum.
2)
Emita Nuryani :
a)
Dewasa, terdapat
pada kalimat : Aku seperti menemukan sosok Enna di dalam diri Emi. Dia baik,
asyik diajak ngobrol dan dewasa.
b)
Pembohong, terdapat
pada kalimat : Maaf ya Han, aku berbohong padamu tentang status dan
pekerjaanku.
3)
Enna : Baik hati,
terdapat pada kalimat : Setelah meluapkan rasa rindu dan bercanda sejenak, Enna
mengajakku singgah di hotel yang ia tinggali.
4)
Hiro (Kakak Hana) :
Perhatian, terdapat pada kalimat : “Dek, masuk mobil! Sini daerah rawan
pr*stitusi. Bahaya!” Kata kakakku setengah berteriak.
5)
Lelaki Tua : Lelaki
hidung belang, terdapat pada kalimat : “Kenapa sayang? Hotelnya sudah dekat
tuh.” Ucap lelaki tua itu kepada Emi dengan manja.
6)
Mama Hana :
Perhatian dan penyayang, terdapat pada kalimat : “Ya udah Nak, berarti temen
kamu Emi itu jelas bukan anak baik-baik. Sudah, jangan nangis lagi.” Kata
mamaku sambil mengusap pipiku.
7)
Intan : Baik hati,
terdapat pada kalimat : “Lihat sini!” Intan langsung memberikan Novel itu.
8)
Mbak Ajeng : Baik
hati, terdapat pada kalimat : Mbak Ajeng memeluk dan mencoba menenangkanku.
6. Gaya Bahasa :
a)
Majas Perumpamaan
Terdapat pada
kalimat : Sekarang ia telah menjelma menjadi bidadari cantik dengan hijabnya.
b)
Personifikasi
Terdapat pada
kalimat : “Wuuusshh…” Udara dingin menerpa
wajahku seketika setelah ku buka jendela.
7. Amanat :
a)
Janganlah berbohong,
jujurlah kepada siapa pun.
b)
Carilah pekerjaan
yang halal.
c)
Jika teman atau
sahabatmu berbuat buruk atau memiliki keburukan, janganlah dijauhi melainkan
berilah dia saran agar teman atau sahabatmu kembali berada pada jalan yang
benar.
B.
Unsur Ekstrinsik
Nilai dalam karya sastra :
a.
Nilai Moral
Nilai Moral dari cerpen “Kupu Kupu Musim Semi” dapat
diambil dari :
Aku menemukan
gadis mirip sekali dengan Emi berjalan dengan seorang lelaki yang menurutku
sudah terlalu tua jika itu disebut pacar. Awalnya aku tidak percaya, karena
gadis itu berpenampilan sangat seksi dan terlihat sedang bermanja dengan lelaki
tua itu.
Nilai moral yang tersirat dari penggalan diatas adalah
kita harus selalu berpenampilan baik dihadapan umum. Berpenampilan baik bagi
wanita adalah dengan tidak memakai pakaian seksi atau terpengaruh budaya barat.
Bagi pria yaitu dengan memakai pakaian sopan. Karena, gaya berpakaian
menunjukan sifat dan karakter seseorang dari luar. Maka dari itu, kita harus
berpenampilan dengan baik dan benar dimanapun kita berada.
b.
Nilai Sosial
Nilai Sosial dari cerpen “Kupu Kupu Musim Semi” dapat
diambil dari :
“Kenapa sih,
hidup harus ada yang seperti ini? Kenapa sih, aku harus merasa jijik dengannya,
bukan! Aku jijik dengan pekerjaannya. Kenapa? Kenapa? Kenapa harus seperti ini?
Kenapa hidup seakan membuat seorang pelac*r itu adalah makhluk yang hina. Padahal,
banyak dari mereka yang tidak menginginkannya? Kenapa?” Aku menangis
sejadi-jadinya. Mbak Ajeng memeluk dan mencoba menenangkanku.
Nilai Sosial yang tersirat dari penggalan diatas adalah
setiap orang memang berhak memilih jalan hidup dirinya sendiri. Tetapi, jalan
yang kita pilih tentu harus dengan aturan yang berlaku. Di dalam kehidupan,
telah banyak bermacam-macam pekerjaan halal yang bisa dicari. Janganlah kita
tergoda untuk melakukan/memiliki pekerjaan diluar aturan yang berlaku meskipun
memang kita bisa mencukupi kebutuhan kita dengan melakukannya. Dan jika kita
menemukan orang yang memiliki pekerjaan buruk tersebut, alangkah lebih baiknya
kita jangan menjauhinya tetapi memberi dia nasihat dan saran agar dia tidak
melakukan hal tersebut lagi.
Hasil analisa cerpen diatas hanya sebuah referensi/rujukan/bahan pertimbangan/bahan acuan saja, dimohon untuk tidak melakukan plagiarisme/menjiplak/me-repost.
Thanks for visiting this blog. 👍
Don't forget to subscribe this blog. 👌
Hasil analisa cerpen diatas hanya sebuah referensi/rujukan/bahan pertimbangan/bahan acuan saja, dimohon untuk tidak melakukan plagiarisme/menjiplak/me-repost.
Thanks for visiting this blog. 👍
Don't forget to subscribe this blog. 👌
Comments
Post a Comment