ANTIBODI MONOKLONAL SEBAGAI IMUNOTEKNOLOGI DALAM PHARMACEUTICAL TECHNOLOGY


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Antibodi, juga dikenal sebagai imunoglobulin, yang merupakan salah satu komponen terpenting dari respon imun humoral: yang melindungi pejamu terhadap infeksi. Antibodi diklasifikasikan sebagai antibodi poliklonal (PoAbs) dan antibodi monoklonal (mAbs), dan antibodi ini memiliki struktur dan fungsi yang sama, tetapi berbeda satu sama lain berdasarkan asal, produksi, dan spesifisitasnya. Antibodi monoklonal diproduksi oleh satu klon, sedangkan antibodi poliklonal diproduksi oleh banyak klon (Büyükköroğlu dan Şenel, 2018).
Pengetahuan akan sel B secara genetik terprogram untuk mensintesis antibodi sangat spesifik yang telah dimanfaatkan dalam pengembangan antibodi untuk tes diagnostik yang dikenal sebagai antibodi monoklonal. Biasanya, respon terhadap antigen adalah heterogeneous karena epitop multipel antigen yang dimurnikan akan menstimulasi berbagai klon sel B (Stevens, 2003).
Perawatan dengan antibodi monoklonal menjadi semakin penting dalam onkologi klinis. Antibodi ini secara khusus menghambat jalur sinyal dalam pertumbuhan tumor dan/atau menginduksi tanggapan imunologi terhadap sel tumor. Dengan menggabungkan antibodi monoklonal beberapa jalur dapat ditargetkan secara bersamaan, berpotensi menyebabkan efek aditif atau sinergis. Secara teoritis, antibodi sangat cocok untuk digunakan dalam terapi kombinasi, karena toksisitas tumpang tindih yang terbatas dan kurangnya interaksi farmakokinetik (Henricks, Schellens, Huitemad, Beijnen, 2015).
Antibodi monoklonal sebagai targeting missiles merupakan imunoterapi yang menjanjikan karena memiliki sifat mengikat secara spesifik terhadap suatu target antigen atau sel abnormal sehingga antibodi monoklonal sangat efektif untuk dipakai sebagai dasar terapi kanker. Antibodi monoklonal sebagai terapi kanker diinjeksikan ke dalam tubuh pasien, molekul itu akan mencari sel kanker (antigen) sebagai target. Antibodi monoklonal secara potensial merusak atau menghancurkan aktivitas sel kanker atau dengan cara lain yaitu meningkatkan respons imun jaringan tubuh melawan kanker. (Adams, G.P., et al., 2005; VonMehren, M., et al., 2003)
Berdasarkan latar belakang tersebut maka perlu adanya pemahaman lebih lanjut mengenai antibodi moniklonal sebagai inovasi dalam pharmaceutical technology. Oleh karena itu, penulis akan memaparkan beberapa informasi penting terkait antibodi monoklonal sebagai imunoteknologi dalam pharmaceutical technology.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian imunoteknologi dan antibodi monoklonal dan bagaimana sejarah monoklonal antibodi?
2.      Apakah perbedaan antibodi poliklonal dan antibodi monoklonal?
3.      Bagaimana proses monoclonal antibody engineering, teknik hibridoma dan prosedur pembuatan antibodi monoklonal serta bagaimana mekanisme kerja antibodi monoklonal dan pemilihan antibodi spesifik penghasil klon?
4.      Apakah antibodi monoklonal rekombinan dan apakah target terapi antibodi monoclonal serta apakah kegunaannya dalam penggunaan klinik?
5.      Bagaimana abzymes sebagai antibodi monoklonal yang mengkatalisis reaksi dan bagaimana proses antibodi monoklonal chimeric dan hybrid yang memiliki potensial klinik yang besar?
6.      Bagaimana antibodi monoklonal dapat dikonstruksi dari Ig-gene libraries?
C.     Tujuan
1.    Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami pengertian imunoteknologi, antibodi monoklonal dan sejarah monoclonal antibody.
2.    Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami perbedaan antibodi poliklonal dan antibodi monoclonal serta proses monoclonal antibody engineering, teknik hibridoma dan prosedur pembuatan antibodi monoklonal dan mekanisme kerja antibodi monoklonal serta pemilihan antibodi spesifik penghasil klon.
3.    Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami antibodi monoklonal rekombinan dan target terapi antibodi monoklonal serta kegunaannya dalam penggunaan klinik.
4.    Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami abzymes sebagai antibodi monoklonal yang mengkatalisis reaksi, proses antibodi monoklonal chimeric dan hybrid yang memiliki potensial klinik yang besar, dan antibodi monoklonal yang dapat dikonstruksi dari Ig-gene libraries.


BAB II
ANTIBODI MONOKLONAL SEBAGAI IMUNOTEKNOLOGI DALAM PHARMACEUTICAL TECHNOLOGY

A.    Pengertian Imunoteknologi dan Antibodi Monoklonal
Imunoteknologi adalah cabang penting dari bioteknologi, yang merupakan penerapan skala industri dari prosedur imunologis dalam diagnosis penyakit, untuk menghasilkan vaksin, untuk imunisasi massal untuk mencegah penyakit yang lazim dan menghasilkan agen terapi imunologis untuk menyembuhkan yang menderita. Ini adalah teknologi yang didasarkan pada aplikasi sel dan molekul sistem kekebalan tubuh (T. Saxena, 2011).
Antibodi merupakan campuran protein di dalam darah dan disekresi mukosa menghasilkan sistem imun bertujuan untuk melawan antigen asing yang masuk ke dalam sirkulasi darah. Antibodi dibentuk oleh sel darah putih yang disebut limfosit B. Limfosit B akan mengeluarkan antibodi yang kemudian diletakkan pada permukaannya. Setiap antibodi yang berbeda akan mengenali dan mengikat hanya satu antigen spesifik. Antigen merupakan suatu protein yang terdapat pada permukaan bakteri, virus dan sel kanker. Pengikatan antigen akan memicu multiplikasi sel B dan penglepasan antibodi. Ikatan antigen antibodi mengaktivasi sistem respons imun yang akan menetralkan dan mengeliminasinya. Antibodi memiliki ber-bagai macam bentuk dan ukuran walaupun struktur dasarnya berbentuk `Y`(gambar 2.1). Antibodi tersebut mempunyai 2 fragmen, fragmen antigen binding (Fab) dan fragmen cristallizable (Fc). Fragmen antigen binding digunakan untuk mengenal dan mengikat antigen spesifik, tempat melekatnya antigen antibodi yang tepat sesuai regio yang bervariasi disebut complementary determining region (CDR) dan Fc berfungsi sebagai efektor yang dapat berinteraksi dengan sel imun atau protein serum (Albert, B., et al., 2002; Abbas, A.K., 2005; Nelson, P.N., et al., 2000).


 
Gambar 2.1. Struktur umum antibodi.
Antibodi, juga dikenal sebagai imunoglobulin, yang merupakan salah satu komponen terpenting dari respon imun humoral: yang melindungi pejamu terhadap infeksi. Antibodi diklasifikasikan sebagai antibodi poliklonal (PoAbs) dan antibodi monoklonal (mAbs), dan antibodi ini memiliki struktur dan fungsi yang sama, tetapi berbeda satu sama lain berdasarkan asal, produksi, dan spesifisitasnya. Antibodi monoklonal diproduksi oleh satu klon, sedangkan antibodi poliklonal diproduksi oleh banyak klon (Büyükköroğlu dan Şenel, 2018).
Antibodi monoklonal adalah antibodi buatan identifik karena diproduksi oleh salah  satu jenis sel imun saja dan semua klonnya merupakan sel single parent. Antibodi monoklonal mempunyai sifat khusus yang unik yaitu dapat mengenal suatu molekul, memberikan informasi tentang molekul spesifik dan sebagai terapi target tanpa merusak sel sehat sekitarnya. Antibodi monoklonal murni dapat diproduksi dalam jumlah besar dan bebas kontaminasi. Antibodi monoklonal dapat diperoleh dari sel yang dikembangkan di laboratorium, reagen tersebut sangat berguna untuk penelitian terapi dan diagnostik laboratorium. (Albert, B., et al., 2002; Abbas, A.K., 2005; Nelson, P.N., et al., 2000).
Antibodi monoklonal dapat diciptakan untuk mengikat antigen tertentu kemudian dapat mendeteksi atau memurnikannya. Manusia dan tikus mempunyai kemampuan untuk membentuk antibodi yang dapat mengenali antigen. Antibodi monoklonal tidak hanya mempertahankan tubuh untuk melawan organisme penyakit tetapi juga dapat menarik molekul target lainnya di dalam tubuh seperti reseptor protein yang ada pada permukaan sel normal atau molekul yang khas terdapat pada permukaan sel kanker. Spesifisitas antibodi yang luar biasa menjadikan zat ini dapat digunakan sebagai terapi. Antibodi mengikat sel kanker dan berpasangan dengan zat sitotoksik sehingga membentuk suatu kompleks yang dapat mencari dan menghancurkan sel kanker (Albert, B., et al., 2002; Abbas, A.K., 2005; Nelson, P.N., et al., 2000).

B.           Sejarah Monoklonal Antibodi
Pada tahun 1908, Metchnikof dan Erlich mengemukakan mengenai teori imunologi yang membawa perubahan besar pada pemanfaatan antibodi untuk mendeteksi adanya antigen (zat asing) di dalam tubuh. Sebelum ditemukannya teknologi antibodi monoklonal, antibodi dahulunya diperoleh dengan cara konvensional yakni mengimunisasi hewan percobaan, mengambil darahnya dan mengisolasi antibodi dalam serum sehingga menghasilkan antibodi poliklonal. Apabila dibutuhkan antibodi dalam jumlah besar maka binatang percobaan yang dibutuhkan  juga sangat besar jumlahnya. Selain itu, bila diproduksi dalam jumlah besar antibodi poliklonal jumlah antibodi spesifik yng diproduksi juga sangat sedikit, sangat heterogen dan sangat sulit menghilangkan antibodi lain yang tidak diinginkan (Radji M. 2010). Maka dari itu dilakukan serangkaian penelitian untuk membuat antibodi spesifik secara in vitro, sehingga dapat diproduksi antibodi spesifik dalam jumlah besar, dan tidak terkontaminasi dengan antibodi lainnya.
Pada tahun 1975, Georges Kohler, Cesar Milstein and Niels Kaj Jerne menemukan cara baru dalam membuat antibodi dengan mengimunisasi hewan percobaan, kemudian sel limfositnya difusikan dengan sel meiloma, sehingga sel hibrid dapat dibiakan terus menerus. Sel mieloma adalah sel limfosit B yang abnormal yang mampu bereplikasi terus-menerus dan menghasilkan sebuah antibodi spesifik berupa paraprotein, sel mieloma disebut juga dengan sel B kanker. Mereka juga mampu membuat antibodi yang homogen yang diproduksi oleh satu klon sel hibrid. Antibpdi tersebut lebih spesifik dibandingkan dengan antibodi poliklonal karena dapat mengikat 1 epitop antigen dan dapat dibuat dalam jumlah yang tak terbatas. Definisi epitop sendiri adalah daerah spesifik pada antigen yang dapat dikenali oleh antibodi. Antibodi yang homogen dan spesifik ini disebut antibodi monoklonal. Berkat temuan antibodi monoklonal Georges Kohler, Cesar Milstein and Niels Kaj Jerne mendapatkan hadiah nobel dibidang fisiologis dan kedokteran pada tahun 1985.
Antibodi monoklonal pertama (mAbs) diciptakan pada pertengahan 1970-an untuk menargetkan mutasi spesifik dan cacat pada struktur protein yang diekspresikan pada beberapa penyakit dan kondisi. Antibodi ini sekarang bagian dari perawatan utama untuk neoplastik, autoimun,dan penyakit peradangan kronis, yang menyebabkan peningkatan laporan reaksi hipersensitivitas (HSR) sekunder untuk kelas obat ini (Santos dan Galvao, 2017).
Generasi pertama mAbs adalah antibodi monospesifik/bifungsional, dengan satu ikatan bagian ke antigen tertentu dan bagian Fc utuh yang mengikat pada reseptor Fc pada aksesori sel. Pada tahun 2009, catumaxomab, mAb bispecifik/trifungsional, disetujui untuk pengobatan ascites maligna pada pasien dengan kanker (Santos dan Galvao, 2017).
Menurut Hafeezl, Gan, dan Scott (2018), karena pemenang Nobel Paul Ehrlich mengusulkan konsep peluru ajaib pada tahun 1906, Köhlerdan Milstein menemukan teknologi Hybridoma pada tahun 1975, dan Greg Winter memelopori teknik untuk memanusiakan antibodi monoklonal pada tahun 1988, antibodi monoklonal telah berhasil dikembangkan untuk mengobati penyakit medis. Antibodi monoklonal adalah pengobatan yang efektif untuk menghambat reaktivitas alloimun, keganasan hematologis, keganasan organ padat, penyakit virus dan juga digunakan sebagai terapi anti platelet.
Antibodi monoklonal dibuat dengan cara penggabungan atau fusi dua jenis sel yaitu lomfosit B yang memproduksi antibodi dengan sel kanker (sel mieloma) yang dapat hidup dan membelah terus menerus. Hasil fusi antara sel limfosit B dan sel kanker secara in vitro ini disebut dengan hibridoma. Apabila sel hibridoma dibiakkan dalam kultur sel, sel yang secara genetik mempunyai sifat identik dengan akan memproduksi antibodi sesuai dengan antibodi yang diproduksi oleh sel aslinya yaitu sel limfosit B. Hal yang penting untuk diperhatikan adalah proses pemilihan sel klon yang identik yang dapat menskresi antibodi yang spesifik. Karena antibodi yang diproduksi berasal dari sel hibridoma tunggal (mono-klon), maka antibodi yang diproduksi disebut dengan antibodi monoklonal. Sel hibridoma mempunyai kemampuan untuk tumbuh secara tidak terbatas dalam kultur sel, sehingga mampu memproduksi antibodi homogen yang spesifik (monoklonal) dalam jumlah yang hampir tidak terbatas. Antibodi monklonal merupakan senyawa yang homogen, sangat spesifik dan dapat diperoleh dalam jumlah yang besar sehingga menguntungkan jika digunakan sebagai alat diagnostik. Beberapa jenis antibodi monoklonal telah tersedia dipasaran untuk mendeteksi bakteri patogen dan virus serta untuk uji kehamilan.
Penggunaan antibodi monoklonal dalam kanker dan penyakit autoimun pada manusia telah menjadikan mereka salah satu kelas yang paling cepat berkembang dari obat-obatan baru yang disetujui untuk indikasi ini dalam beberapa dekade terakhir. Ulasan ini berfokus pada peran antibodi monoklonal sebagai terapi imunomodulator terhadap kanker dan penyakit autoimun, strategi yang digunakan untuk meningkatkan kemanjuran, dan bagaimana mekanisme resistensi sedang ditangani untuk meningkatkan hasil terapi untuk pasien (Hafeezl, Gan, danScott, 2018).

C.          Perbedaan Antibodi Poliklonal dan Antibodi Monoklonal
1.              Antibodi Monoklonal
Antibodi monoklonal adalah antibodi yang homogen atau mempunyai sifat yang spesifik karena dapat mengikat 1 epitop antigen dan dapat dibuat dalam jumlah tidak terbatas. Antibodi monoklonal dibuat dengan cara penggabungan atau fusi dua jenis sel yaitu sel limfosit B yang memproduksi antibodi dengan sel kanker (sel mieloma) yang dapat hidup dan membelah terus menerus. Hasil fusi antara sel B dengan sel kanker secara in vitro disebut dengan Hibridoma.
Dua jenis antibodi monoklonal yang digunakan dalam pengobatan kanker:
a.    Naked mAbs adalah antibodi yang bekerja sendiri. Terdapat obat atau bahan radioaktif yang melekat pada mereka. Ini adalah mAbs yang paling umum digunakan saat ini.      
b.    Conjugated mAbs adalah orang-orang yang bergabung dengan obat kemoterapi, partikel radioaktif atau racun (zat yang racun sel). MAbs ini bekerja, setidaknya sebagian, dengan bertindak sebagai menembakan perangkat untuk membawa zat ini langsung ke sel-sel kanker.
2.              Antibodi Poliklonal
Menurut Sarmoko (2010) antibodi poliklonal adalah antibodi dimana di dalam suatu populasi terdapat lebih dari satu macam antibodi, atau campuran antibodi yang mengenal epitop yang berbeda pada antigen yang sama. Selanjutnya Radji (2010) mengatakan bahwa dalam antibodi poliklonal jumlah antibodi yang spesifik sangat sedikit, sangat heterogen karena dapat mengikat bermacam-macam epitop dan sangat sulit menghilanagkan antibodi lain yang tidak diinginkan.
3.      Perbedaan lanjut Antibodi Monoklonal dan Antibodi Poliklonal
Tabel perbedaan antibodi monoklonal dan poliklonal.
Antibodi Monoklonal
Antibodi Poliklonal
Mahal dalam produksinya
Tidak mahal dalam produksinya
Membutuhkan teknologi yang sangat canggih
Tidak butuh teknologi yang terlalu canggih
Waktu produksi lama karena harus membentuk hibridoma
Waktu produksi relatif singkat
Menghasilkan antibodi spesifik dalam jumlah banyak
Menghasilkan antibodi nonspesifik dalam jumlah banyak
Hanya mengenal satu epitop pada antigen
Menghasilkan antibodi nonspesifik dalam jumlah banyak
Setelah hibridoma dibuat konstan dan sumber yang terbarukan dan semua kumpulan akan sama
Kumpulan yang terbentuk bervariasi



Kerugian Antibodi Monoklonal dan Antibodi Poliklonal.
Antibodi Monoklonal
Antibodi Poliklonal
-
Kumpulan yang terbentuk bervariasi
Memproduksi antibody spesifik dalam jumlah yang besar tetapi sifatnya bisa menjadi terlalu
Memproduksi antibodi non spesifik dalam jumlah yang besar yang sewaktu-waktu dapat memberikan efek samping pada beberapa aplikasi
Lebih rentan terhadap hilangnya Epitop melalui perawatan kimia antigen daripada antibodi poliklonal
Beberapa epitopes membuatnya penting untuk memeriksa immunogen urutan untuk setiap cross-reactivity

Antibodi poliklonal, di dalam suatu populasi antibodi terdapat lebih dari satu macam antibodi, atau campuran antibodi yang mengenal epitop yang berbeda pada antigen yang sama. Proses yang terjadi pada antibodi poliklonal yaitu produksi dengan imunisasi hewan dengan antigen yang tepat. Serum dari hewan terimunisasi dikumpulkan, antibodi dalam serum dapat dimurnikan lebih lanjut. Karena satu antigen menginduksi produksi banyak antibodi maka hasilnya berupa ‘polyclonal’/campuran antibodi. Antibodi monoklonal (MAb) adalah antibodi homogen yang dengan spesifitas yang sama diproduksi dari klon tungal dari sel yang menghailkan antibodi.
D.          Monoclonal Antibody Engineering, Teknik Hibridoma dan Prosedur Pembuatan Antibodi Monoklonal
Ada banyak aplikasi klinis di mana spesifisitas yang sangat baik dari antibodi monoklonal tikus akan berguna. Namun, ketika antibodi monoklonal tikus diperkenalkan ke manusia, mereka dikenal sebagai respon antibodi asing dan evokean yang dengan cepat membersihkan antibodi monoklonal tikus dari aliran darah. Selain itu, kompleks sirkulasi antibodi tikus dan manusia dapat menyebabkan reaksi alergi. Dalam beberapa kasus, penumpukan kompleks pada organ-organ seperti ginjal dapat menyebabkan reaksi serius dan bahkan mengancam jiwa. Jelas, salah satu cara untuk menghindari reaksi yang tidak diinginkan ini adalah dengan menggunakan antibodi monoklonal manusia untuk aplikasi klinis. Namun, persiapan antibodi monoklonal manusia telah terhambat oleh berbagai masalah teknis. Menanggapi kesulitan memproduksi antibodi monoklonal manusia dan komplikasi yang dihasilkan dari penggunaan antibodi monoklonal tikus pada manusia, sekarang ada upaya besar untuk merekayasa antibodi monoklonal dan situs pengikatan antibodi dengan teknologi DNA rekombinan.
Pengetahuan yang berkembang tentang struktur dan regulasi gen antibodi telah memungkinkan apa yang disebut Cesar Milstein, salah satu penemu teknologi antibodi monoklonal, yang disebut "antibodi buatan manusia" berasal dari wilayah satu spesies dan wilayah konstan berasal dari spesies lain. Gen baru telah dibuat yang menghubungkan sekuens nukleotida yang mengkode protein nonantibodi dengan sekuens yang mengkode wilayah variabel antibodi spesifik untuk antigen tertentu. Hibrida molekuler atau chimera ini mungkin dapat memberikan racun yang kuat ke target antigenik tertentu, seperti sel tumor. Akhirnya, dengan penggantian lokus imunoglobulin dari satu spesies dengan yang lain, hewan dari satu spesies telah diberkahi dengan kapasitas untuk menanggapi imunisasi dengan memproduksi antibodi yang dikodekan oleh gen-gen Ig yang ditransplantasikan secara genetik dari donor. Dengan mengambil sampel yang signifikan dari semua gen wilayah variabel berat dan ringan imunoglobulin melalui penggabungan ke dalam perpustakaan bakteriofag, telah dimungkinkan untuk mencapai rekonstruksi signifikan dan berguna dari seluruh repertoar antibodi individu. Beberapa bagian berikutnya menjelaskan masing-masing jenis rekayasa genetika antibodi ini.



Teknik Hibridoma
Tikus yang diimunisasi dengan antigen tertentu dan setelah  beberapa waktu, sel-sel limfa diambil. Sel limfa digabungkan dengan sel-sel mieloma dengan adanya polietilenglikol (PEG), yang merupakan suatu surfaktan. PEG menghasilkan fusi sel plasma dengan sel mieloma, dan menghasilkan hibridoma. Hanya sebagian kecil sel yang benar-benar menyatu, dan beberapa di antaranya seperti sel, dua sel mieloma atau dua sel limfa. Setelah fusi, sel ditempatkan dalam kultur menggunakan media selektif yang mengandung hypoxanthine, aminopterin, dan thymidine (HAT) (Stevens, 2013).
Kultur dalam media ini digunakan untuk memisahkan sel hibridoma dengan memungkinkan mereka untuk tumbuh secara selektif. Sel mieloma biasanya dapat tumbuh tanpa batas dalam kultur jaringan, tetapi dalam hal ini sel mieloma tidak bisa karena kedua jalur untuk sintesis nukleotida diblokir. Satu jalur diblokir karena garis sel mieloma yang digunakan kurang dalam enzim yang dibutuhkan HGPRT dan timidin kinase. Jalur lain juga terhalang oleh kehadiran aminopterin. Akibatnya sel-sel mieloma mati (Stevens, 2013). Sel B normal tidak dapat dipertahankan terus menerus dalam kultur sel, jadi sel B akan mati. Sehingga ini akan menyisakan sel hibridoma yang menyatu, yang memiliki kemampuan yang diperoleh dari sel mieloma untuk memproduksi tanpa batas dalam kultur dan kemampuan yang diperoleh dari sel B normal, untuk mensintesis nukleotida melalui  jalur HGPRT dan timidin kinase (Stevens, 2013).
Gambar 2.2. Teknik Hibridoma.
Formasi dari hibridoma pada produksi antibodi monoklonal. Seekor tikus diinjeksi, dan diambil sel limfanya. Sel limfa tersebut digabungkan dengan sel mieloma dan disepuhkan dalam media yang terbatas. Hanya sel hibridoma yang akan tumbuh di media ini, dimana sel hibridoma akan mensitesa dan megeluarkan imunoglobulin monoklonal spesifik untuk  penentu tunggal pada antigen. Berdasarkan National Academy of Sciences (1999), perkembangan teknologi hibridoma telah mengurangi jumlah hewan (tikus, kelinci, dan sebagainya) diperlukan untuk menghasilkan antibodi yang diberikan tetapi dengan penurunan kesejahteraan hewan ketika metode asites digunakan. Ada lima tahapan dalam melakukan teknik hibridoma, yaitu:
Langkah 1: Imunisasi Tikus dan Pemilihan Donor Mouse untuk  Menghasilkan Sel Hibridoma
Tikus diimunisasi dengan antigen yang disiapkan untuk injeksi  baik dengan mengemulsi antigen dengan adjuvant Freund atau adjuvants lainnya atau dengan menyeragamkan gel slice yang mengandung antigen. Sel utuh, seluruh membran, dan mikroorganisme kadang-kadang digunakan sebagai imunogen. Di hampir semua laboratorium, tikus digunakan untuk menghasilkan antibodi yang diinginkan. Secara umum, tikus diimunisasi setiap 2-3 kali tetapi protokol imunisasi bervariasi di antara para peneliti.Ketika titer antibodi yang cukup tercapai dalam serum, tikus yang diimunisasi di-eutanasia dan limpa dikeluarkan untuk digunakan sebagai sumber sel untuk fusi sel myeloma.
Langkah 2 : Skrining Tikus untuk Produksi Antibodi
Setelah beberapa minggu imunisasi, sampel darah diperoleh dari tikus untuk pengukuran antibodi serum. Beberapa teknik manusiawi telah dikembangkan untuk mengumpulkan volume kecil darah dari tikus.Titer antibodi serum ditentukan dengan berbagai teknik, seperti enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dan flow cytometry. Jika titer antibodi tinggi, fusi sel dapat dilakukan. Jika titer terlalu rendah, tikus dapat dikuatkan sampai respon yang memadai tercapai, seperti ditentukan dengan pengambilan sampel darah berulang. Ketika titer antibodi cukup tinggi, tikus biasanya didorong oleh suntikan antigen tanpa adjuvant intraperitoneal atau intravena (melalui vena ekor) 3 hari sebelum fusi tetapi 2 minggu setelah imunisasi sebelumnya. Kemudian tikus-tikus itu di-eutanasia dan limpa mereka diambil untuk in vitro produksi sel hibridoma.
Langkah 3 : Persiapan Sel Myeloma
Sel-sel limpa memproduksi antibodi, yang memiliki rentang hidup yang terbatas, dengan sel-sel yang berasal dari tumor abadi limfosit (myeloma) menghasilkan hibridoma yang mampu tumbuh tanpa batas. Sel-sel myeloma adalah sel yang diabadikan yang dikultur dengan 8-azaguanine untuk memastikan kepekaan mereka terhadap hypoxanthine-aminopterin-thymidine (HAT) medium seleksi yang digunakan setelah fusi sel. Seminggu sebelum sel fusi, sel-sel myeloma tumbuh di 8-azaguanine. Sel harus memiliki viabilitas tinggi dan pertumbuhan yang cepat. HAT menengah ini hanya memungkinkan sel-sel leburan untuk  bertahan hidup dalam kultur.
Langkah 4 : Fusion Sel Myeloma dengan Sel Immune Limpa
Sel limpa tunggal dari tikus yang diimunisasi digabungkan dengan sel mieloma yang disiapkan sebelumnya. Fusi dicapai dengan co-sentrifugasi sel limpa yang baru dipanen dan sel myeloma dalam  polietilenglikol, zat yang menyebabkan membran sel menjadi sekering. Seperti yang disebutkan pada langkah 3, hanya sel yang bersatu akan tumbuh di media pilihan khusus. Sel-sel tersebut kemudian didistribusikan ke 96 piring yang berisi sel-sel feeder yang diturunkan dari pencelupan  peritoneal salin tikus. Sel pengumpan diyakini memasok faktor  pertumbuhan yang mempromosikan pertumbuhan sel hibridoma.
Langkah 5 : Kloning Hybridoma Cell Lines
Membatasi  Pengenceran atau Ekspansi dan Stabilisasi Klon oleh Produksi Ascites Pada tahap ini, kelompok kecil sel hibridoma dari 96 lempeng sumur dapat tumbuh di jaringan kultur diikuti oleh seleksi untuk  pengikatan antigen atau ditumbuhkan oleh metode ascites mouse dengan kloning dikemudian waktu. Kloning dengan “membatasi pengenceran” saat ini memastikan bahwa mayoritas sumur masing-masing mengandung  paling banyak sebuah klon tunggal. Pertimbangan yang cukup diperlukan  pada tahap ini untuk memilih hibrida yang mampu melakukan ekspansi versus hilangnya total produk fusi sel karena kurangnya populasi atau in vitro yang tidak memadai pertumbuhan tinggi pengenceran. Dalam  beberapa kasus, antibodi yang disekresikan bersifat racun bagi sel-sel yang rapuh yang dipertahankan in vitro. Mengoptimalkan metode ekspansi asites tikus pada tahap ini dapat menyimpan sel.
Cara Pembuatan Antibodi Monoklonal
KÅ‘hler dan Milstein menjelaskan bagaimana caranya mengisolasi dan mengembangkan antibodi monoklonal murni spesifik dalam jumlah banyak yang didapat dari campuran antibodi hasil respons imun. Tikus yang telah diimunisasi dengan antigen khusus ke dalam sumsum tulang akan menghasilkan sel limfosit B yang memiliki masa waktu hidup terbatas dalam kultur, hal ini dapat diatasi dengan cara menggabungkan dengan sel limfosit B tumor (myeloma) yang abadi. Hasil campuran heterogen sel hybridoma dipilih hybridoma yang memiliki 2 kemampuan yaitu dapat menghasilkan antibodi khusus dan dapat tumbuh di dalam kultur. Hybridoma ini diperbanyak sesuai klon individualnya dan setiap klon hanya menghasilkan satu jenis antibodi monoklonal yang permanen dan stabil. Hybridoma yang berasal dari satu limfosit akan menghasilkan antibodi yang akan mengenali satu jenis antigen. Antibodi inilah yang dikenal sebagai antibodi monoklonal (Gambar 2.3).
Gambar 2.3. Skema pembuatan antibodi monoklonal dari kultur tikus.
Proses pembuatan antibodi monoklonal melalui 5 tahapan yaitu:
1.      Imunisasi tikus dan seleksi tikus donor untuk pengembangan sel hybridoma Tikus diimunisasi dengan antigen tertentu untuk menghasilkan antibodi yang diinginkan. Tikus dimatikan jika titer antibodinya sudah cukup tercapai dalam serum kemudian limpanya digunakan sebagai sumber sel yang akan digabungkan dengan sel myeloma.
2.      Penyaringan produksi antibodi tikus
Serum antibodi pada darah tikus itu dinilai setelah beberapa minggu imunisasi. Titer serum antibodi ditentukan dengan berbagai macam teknik seperti enzyme link immunosorbent assay (ELISA) dan flow cytometry. Fusi sel dapat dilakukan bila titer antibodi sudah tinggi jika titer masih rendah maka harus dilakukan booster sampai respons yang adekuat tercapai. Pembuatan sel hybridoma secara in vitro diambil dari limpa tikus yang dimatikan.
3.      Persiapan sel myeloma
Sel myeloma yang didapat dari tumor limfosit abadi tidak dapat tumbuh jika kekurangan hypoxantine guanine phosphoribosyl transferase (HGPRT) dan sel limpa normal masa hidupnya terbatas. Antibodi dari sel limpa yang memiliki masa hidup terbatas menyediakan HGPRT lalu digabungkan dengan sel myeloma yang hidupnya abadi sehingga dihasilkan suatu hybridoma yang dapat tumbuh tidak terbatas. Sel myeloma merupakan sel abadi yang dikultur dengan 8-azaguanine sensitif terhadap medium seleksi hypoxanthine aminopterin thymidine (HAT). Satu minggu sebelum fusi sel, sel myeloma dikultur dalam 8-azaguanine. Sel harus mempunyai kemampuan hidup tinggi dan dapat tumbuh cepat. Fusi sel menggunakan medium HAT untuk dapat bertahan hidup dalam kultur.
4.      Fusi sel myeloma dengan sel imun limpa
Satu sel limpa digabungkan dengan selmyeloma yang telah dipersiapkan. Fusi ini diselesaikan melalui sentrifugasi sel limpa dan sel myeloma dalam polyethylene glycol suatu zat yang dapat menggabung-kan membran sel. Sel yang berhasil mengalami fusi dapat tumbuh pada medium khusus. Sel itu kemudian didistribusikan ke dalam tempat yang berisi makanan, didapat dari cairan peritoneal tikus. Sumber makanan sel itu menyediakan growth factor untuk pertumbuhan sel hybridoma.
5.      Pengembangan lebih lanjut kloning sel hybridoma
Kelompok kecil sel hybridoma dapat dikembangkan pada kultur jaringan dengan cara seleksi ikatan antigen atau dikembangkan melalui metode asites tikus. Kloning secara limiting dilution akan memastikan suatu klon itu berhasil. Kultur hybridoma dapat dipertahankan secara in vitro dalam tabung kultur (10-60 ug/ml) dan in vivo pada tikus, hidup tumbuh di dalam suatu asites tikus. Konsentrasi antibodi dalam serum dan cairan tubuh lain 1-10 ug/ml.



Produksi Antibodi Monoklonal pada Tanaman untuk Imunoterapi kanker
Antibodi Monoklonal (mAbs) telah sering diproduksi dalam sistem ekspresi yang berbeda seperti ragi, sel serangga, dan sel mamalia. Penelitian baru saja menjelaskan bahwa, mAb yang berbeda-beda dan turunannya juga telah diekspresikan pada tanaman. Sistem instalasi terdalam yang digunakan untuk produksi Ab tingkat besar, tanaman yang ditransformasikan, yang bertindak sebagai bioreaktor, dibudidayakan secara in vitro, memungkinkan regenerasi matang tanaman dan perbanyakan sel tanaman sebagai suspensi sel platform kultur. Sistem pabrik ini membantu pabrik manufaktur biomassa in vitro, termasuk daun, batang, dan akar, dan tanaman dewasa dapat ditransplantasikan dan ditanam in vivo (dalam pot tanah). Dengan demikian, tanaman berbeda dari yang lain sistem produksi kultur sel yang dijelaskan di atas dalam hal fleksibilitas untuk digunakan dalam platform vitro dan in vivo. Sistem tanaman seperti tembakau, alfalfa, dan beberapa lainnya telah dikembangkan karena mereka yang paling mudah diakses dan sumber umum biomassa daun. Jagung dan kedelai dapat menghasilkan dan mengakumulasi mAb dalam biji. Sayuran tanaman memiliki kadar protein terlarut total yang relatif tinggi, yang mungkin bermanfaat untuk ekspresi protein rekombinan. Di antara tanaman sayur, biomassa daun Cina kubis memiliki tingkat protein terlarut total tertinggi dibandingkan kepada orang lain, menjadikannya kandidat bioreaktor untuk diproduksi protein terapi rekombinan. Tembakau memiliki jurusan keuntungan seperti hasil biomassa daun tinggi dan peningkatan skala cepat melalui produksi benih yang mudah, jika dibandingkan dengan yang lain spesies tanaman. Dalam laporan terbaru, tingkat ekspresi protein rekombinan pada batang tembakau mirip dengan daun, sehingga menunjukkan bahwa biomassa seluruh tanaman tembakau dapat digunakan untuk produksi terapi rekombinan protein, akhirnya meningkatkan biaya produksi hulu efisiensi. Selain itu, tembakau adalah tanaman non-pangan, non-makan yang telah ditandai dengan baik sebagai sistem ekspresi tidak termasuk kontaminasi patogen manusia, yang mengurangi masalah keamanan hayati. Namun, tembakau mengandung atau nikotin alkaloid beracun lainnya, yang perlu dihilangkan menggunakan langkah ekstraksi tambahan. Selanjutnya, tembakau menghasilkan antibodi N-glikosilasi heterogen karena distribusi tempat antibodi yang berbeda di jalur sekretori, yang dapat menyebabkan kesulitan dalam mengontrol kualitas dari antibodi yang diproduksi (Ghislain Moussavou, et al., 2015).

E.     Mekanisme Kerja Antibodi Monoklonal dan Pemilihan Antibodi Spesifik Penghasil Klon
Antibodi monoklonal menggunakan mekanisme kombinasi untuk meningkatkan efek sitotoksik sel tumor. Mekanisme komponen sistem imun adalah antibody dependent cellular cytotoxicity (ADCC), complement dependent cytotoxicity (CDC), mengubah signal transduksi sel tumor atau menghilangkan sel permukaan antigen. Antibodi dapat digunakan sebagai target muatan (radioisotop, obat atau toksin) untuk membunuh sel tumor atau mengaktivasi prodrug di tumor, antibody directed enzyme prodrug therapy (ADEPT). Antibodi monoklonal digunakan secara sinergis melengkapi mekanisme kerja kemoterapi untuk melawan tumor (Adams, G.P., et al., 2005).
1.      Antibody dependent cellular cytotoxicity (ADCC)
Antibody dependent cellular cytotoxicity (ADCC) terjadi jika antibodi mengikat antigen sel tumor dan Fc antibodi melekat dengan reseptor Fc pada permukaan sel imun efektor. Interaksi Fc reseptor ini berdasarkan kemanjuran antitumor dan sangat penting pada pemilihan suatu antibodi monoklonal. Sel efektor yang berperan masih belum jelas tapi diasumsikan sel fagosit mononuklear dan atau natural killer (NK). Struktur Fc domain dimanipulasi untuk menyesuaikan jarak antibodi dan interaksi dengan Fc reseptor. Antibody dependent cellular cytotoxicity (ADCC) dapat meningkatkan respons klinis secara langsung menginduksi destruksi tumor melalui presentasi antigen dan menginduksi respons sel T tumor. Antibodi monoklonal berikatan dengan antigen permukaan sel tumor melalui Fc reseptor permukaan sel NK. Hal ini memicu penglepasan perforin dan granzymes untuk menghancurkan sel tumor . Sel-sel yang hancur ditangkap antigen presenting cell (APC) lalu dipresentasikan pada sel B sehingga memicu penglepasan antibodi kemudian antibodi ini akan berikatan dengan target antigen. Sel cytotoxic T lymphocytes (CTLs) dapat mengenali dan membunuh sel target antigen (Adams, G.P., et al., 2005). 
Gambar 2.4. Skema mekanisme kerja Antibody Dependent Cellular Cytotoxicity (ADCC).
2.      Complement dependent cytotoxicity (CDC)
Pengikatan antibodi monoklonal dengan antigen permukaan sel akan mengawali kaskade komplement. Complement dependent cytotoxicity (CDC) merupakan suatu metode pembunuh sel tumor yang lain dari antibodi. Imunoglobulin G1 dan G3 sangat efektif pada CDC melalui jalur klasik aktivasi komplemen. Formasi kompleks antigen antibodi merupakan komplemen C1q berikatan dengan IgG sehingga memicu komplemen protein lain untuk mengawali penglepasan proteolitik sel efektor kemotaktik/agen aktivasi C3a dan C5a . Kaskade komplemen ini diakhiri dengan formasi membrane attack complex (MAC) sehingga terbentuk suatu lubang pada sel membran. Membrane attack complex (MAC) memfasilitasi keluar masuknya air dan Na+ yang akan menyababkan sel target lisis (Adams, G.P., et al., 2005).
Gambar 2.5 Skema mekanisme kerja Complement Dependent Cytotoxicity (CDC)
3.      Perubahan transduksi signal
Reseptor growth factor merupakan suatu antigen target tumor, ekspresinya berlebihan pada keganasan. Aktivasi transduksi signal pada kondisi normal akan menginduksi respons mitogenik dan meningkatkan kelangsungan hidup sel, hal ini diikuti dengan ekspresi perkembangan sel tumor yang berlebihan yang juga menyebabkan tumor tidak sentitif terhadap zat kemoterapi. Antibodi monoklonal sangat potensial menormalkan laju perkembangan sel dan membuat sel sensitif terhadap zat sitotoksik dengan menghilangkan signal reseptor ini. Target antibodi EGFR merupakan inhibitor yang kuat untuk transduksi signal. Terapi antibodi monoklonal memberikan efek penurunan densitas ekspresi target antigen contohnya penurunan konsentrasi EGFR permukaan sel tumor atau membersihkan ligan seperti VEGF. Pengikatan ligand reseptor growth factor memicu dimerisasi dan aktivasi kaskade signal sehingga terjadi proliferasi sel dan hambatan terhadap zat 54 sitotoksik . Antibodi monoklonal menghambat signal dengan cara menghambat dimerisasi atau mengganggu ikatan ligand (Adams, G.P., et al., 2005).
Gambar 2.6. Skema mekanisme kerja pada transduksi sinyal.
4.      Imunomodulasi
Beberapa percobaan menunjukkan antibodi yang langsung melawan cytotoxic T lymphocyte antigen 4 (CTLA 4) terbukti dapat menginduksi regresi imun. Pola toksisitas yang diteliti pada uji klinis memperlihatkan hubungan perlekatan CTLA 4 dengan ligan dapat menginduksi respons autoimun, hal ini terlihat pada aktivasi sel T dependent. Gabungan antibodi anti-CTLA 4 dengan antibodi monoklonal menginduksi ADCC, kemoterapi sitotoksik atau radioterapi sehingga dapat meningkatkan respons imun terhadap antigen spesifik tumor (Adams, G.P., et al., 2005).
5.      Penghantaran muatan sitotoksik
Antibodi monoklonal pada terapi kanker akan melawan target sel tumor dengan cara mengikat sel spesifik tumor dan menginduksi respons imun. Antibodi monoklonal telah digunakan secara luas dalam percobaan sebagai zat sitotoksik sel-sel tumor. Modifikasi antibodi monoklonal dilakukan dengan tujuan sebagai zat penghantar radioisotop, toksin katalik, obat-obatan, sitokin, enzim atau zat konjugasi aktif lainnya. Pola antibodi bispesifik pada kedua bagian Fab memungkinkan untuk mengikat target antigen dan sel efektor (Adams, G.P., et al., 2005).
6.      Antibodi directed enzyme prodrug therapy (ADEPT)
Antibodi directed enzyme prodrug therapy (ADEPT) menggunakan antibodi monoklonal sebagai penghantar untuk sampai ke sel tumor kemudian enzim mengaktifkan prodrug pada tumor, hal ini dapat meningkatkan dosis active drug di dalam tumor. Konjugasi antibodi monoklonal dan enzim mengikat antigen permukaan sel tumor kemudian zat sitotoksik dalam bentuk inaktif prodrug akan mengikat konjugasi antibodi monoklonal dan 55 enzim permukaan sel tumor akhirnya inaktivasi prodrug terpecah dan melepaskan active drug di dalam tumor (Adams, G.P., et al., 2005).
Gambar 2.7. Skema mekanisme kerja pada imunomodulasi.

Pemilihan Antibodi Spesifik-Penghasil Klon
Sel hibridoma yang tersisa diencerkan dan ditempatkan di dalam sumur mikrotiter, dimana mereka diizinkan untuk tumbuh. Setiap sumur mengandung satu klon, kemudian disaring atau ada antibodi yang diinginkan dengan mengeluarkan supernatan. Setelah diidentifikasi, hibridoma mampu dipertahankan dalam kultur sel tanpa batas, dan menghasilkan pasokan antibodi monoklonal yang siap bereaksi dengan epitop tunggal (Stevens, 2013). Atau bisa juga dengan beberapa prosedur dibawah ini:
1.      Imunisasi Mencit
a.    Antigen berupa protein atau polisakarida yang berasal dari bakteri atau virus, disuntikkan secarasubkutan pada beberapa tempat atau secara intra peritoneal.
b.    Setelah 23 minggu disusul suntikan antigen secara intravena, mencit yang tanggap kebal terbaik dipilih.
c.    Pada hari ke-12 hari suntikan terakhir antibodi yang terbentuk pada mencit diperiksa dan diukurtiter antibodinya.
d.   Mencit dimatikan dan limfanya diambil secara aseptis. Kemudian dibuat suspensi sel limfa untuk memisahkan sel B yang mengandung antibodi.
2.      Cara imunisasi lain yang sering digunakan adalah imunisasi sekali suntik intralimfa (Single-Shot Intrasplenic Immunization). Imunisasi cara ini dianggap lebih baik, karena eliminasi antigen oleh tubuh dapat dicegah.
Fusi sel kebal dan sel mieloma:
a. Pada kondisi biakan jaringan biasa, sel limfa yang membuat antibodi akan cepat mati, sedangkan sel mieloma dapat dibiakkan terus-menerus. Fusi sel dapat menciptakan sel hibrid yang terdiri darigabungan sel limfa yang dapat membuat antibodi dan sel mieloma yang dapat dibiakkan secaraterus menerus dalam jumlah yang tidak terbatas secara in vitro.
b. Fusi sel diawali dengan fusi membran plasma sehingga menghasilkan sel besar dengan dua ataulebih inti sel, yang berasal dari kedua induk sel yang berbeda jenis yang disebut heterokarion.
c. Pada waktu tumbuh dan membelah diri terbentuk satu inti yang mengandung kromosom kedua induk yang disebut sel hibrid.
Frekuensi fusi dipengaruhi bebrapa faktor antara lain jenis medium, perbandingan jumlah sel limpa dengan sel mieloma, jenis sel mieloma yang digunakan, dan bahan yang mendorong timbulnya fusi (fusagon). Penambahan polietilen glikol (PEG) dan dimetilsulfoksida (DMSO) dapat menaikan efisiensi fusi sel.
Eliminasi sel induk yang tidak berfusi:
Frekuensi terjadinya hibrid sel limfa-sel mieloma biasanya rendah, karena itu penting untukmematikan sel yang tidak fusi yang jumlahnyaa lebih banyak agar sel hibrid mempunyaikesempatan untuk tumbuh dengan cara membiakkan sel hibrid dalam media selektif yang mengandung hyloxanthine, aminopterin, dan thymidine (HAT).

Isolasi dan pemilihan klon hibridoma yaitu:
1.      Sel hibrid dikembangbiakkan sedemikian rupa, sehingga tiap sel hibrid aka membentuk kolonihomogen yang disebut hibridoma.
2.      Tiap koloni kemudian dibiakkan terpisah satu sama lain.
3.      Hibridoma yang tumbuh diharapkan mensekresi antibodi ke dalam medium, sehingga antibodi yang terbentuk bisa diisolasi. Pemilihan klon hibridoma dilakukan dua kali, pertama adalah dilakukan untuk memperolehhibridoma yang dapat menghasilkan antibodi, dan yang kedua adalah memilih sel hibridoma penghasil antibodi monoklonal yang potensial menghasilkan antibodi monoklonal yang tinggi dan stabil.
Umumnya untuk menetukan antibodi yang diinginkan dilakukan dengan cara Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) atau radioimmunoassay (RIA). Pemilihan klon hibridoma dilakukan dua kali, pertama adalah dilakukan untuk memperoleh hibridoma yang dapat menghasilkan antibodi; dan yang kedua adalah memilih sel hibridoma penghasil antibodi monoklonal yang potensial menghasilkan antibodi monoklonal yang tinggi dan stabil.
F.     Antibodi Monoklonal Rekombinan
Antibodi monoklonal adalah antibodi buatan identifik karena diproduksi oleh salah satu jenis sel imun saja dan semua klonnya merupakan sel single parent. Antibodi monoklonal mempunyai sifat khusus yang unik yaitu dapat mengenal suatu molekul, memberikan informasi tentang molekul spesifik dan sebagai terapi target tanpa merusak sel sehat sekitarnya. Antibodi monoklonal murni dapat diproduksi dalam jumlah besar dan bebas kontaminasi. Antibodi monoklonal dapat diperoleh dari sel yang dikembangkan di laboratorium, reagen tersebut sangat berguna untuk penelitian terapi dan diagnostik laboratorium (Albert, B., et al., 2002; Abbas, A.K., 2005; Nelson, P.N., et al., 2000).
Pemanfaatan antibodi monoklonal dalam bidang kesehatan, baik untuk diagnostik atau mengatasi penyakit kanker tertentu, telah banyak dilakukan. Beberapa antibodi monoklonal yang dilakukan untuk pengobatan berasal dari sel mencit atau tikus, sering menimbulkan reaksi alergi pada pasien yang menerima terapi antibodi monoklonal tersebut. Hal ini disebabkan karena protein mencit dikenal sebagai antigen asing oleh sel tubuh pasien, sehingga menimbulkan reaksi respon imun antara lain berupa alergi, inflamasi dan penghancuran atau destruksi antibodi monoklonal itu sendiri. Untuk mengatasi hal tersebut maka dikembangkanlah antibodi monoklonal rekombinan manusia, yaitu suatu monoklonal antibodi yang sebagian atau seluruhnya terdiri dari protein yang berasal dari manusia, untuk mengurangi efek penolakan oleh sistem imun pasien (Radji, M., 2011; Tuscano, J.M., et al; 2005).
Beberapa jenis antibodi monoklonal generasi baru yang telah dikembangkan antara lain:
1.      Antibodi monoklonal murine (fully mouse)
Yaitu antibodi murni yang didapatkan dari tikus. Antibodi ini dapat menyebabkan human anti mouse antibodies (HAMA). Biasanya antibodi ini memiliki akhiran dengan nama “momab” (contohnya Ibritumomab®) (Radji, M., 2011; Tuscano, J.M., et al; 2005).
2.      Antibodi monoklonal kimera (chimaric)
Antibodi monoklonal ini dibuat melalui teknik rekayasa genetika untuk menciptakan galur mencit atau tikus transgenik yang dapat memproduksi sel hybrid mencit manusia yang disebut kimera (chimaric). Bagian variabel molekul antibodi (Fab),  termasuk bagian antigen binding site, berasal dari mencit, sedangkan bagian lainnya, yaitu bagian yang constant (Fc) berasal dari manusia. Memiliki akhiran dengan nama “ximab” (Rituximab®) (Radji, M., 2011; Tuscano, J.M., et al; 2005).
3.      Antibodi monoklonal manusiawi (humanized)
Antibodi ini dibuat secara rekayasa genetika dimana bagian protein yang berasal dari mencit hanya terbatas pada antigen binding site saja, sedangkan bagian yang lainnya yaitu bagian variable dan bagian konstan berasal dari manusia. Antibodi ini memiliki akhiran nama “zumab” (Transtuzumab®) (Radji, M., 2011; Tuscano, J.M., et al; 2005).
4.      Antibodi monoklonal manusia (fully human)
Antibodi ini merupakan antibodi yang paling ideal untuk menghindari terjadinya respon imun karena protein antibodi yang disuntikkan kedalam tubuh seluruhnya merupakan protein yang berasal dari manusia. Salah satu pendekatan yang dilakukan untuk merancang pembentukan antibodi monoklonal yang seluruhnya mengandung protein manusia tersebut adalah dengan teknik rekayasa genetika untuk menciptakan mencit transgenik yang membawa gen yang berasal dari manusia, sehingga mampu memproduksi antibodi yang diinginkan. Pendekatan lainnya adalah merekayasa suatu binatang transgenik yang dapat mensekresikan antibodi manusia dalam air susu yang dikeluarkan oleh binatang tersebut. Antibodi yang 100% mengandung protein manusia memiliki akhiran nama “mumab” (Panitumumab®) (Radji, M., 2011; Tuscano, J.M., et al; 2005).
Gambar 2.8. Struktur antibodi monoklonal rekombinan. Dari yang paling kiri ke kanan; antibodi monoklonal fully mouse, chimaric,. humanized, fully human.

G.    Target Terapi Antibodi Monoklonal dan Kegunaan Penting Dalam Penggunaan Klinik
Terapi target didefinisikan sebagai obat atau molekul untuk membunuh sel tumor melalui interaksi target yang terdapat pada sel ganas. Terapi target ditujukan bagaimana secara selektif melawan molekul pada permukaan sel dan jalur signal metabolik sel ganas. Terapi target secara potensial dapat memisahkan sel normal selanjutnya mengurangi toksisiti dan memperbaiki kualiti hidup. Jenis terapi target tergantung cara kerja dan target spesifik, bermacam zat yang dapat diklasifikasikan ke dalam subkategori yaitu antibodi monoklonal, inhibitor tyrosine kinase, inhibitor proteosome, inhibitor cyclin dependent kinase (CKD), inhibitor Raf kinase, angiogenic agents, inhibitormatrix metalloproteinase, inhibitor farnesyltransferase, inhibitor deacetylase, inhibitor COX-2, teknologi antisense dan terapi gen.
Terapi target pada KPKBSK (kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil) yang digunakan adalah inhibitor EGFR antibodi monoklonal ″Trastuzumab″ (Herceptin), ″Cetuximab″ (Erbitux), inhibitor EGFR tyrosine kinase ″Gefitinib″ (Irresa), inhibitor angiogenesis metalloproteinase, inhibitor VEGF antibodi monoklonal ″Bevacizumab″ (Avastin) dan inhibisi tranduksi signal antisense oligonucleotide protein kinase C alpha (Herbst, R.S., 2002; Herbst, R.S., 2003).

Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR) dan Tyrosine Kinase (TK)
Reseptor growth factor sangat penting untuk mengatur proses seluler tumor seperti proliferasi, differensiasi, pertahanan, angiogenesis dan migrasi. Reseptor growth factor terdiri dari HER-1 (epidermal growth factor [EGFR] atau c-erb B1), HER-2 (c-erb B-2), HER3 (c-erb B-3) dan HER4 (c-erb B4). Epidermal growth factor receptor (EGFR)/HER 1 melekat pada bagian ekstraseluler (EGF, transforming growth factor α (TGF-α) dan growth factor lainnya), bagian transmembran dan bagian tyrosine kinase intraseluler (Herbst, R.S., 2003).
Epidermal growth factor receptor EGFR berikatan dengan ligand menyebabkan homodimerisasi atau heterodimerisasi reseptor HER famili yang lain dan mengaktifkan tyrosine kinase (TK). Fosforilasi reseptor tyrosine menerima signal protein intraseluler dan mengubah signal ekstraseluler menjadi transduksi signal intraseluler. Molekul efektoradapter seperti growth factor reseptor bound protein 2 (Grb2) dan Src homology collagen protein (Shc) berperan sebagai dasar untuk merangkai elemen signal yang dibutuhkan untuk aktivasi proliferasi seluler. Molekul enzim lainnya yang mengaktifkan EGFR TK fosforilasi adalah son of sevenless (SOS), phosphatidyl inositol 3 kinase (PI3K) dan Grb2-associated binder 1 (Herbst, R.S., 2003).
Jalur transduksi signal multipel diawali fosforilasi EGFR termasuk kaskade signal Ras (oncogen) - mitogen activated protein kinase (MAPK). Scr dan jalur signal tranducers and activator of transcription (STAT) secara luas digunakan sebagai signal growth untuk menginduksi gen trankripsi dan menimbulkan berbagai macam respons sel. Proliferasi seluler hasil aktivasi EGFR TK terjadi melalui beberapa jalur transduksi signal. Signal proliferasi jalur MAPK terjadi setelah molekul adapter mengaktivasi kompleks EGFR timbul langkah aktivasi dari Ras, Raf, MAP/Erk kinase (MEK1) dan extracellular regulated kinase (Erk) protein yang akan meningkatkan aktiviti faktor transkripsi untuk proliferasi dan aktivasi progresi siklus sel (Herbst, R.S., 2003).
Aktivasi EGFR TK mempengaruhi progresi tumor soliter. Transforming growth factor α (TGFα) dan EGF menginduksi angiogenesis serta permeabiliti sel vaskuler dengan meningkatkan ekspresi VEGF tumor. Peningkatan ekspresi VEGF tumor akan menghasilkan ketidakseimbangan antara faktor pro dan antiangiogenik di dalam tumor yang akhirnya menimbulkan vaskularisasi dan pertumbuhan baru. Peningkatan densiti mikrovaskuler merupakan suatu peningkatan aktivasi EGFR TK. Epidermal growth factor receptor tyrosine kinase (EGFR TK) juga berinteraksi dengan jalur komponen yang mempengaruhi sel-sel adhesi, hal ini penting untuk invasi tumor sel ke jaringan yang berdekatan. Epidermal growth factor receptor tyrosine kinase (EGFR TK) juga mengaktivasi matrix metalloproteinase dan stimulasi motiliti sel tumor yang akhirnya menambah metastasis. Aktivasi EGFR TK secara tidak langsung menghambat apoptosis sel tumor, meningkatkan tahan hidup sel tumor dan resisten terhadap terapi sitotosik. Aktiviti ini disebabkan oleh PI3K suatu signal molekul penting jalur antiapoptotik yang mempengaruhi faktor transkripsi nuclear factor κB (NF κB) dan juga mengatur jalur aktiviti Ras MAPK pada proliferasi seluler (Herbst, R.S., 2003).
Ekspresi EGFR meningkat pada keganasan dan ditemukan 40-80% pada KPKBSK. Ekspresi EGFR secara histologis sering meningkat pada squamous cell carcinoma, large cell carcinoma dan sedikit meningkat pada small cell carcinoma. Titer EGFR meningkat pada KPKBSK stage IV dibandingkan stage I, II dan juga meningkat pada kasus yang berkaitan dengan mediastinal. Ekspresi EGFR sangat penting dalam perkembangan dan progresi keganasan, beberapa penelitian didapatkan korelasi positif antara ekspresi EGFR yang berlebihan, invasi tumor dan rendahnya lama tahan hidup (Herbst, R.S., 2003).
Gambar 2.9. Skema aktivitas jarus RAS-MAPK pada proliferasi seluler.
Hambatan dalam terapi
Distribusi antigen sel ganas sangat heterogen sehingga beberapa sel dapat mengenali antigen tumor dan sel lainnya tidak. Densitas antigen bervariasi bila rendah antibodi monoklonal tidak efektif. Aliran darah tumor tidak selalu optimal bila antibodi monoklonal dihantarkan melalui darah maka sulit untuk mengandalkan terapi ini. Tekanan interstisial yang tinggi dalam tumor dapat mencegah ikatan dengan antibodi monoklonal. Antigen tumor selalu dilepaskan sehingga antibodi mengikat antigen bebas dan bukan sel tumor.
Antibodi monoklonal diperoleh dari sel tikus kemungkinan masih ada respons imun antibodinya yang disebut respons human anti mouse antibodies (HAMA). Respons ini tidak hanya menurunkan kemanjuran terapi antibodi monoklonal tapi juga menyisihkan kemungkinan terapi ulangan. Reaksi silang antibodi monoklonal dengan antigen jaringan normal jarang sehingga aplikasi antibodi monoklonal memberikan hasil yang baik pada keganasan hematologi dan tumor soliter walaupun terdapat beberapa rintangan. (VonMehren, M., 2003).


Beberapa contoh produk di pasaran yaitu:
1.      Transtuzumab
″Trastuzumab″ (Herceptin) merupakan suatu antibodi monoklonal humanized yang menghambat sel pertumbuhan dengan cara mengikat bagian ekstraseluler reseptor HER2 protein tyrosine kinase. ″Trastuzumab″ juga menginduksi ADCC melalui sel NK dan monosit untuk melawan sel ganas. ″Trastuzumab″ mempunyai efek samping berupa disfungsi jantung (27% pada terapi kombinasi dan 8% terapi tunggal), mielosupresi dan diare. Ekspresi protein HER2 yang berlebihan ditemukan pada jaringan tumor KPKBSK dengan menggunakan teknik immunohistochemistry (IHC) 20%, fluorescence in situ hybridization (FISH) 6% dan kadar serum HER2 > 15 ng/ml pada ELISA 6%. Immunohistochemistry (IHC) didapatkan 66 spesimen memberikan hasil positif dan ELISA didapatkan 13 spesimen positif tetapi tidak satupun spesimen positif pada FISH (Segota, E., et al., 2004; Heinmoller, P., et al., 2003).
Kombinasi ″trastazumab″ dan kemoterapi memberikan hasil lebih baik growth inhibitor pada sel yang mengekspresi HER2. Kombinasi ″trastuzumab″ dengan kemoterapi terbukti secara klinis memberikan keuntungan pasien kanker payudara metastasis HER2 positif. Penelitian uji klinis randomisasi fase II efek penambahan kombinasi ″trastazumab″ dengan kemoterapi standar (gemcitabine dan cisplatin) pada pasien KPKBSK HER2 positif memberikan hasil toleransi yang baik secara klinis. Kombinasi paclitaxel, carboplatin dan ″trastuzumab″ dapat diberikan pada KPKBSK stage lanjut dengan toksisiti yang tidak lebih buruk dibandingkan dengan terapi tanpa ″trastuzumab″. Strategi yang paling menjanjikan dari target HER2 adalah penggunaan kombinasi inhibitor EGRF TK dengan inhibitor HER2 dimerization. (Bunn, P.A., et al., 2001; Vogel, C.L., et al., 2002; Lanjer, C.J., et al., 2004).
2.      Cetuximab
″Cetuximab″ (Erbitux) merupakan antibodi monoklonal chimeric yang bekerja mengikat EGFR pada bagian ekstraseluler. ″Cetuximab″ memberikan efek samping ruam acneiform, folikulitis pada wajah dan dada serta dilaporkan juga reaksi hipersensitif. Response rate (RR) lebih tinggi bila terjadi ruam pada kulit. Penelitian fase II monoterapi ″cetuximab″ pasien KPKBSK rekuren dan metastasis yang dideteksi EGFRnya dan yang telah diberikan satu atau lebih regimen kemoterapi sebelumnya, didapatkan 2 dari 29 (6,9%) parsial respons (PR) dan 5 pasien (17,2%) penyakitnya stabil. Uji klinis fase II pasien KPKBSK stage IIIB/IV rekuren atau metastasis didapatkan respons, 3,3% PR (2/60 pasien) dan 25% penyakitnya stabil (15/60 pasien). Hal ini menunjukkan toleransi ″cetuximab″ sangat baik (Lynch, T.J., et al., 2004; Theinelt, C.D., et al., 2005).
Efikasi ″cituximab″ ditambah kemoterapi lainnya telah diteliti. Penelitian fase I pada KPKBSK didapatkan PR 2 dari 19 pasien (10,5%) dengan dosis multipel ″cetuximab″ dan cisplatin. Uji klinis randomisasi terkontrol kemoterapi naive pasien KPKBSK stadium lanjut dengan ekspresi EGFR berlebihan didapatkan RR yang tinggi pada regimen ″cetuximab″, vinorelbine dan cisplatin dibandingkan hanya dengan ″vinorelbine″ dan ″cisplatin″ saja (31,7% vs 20,0%). Penelitian lain kombinasi ″cetuximab″ dilaporkan bahwa didapatkan RR yang hampir sama. Kombinasi ″cetuximab″ dengan docetaxel kemoterapi pada KPKBSK refrakter/resisten didapatkan 28% (13/47) PR dan 17% (8/47) penyakitnya stabil. ″Cetuximab″ yang ditambahkan regimen paclitaxel + carboplatin atau regimen gemcitabine + carboplatine pada KPKBSK naïve didapatkan masing – masing RR 26% (31 pasien) dan 28,6% (35 pasien) (Lynch, T.J., et al., 2004; Theinelt, C.D., et al., 2005).
3.      Bevacizumab
″Bevacizumab″ (Avastin) merupakan antibodi monoklonal humanized yang bekerja pada target VEGF, menstimulasi formasi pembuluh darah baru tumor. ″Bevacizumab″ mempunyai efek samping berupa hipertensi sedang dan efek yang jarang terjadi adalah perforasi intestinal. Beberapa inhibitor angiogenesis telah diteliti pada KPKBSK termasuk VEGF, VEGFR antibodi dan inhibitor VEGFR TK. Penelitian terbaik inhibitor angiogenesis adalah ″bevacizumab″ suatu antiVEGF antibodi yang dikombinasikan dengan kemoterapi dan ″erlotinib″ pada KPKBSK stage lanjut atau rekuren. Uji klinis randomisasi terkontrol 99 pasien KPKBSK stage IIIB/IV atau rekuren, ″bevacizumab″ ditambahkan pada paclitaxel + carboplatin memberikan respons dan time to progression (TTP) yang baik dibandingkan dengan paclitaxel + carboplatin saja. Median TTP jauh lebih bermakna pada pasien yang mendapatkan regimen ″bevacizumab″ dosis tinggi (15mg/kg) daripada yang mendapatkan dosis kecil (7,5mg/kg) (7,4 vs 4,2 bulan p=0,023). Tidak ada perbedaan yang bermakna pada TTP pada grup ″bevacizumab″ dosis rendah dibandingkan paclitaxel + carboplatin saja. (Johnson, D.S., et al., 2005).
Hasil awal uji klinis fase I/II ″bevacizumab″ dan ″erlotinib″ pada KPKBSK stage IIB/IV atau rekuren didapatkan PR 8 dari 40 pasien (20%) dan penyakit stabil 26 dari 40 pasien (65%), median survival time 12,6 bulan dan progression free survival 6,2 bulan. Eastern Cooperative Oncology Group (ECOG) E4599 trial membandingkan regimen paclitaxel + carboplatin dengan ″bevacizumab″ (PCB) dan tanpa ″bevacizumab″ (PC) pada KPKBSK stage lanjut. Hal ini merupakan uji klinis fase III pertama yang menunjukkan keuntungan survival terapi lini pertama kombinasi target biologi dengan kemoterapi, dilaporkan RR 27% pada PCB dibandingkan 10% pada PC, progression free survival (PFS) (6,4 vs 4,5 bulan) dan median survival rates (12,5 vs 10,3 bulan) dengan ″bevacizumab″. ″Bevacizumab″ memberikan toleransi yang baik bila dikombinasi dengan regimen paclitaxel + carboplatin yang akan mengubah toksisiti regimen kemoterapi. ″Bevacizumab″ mempunyai efek samping hipertensi, proteinuria dan hemoragik. Kasus hemoragik sangat kecil tetapi dilaporkan terjadi hemoragik pulmoner yang merupakan sebab hambatan angiogenesis. Hilangnya neovessel dalam jumlah besar pada sentral tumor menyebabkan perdarahan ke dalam kaviti tumor yang nekrosis. (Johnson, D.S., et al., 2005).



4.      Rituximab
Rituximab adalah murine / antibodi manusia yang diarahkan terhadap chimeric CD20. CD20 diekspresikan secara relatif selektif pada sel B dari tahap pra-sel B sampai sel-sel postgerminal berdiferensiasi menjadi sel plasma. Tikus KO CD20 menunjukkan sel-B normal pengembangan dan fungsi, tetapi tanggapan kalsium yang diinduksi CD19 dan pensinyalan reseptor sel-B secara signifikan diubah. Tidak seperti antigen yang lain, CD20 tidak ditumpahkan atau diinternalisasi dalam beristirahat sel B normal. Data ini mendukung CD20 sebagai target ideal untuk berbasis antibodi terapi pada keganasan sel B dewasa. Rituximab adalah antibodi terapeutik pertama yang disetujui untuk pengobatan kanker. Tidak mengherankan, mayoritas mekanisme studi aksi dari antibodi yang digunakan secara terapi berasal studi praklinis dengan rituximab. Seperti kebanyakan imunoglobulin Antibodi terapi G1 (IgG1), rituximab dapat memediasi CDC, ADCC, dan apoptosis langsung dengan antibodi cross-linking. Investigasi ekstensif dari setiap mekanisme telah dilakukan pada limfoma dan CLL. Meskipun CDC relevan dengan rituximab mediated sitotoksisitas pada beberapa garis sel B, sel CLL mengekspresikan redup CD20 dan hanya sebagian kecil sel yang rentan terhadap CDC oleh rituximab.8,9 Studi praklinis in vitro dan in vivo yang sangat elegan telah menunjukkan bahwa sel-sel CLL rentan terhadap pencukuran CD20 setelahnya pengobatan, dan ini mengurangi kemampuan CDC untuk terjadi. Upaya untuk mencabut fenomena shave telah dilakukan dengan memberikan dosis rituximab yang sangat rendah pada tiga kali jadwal mingguan dengan aktivitas klinis yang sangat sederhana. Jadi, walaupun hipotesisnya sangat kuat dengan data praklinis yang mendukung mendukung pencukuran sebagai alasan aktivitas klinis rituximab sederhana ketika diberikan pada dosis yang lebih tinggi, tidak jelas CDC apa berkontribusi pada penghapusan tumor. Monosit memediasi ketergantungan antibodi fagositosis seluler (ADCP) dan sel NK menjadi perantara ADCC14 terhadap sel CLL berlabel rituximab secara in vitro. Meskipun fungsi monosit dan sel NK untuk memediasi ADCP dan ADCC, masing-masing, tentunya dikompromikan secara in vitro dan kemungkinan dikompromikan in vivo pada pasien CLL. Mekanismenya ADCP imun bawaan dan ADCC tidak diketahui tetapi mungkin dari peningkatan sel T regulator yang didokumentasikan pada pasien CLL dengan penyakit aktif. Studi baru-baru ini menunjukkan bahwa T mengatur sel-sel secara dramatis dapat meredam ADCC yang dimediasi ke arah rituximabel sel-sel tumor. Dengan sel T regulatori yang meningkat dalam CLL pasien, berkurang monositnya dan fungsi NK sell, yang kontribusi sel-sel ini terhadap eliminasi tumor tidak jelas. Di Selain itu, polimorfisme nukleotida tunggal Fc RIIIa dan Fc RIIa yang meningkatkan ADCC dan dikaitkan dengan peningkatan respons terhadap rituximab, pada limfoma tidak berdampak pada pengobatan rituximab respon dalam CLL. Strategi diarahkan baik membalikkan disfungsi imun bawaan dengan agen modulasi imun tersebut sebagai interleukin-2 agonis TLR, atau agen yang menghabiskan T sel pengatur menawarkan peluang terbaik untuk mengoptimalkan kekebalan tubuh partisipasi sel dalam pembersihan tumor oleh rituximab. Akhirnya, beberapa kelompok-kelompok telah menunjukkan bahwa rituximab dapat memediasi kedua kasus yang bergantung satu sama lain dan apoptosis independen in vitro dan dalam vivo. Apoptosis tampaknya paling banyak mekanisme aksi penting dalam CLL dan melibatkan aktivasi dari p38 protein kinase yang diaktifkan mitogen, jalur itu membutuhkan gen p53 utuh, dan caspase belahan dada. Ofatumumab, anti-CD20 generasi kedua yang sepenuhnya manusiawi itu mengenali epitop CD20 yang berbeda dari rituximab, memiliki kesamaan ADCC, CDC yang lebih kuat, dan membutuhkan tautan silang untuk mendorong langsung apoptosis mirip dengan riutximab.29,30 GA101 berikatan dengan afinitas tinggi ke epitop CD20 dan, sebagai akibatnya, induksi ADCC adalah 5 hingga 100 kali lebih besar dibandingkan dengan rituximab.31-34 Tipe II anti-CD20 antibodi seperti B1 dan GA101 mempromosikan apoptosis langsung tanpa antibodi hubungan silang. Perbedaan lain antara tipe I (rituximab, ofatumumab) dan tipe II (GA101, B1) anti-CD20 antibodi terutama terletak pada kemampuannya untuk mendistribusikan kembali CD20 ke dalam rakit lipid membran plasma. Antibodi anti-CD20 tipe II jangan pisahkan CD20 menjadi rakit lipid dan sangat efektif mengaktifkan mekanisme caspase-independent, lysosomal-dependent kematian yang tergantung pada adhesi homotypic. Relevansi pengamatan ini secara in vivo di antara pasien CLL yang menerima terapi antibodi CD20 tipe II tetap belum diselidiki (Samantha M. Jaglowski, et al., 2010).
Aplikasi Klinis
Antibodi monoklonal awalnya digunakan untuk pengujian diagnnostik in vitro, yang menggunakan antibodi spesifik untuk rantai β dari chorionic gonadotropin manusia, sehingga menghilangkan banyak reaksi positif palsu. Contoh lain termasuk deteksi antigen tumor dan oengukuran kadar hormon. Baru-baru ini, bagaimanapun, ada penekanan  pada penggunaan antibodi monoklonal sebagai agen terapeutik.
Salah satu kemajuan terbesar dalam bidang bioteknologi adalah  penemuan antibodi monoklonal (mAbs). Antibodi monoklonal telah merevolusi bidang penelitian dan kedokteran. Dengan memanfaatkan kekhususan molekuler untuk target biologis, antibodi monoklonal telah memberi peneliti kemampuan untuk mempelajari proses biologis dengan andal dan dengan akurasi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Para ilmuwan telah menciptakan banyak teknik biologis umum, seperti tes immunosorbent enzim-linked, western blot, dan flow cytometry melalui penggunaan antibodi monoklonal. Di luar penggunaannya di laboratorium, antibodi monoklonal menunjukkan harapan besar dalam pengaturan klinis dalam pengobatan penyakit (Ndoja dan Lima, 2017).
Selain itu kisah sukses terbesar lainnya dalam pengobatan dua  penyakit autoimun: rheumatoid arthritis dan penyakit Chron (radang kolin inflamasi progresif). Kedua penyakit ini telah diobati dengan antibodi monoklonal yang disebut inflixmab yang menghalangi aksi tumor necrosis faktor-alpha. Pengobatan untuk kanker payudara, limfoma non-Hodgkin, dan terapi anti platelet untuk sindrom koroner akut juga sangat menjanjikan. Faktanya bahwa antibodi monoklonal sekarang dapat dimanusiakan oleh teknologi rekombinan telah mengurangi reaksi terhadap reagen itu sendiri, yang dulunya berasal dari tikus. Antibodi ini cenderung berkembang di masa depan karena lebih dari seperempat obat saat ini dalam perkembangan bersifat monoklonal (Stevens, 2013).
Antibodi Monoklonal Penting dalam Penggunaan Klinis
Antibodi monoklonal terbukti sangat berguna sebagai diagnostik, pencitraan, dan reagen terapeutik dalam kedokteran klinis. Awalnya, antibodi monoklonal digunakan terutama sebagai reagen diagnostik in vitro. Di antara banyak monoklonal reagen diagnostik antibodi yang sekarang tersedia adalah produk untuk mendeteksi kehamilan, mendiagnosis berbagai mikroorganisme patogen, mengukur kadar berbagai obat dalam darah, mencocokkan antigen histokompatibilitas, dan mendeteksi antigen yang berasal dari tumor tertentu.
Antibodi monoklonal radiolabel juga dapat digunakan secara in vivo untuk mendeteksi atau menemukan antigen tumor, memungkinkan dengan sebelum diagnosis beberapa tumor primer atau metastasis pada pasien. Misalnya, antibodi monoklonal terhadap kanker payudara sel-sel diberi label dengan yodium-131 dan dimasukkan ke dalam darah untuk mendeteksi penyebaran tumor ke kelenjar getah bening regional. Teknik pencitraan monoklonal ini dapat mengungkapkan kanker payudara metastasis yang tidak terdeteksi oleh alat lain, yang  kurang sensitif teknik pemindaiannya.
Imunotoksin terdiri dari monoklonal yang spesifik terhadap tumor antibodi yang digabungkan dengan racun mematikan yang berpotensi dapat menjadi reagen terapeutik. Racun yang digunakan dalam menyiapkan imunotoksin termasuk risin, toksin Shigella, dan toksin difteri, semuanya di antaranya menghambat sintesis protein. Racun ini sangat ampuh dengan satu molekul saja telah terbukti membunuh sel. Setiap racun ini terdiri dari dua jenis yang berbeda secara fungsional komponen polipeptida, rantai penghambat (toksin) dan satu atau lebih rantai pengikat, yang berinteraksi dengan reseptor permukaan sel; tanpa polipeptida pengikat toksin tidak bisa masuk ke dalam sel dan karenanya tidak berbahaya. Sebuah imunotoksin disiapkan dengan mengganti polipeptida pengikat dengan antibodi monoklonal yang spesifik untuk tertentu sel tumor (Gambar 2.10-a). Secara teori, monoklonal antibodi akan mengantarkan rantai toksin secara khusus ke tumor sel, di mana akan menyebabkan kematian dengan cara menghambat protein sintesis (Gambar 2.10-b). Respon klinis awal untuk imunotoksin tersebut pada pasien dengan leukemia, limfoma, dan beberapa jenis kanker lainnya telah menjanjikan, dan penelitian untuk mengembangkan dan menunjukkan keamanan dan efektivitasnya sedang berlangsung.
Gambar 2.10. (a) Racun yang digunakan untuk menyiapkan imunotoksin termasuk risin, toksin Shigella, dan toksin difteri. Setiap racun mengandung penghambat rantai toksin (merah) dan komponen pengikat (kuning). Untuk membuat imunotoksin, komponen pengikat racun diganti dengan antibodi monoklonal (biru). (b) Toksin Difteri berikatan dengan reseptor membran sel (kiri) dan ikatan difteri-imunotoksin ke antigen terkait tumor (kanan). Dalam kedua kasus, toksin diinternalisasi dalam endosom. Rantai toksin kemudian dilepaskan ke dalam sitoplasma, di mana ia menghambat sintesis protein dengan mengkatalisasi inaktivasi faktor perpanjangan 2 (EF-2).
Beberapa antibodi monoklonal dalam penggunaan klinis:

H.    Abzymes: Antibodi Monoklonal yang Mengkatalisis Reaksi
Reaksi yang mengkatalisasi pengikatan suatu antibodi dengan antigennya serupa dalam banyak cara untuk mengikat enzim ke substratnya. Pada kedua kasus tersebut, pengikatan yang terjadi lemah, interaksi nonkovalen dan menunjukkan spesifisitas tinggi dan sering memiliki afinitas tinggi. Apa yang membedakan interaksi antibodi-antigen dari enzim dan interaksi substrat adalah bahwa antibodi tidak berubah antigen, sedangkan enzim mengkatalisasi perubahan kimia di substratnya. Namun, seperti halnya enzim, antibodi yang sesuai kekhususan dapat menstabilkan keadaan transisi dari suatu ikatan substrat, sehingga mengurangi energi aktivasi untuk bahan kimia yang dimodifikasi dari substrat.
Kesamaan antara interaksi antigen-antibodi dan interaksi enzim-substrat menimbulkan pertanyaan apakah beberapa antibodi dapat berperilaku seperti enzim dan mengkatalisasi reaksi kimia. Untuk menyelidiki kemungkinan ini, kompleks hapten-carrier disintesis di mana hapten secara struktural menyerupai keadaan transisi dari ester yang mengalami hidrolisis. Sel limpa dari tikus diimunisasi, dengan ini analog keadaan transisi digabungkan dengan sel myeloma menjadi menghasilkan antibodi monoklonal antihapten.
Ketika antibodi monoklonal diinkubasi dengan ester substrat, beberapa dari mereka mempercepat hidrolisis sekitar 1000 kali lipat; yaitu mereka bertindak seperti enzim yang biasanya mengkatalisasi hidrolisis substrat. Aktivitas katalitik dari antibodi ini sangat spesifik; yaitu, mereka terhidrolisis hanya ester yang struktur transisinya mirip dengan analog. keadaan transisi digunakan sebagai hapten dalam imunisasi mengkonjugasikan. Antibodi katalitik ini disebut abzym mengacu pada peran ganda mereka sebagai antibodi dan enzim.
Tujuan utama dari penelitian antibodi katalitik adalah derivasi dari baterai abzim yang memotong ikatan peptida pada spesifik residu asam amino, sama seperti enzim restriksi memotong DNA di situs tertentu. Abzim seperti itu akan menjadi alat yang sangat berharga di Indonesia,  analisis struktural dan fungsional protein. Selain itu, dimungkinkan untuk menghasilkan abzymes dengan kemampuan untuk melarutkan gumpalan darah atau untuk membelah glikoprotein virus secara spesifik situs tertentu, sehingga memblokir infektivitas virus. Sayangnya, katalitik antibodi yang mengikat ikatan peptida protein memiliki kesulitan untuk diturunkan. Banyak penelitian saat ini sedang dikejar di bidang ini dikhususkan untuk solusi masalah penting tapi sulit ini.
I.       Antibodi Monoklonal Chimeric Dan Hybrid Memiliki Potensial Klinik yang Besar
Salah satu pendekatan rekayasa antibodi adalah dengan mengkloning rekombinan DNA yang mengandung promoter, leader, dan urutan variable region dari gen antibodi tikus dan ekson wilayah konstan dari gen antibodi manusia (Gambar 2.11). Antibodi yang dikodekan oleh gen rekombinan adalah chimera tikus-manusia, umumnya dikenal sebagai human antibody. Spesifisitas antigeniknya, yang ditentukan oleh wilayah variabel, berasal dari DNA tikus; isotipe-nya, yang ditentukan oleh daerah konstan, berasal dari DNA manusia. Karena daerah konstan ini antibodi chimeric dikodekan oleh gen manusia, antibodi memiliki lebih sedikit penentu antigenik tikus dan imunogenik jauh lebih rendah bila diberikan pada manusia dibandingkan antibodi monoklonal tikus (Gambar 2.12-a). Kemampuan daerah variabel tikus yang tersisa di manusia ini antibodi untuk menyediakan situs pengikatan yang sesuai untuk memungkinkan pengenalan spesifik antigen target telah mendorong lebih jauh eksplorasi pendekatan ini. Itu mungkin untuk diproduksi antibodi manusia-tikus chimeric di mana hanya urutan CDR berasal dari tikus (Gambar 2.12-b). Keuntungan lain dari antibodi chimeric yang dimanusiakan adalah mereka mempertahankan fungsi efektor biologis antibodi manusia dan lebih cenderung memicu aktivasi komplemen manusia atau pengikatan reseptor Fc. Salah satu manusia purba dengan chimeric antibodi telah digunakan untuk mengobati pasien dengan sel-B varietas limfoma non-Hodgkin.
Gambar 2.11. Produksi monoklonal tikus-manusia chimeric antibodi. Ekspresi rantai berat dan cahaya tikus-manusia chimeric vektor diproduksi. Vektor-vektor ini ditransfusikan ke dalam Ab sel myeloma. Kultur dalam medium ampisilin memilih untuk ditransfusikan sel-sel myeloma yang mengeluarkan antibodi chimeric.
Antibodi monoklonal chimeric yang berfungsi sebagai imunotoksin juga dapat disiapkan. Di dalam kasus, domain wilayah konstan terminal dalam spesifik tumor antibodi monoklonal diganti dengan rantai toksin (Gambar 2.12-c). Karena kekurangan imunotoksin ini terminal domain Fc, mereka tidak dapat mengikat bantalan sel Reseptor Fc. Imunotoksin ini hanya dapat berikatan dengan tumor sel, membuatnya sangat spesifik sebagai reagen terapi. Heteroconjugate, atau antibodi bispecific, adalah hibrida dari dua molekul antibodi yang berbeda (Gambar 2.12-d). Mereka dapat dibangun dengan menghubungkan secara kimiawi dua berbeda antibodi atau dengan mensintesisnya dalam hibridoma yang terdiri dari dua sel penghasil antibodi monoklonal yang berbeda garis yang telah menyatu. Kedua metode ini menghasilkan campuran antibodi monospecific dan bispecific dari dimana molekul bispecific yang diinginkan harus dimurnikan. Menggunakan rekayasa genetika untuk membangun gen yang akan dikodekan molekul hanya dengan dua kekhasan yang diinginkan adalah banyak pendekatan yang lebih sederhana dan lebih elegan. Beberapa molekul bispecific telah dirancang di mana setengah dari antibody memiliki kekhususan untuk tumor dan setengah lainnya memiliki kekhususan untuk molekul permukaan pada sel efektor imun, seperti sel NK, makrofag teraktivasi, atau limfosit T sitotoksik (CTL). Heteroconjugate seperti itu telah dirancang untuk mengaktifkan sel efektor kekebalan ketika itu crosslinked ke sel tumor sehingga mulai memediasi penghancuran sel tumor.
Gambar 2.12. Antibodi monoklonal Chimeric dan hybrid direkayasa oleh teknologi DNA rekombinan. (a) Chimeric mouse-human antibodi monoklonal yang mengandung domain VH dan VL dari antibodi monoklonal tikus (biru) dan domain CL dan CH dari human antibodi monoklonal (abu-abu). (B) Antibodi monoklonal chimeric hanya mengandung CDR dari antibodi monoklonal tikus (pita biru) dicangkokkan dalam kerangka wilayah monoklonal manusia. Antibodi disebut antibodi monoklonal "manusiawi". (c) Antibodi monoklonal chimeric di mana domain terminal Fc diganti oleh rantai toksin (putih). (D) Suatu heteroconjugate di mana satu setengah molekul antibodi tikus khusus untuk antigen tumor dan separuh lainnya khusus untuk kompleks reseptor sel-CD3/T.
J.      Antibodi monoklonal dapat dikonstruksi dari Ig-Gene Libraries
Pendekatan yang sangat berbeda untuk menghasilkan antibodi monoklonal menggunakan polymerase chain reaction (PCR) untuk menguatkan DNA yang mengkodekan rantai berat antibodi dan rantai ringan fragmen Fab dari sel hybridoma atau plasma sel. Wilayah promotor dan situs pembatasan EcoRI  ditambahkan ke urutan yang diamplifikasi, dan hasil konstruk dimasukkan ke dalam bakteriofag, menghasilkan pisahan rantai berat dan rantai ringan. Pembelahan dengan EcoRI dan penyambungan acak gen rantai berat dan ringan menghasilkan banyak konstruksi ringan-berat terbarukan (Gambar5-22). Prosedur ini menghasilkan beragam antibodi kekhususan. Rantai L dapat disaring dengan cepat, mereka yang mengeluarkan antibodi terhadap antigen tertentu. Tingkat keragaman sebanding dengan repertoar in vivo manusia, dan adalah mungkin untuk menunjukkan bahwa kekhususan terhadap luas berbagai antigen dapat diperoleh dari perpustakaan ini. Seperti itu pendekatan perpustakaan kombinasi membuka kemungkinan untuk memperoleh antibodi spesifik tanpa perlu apa pun untuk imunisasi.
Namun, tantangan nyata untuk melewati imunisasi in vivo dalam derivasi antibodi yang berguna dari afinitas tinggi terletak dalam menemukan cara untuk meniru biologi respon imun humoral. Evolusi in vivo sebagian besar respons imun humoral menghasilkan dua hasil yang diinginkan. Salah satunya adalah peralihan kelas, di mana variasi kelas antibodi dari spesifisitas yang sama diproduksi. Ini merupakan pertimbangan penting karena class switching yang terjadi selama respons imun menghasilkan antibodi yang memiliki kekhususan yang sama tetapi fungsi efektor yang berbeda dan karenanya, fleksibilitas biologis lebih besar. Yang lainnya adalah generasi antibodi afinitas yang lebih tinggi dan lebih tinggi sebagai respon berlangsung. Tujuan utama pendekatan perpustakaan Ig-gen adalah pengembangan strategi untuk menghasilkan antibodi afinitas yang sesuai in vitro siap seperti mereka dihasilkan oleh respon imun in vivo. Ketika tangguh hambatan teknis untuk pencapaian tujuan-tujuan ini Jika diatasi, pendekatan kombinatorial berdasarkan perpustakaan fag akan memungkinkan produksi rutin dan luas antibodi yang berguna dari spesies yang diinginkan tanpa keterbatasan teknologi imunisasi dan hibridoma yang saat ini menyulitkan produksi monoklonal antibodi.
Gambar 2.13. Prosedur umum untuk memproduksi pengkodean pustaka gen fragmen besar. Dalam prosedur ini, mRNA terisolasi yang mengkodekan rantai berat dan ringan diperkuat oleh rantai polimerase reaksi (PCR) dan dikloning dalam vektor. Kombinasi acak dari gen rantai berat dan ringan menghasilkan sejumlah besar konstruksi berat-ringan yang mengkode fragmen Fab dengan antigenik yang berbeda.




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Imunoteknologi adalah teknologi yang didasarkan pada aplikasi sel dan molekul sistem kekebalan tubuh. Antibodi merupakan campuran protein di dalam darah dan disekresi mukosa menghasilkan sistem imun bertujuan untuk melawan antigen asing yang masuk ke dalam sirkulasi darah. Pada tahun 1908, Metchnikof dan Erlich mengemukakan mengenai teori imunologi yang membawa perubahan besar pada pemanfaatan antibodi untuk mendeteksi adanya antigen (zat asing) di dalam tubuh. Pada tahun 1975, Georges Kohler, Cesar Milstein and Niels Kaj Jerne menemukan cara baru dalam membuat antibodi dengan mengimunisasi hewan percobaan, kemudian sel limfositnya difusikan dengan sel meiloma, sehingga sel hibrid dapat dibiakan terus menerus. Antibodi poliklonal adalah antibodi dimana di dalam suatu populasi terdapat lebih dari satu macam antibodi, atau campuran antibodi yang mengenal epitop yang berbeda pada antigen yang sama. Formasi dari hibridoma pada produksi antibodi monoklonal yaitu seekor tikus diinjeksi, dan diambil sel limfanya. Sel limfa tersebut digabungkan dengan sel mieloma dan disepuhkan dalam media yang terbatas. Hanya sel hibridoma yang akan tumbuh di media ini, dimana sel hibridoma akan mensitesa dan megeluarkan imunoglobulin monoklonal spesifik untuk  penentu tunggal pada antigen.
Antibodi monoklonal menggunakan mekanisme kombinasi untuk meningkatkan efek sitotoksik sel tumor. Struktur antibodi monoklonal rekombinan dan jenis antibodi monoklonal generasi baru yang telah dikembangkan antara lain; antibodi monoklonal fully mouse, chimaric,. humanized, fully human. Terapi target didefinisikan sebagai obat atau molekul untuk membunuh sel tumor melalui interaksi target yang terdapat pada sel ganas. Antibodi monoklonal terbukti sangat berguna sebagai diagnostik, pencitraan, dan reagen terapeutik dalam kedokteran klinis. Awalnya, antibodi monoklonal digunakan terutama sebagai reagen diagnostik in vitro. Di antara banyak monoklonal reagen diagnostik antibodi yang sekarang tersedia adalah produk untuk mendeteksi kehamilan, mendiagnosis berbagai mikroorganisme patogen, mengukur kadar berbagai obat dalam darah, mencocokkan antigen histokompatibilitas, dan mendeteksi antigen yang berasal dari tumor tertentu.
Abzymes memiliki kemampuan untuk melarutkan gumpalan darah atau untuk membelah glikoprotein virus secara spesifik situs tertentu, sehingga memblokir infektivitas virus. Antibodi yang dikodekan oleh gen rekombinan adalah chimera tikus-manusia, umumnya dikenal sebagai human antibody. Spesifisitas antigeniknya, yang ditentukan oleh wilayah variabel, berasal dari DNA tikus; isotipe-nya, yang ditentukan oleh daerah konstan, berasal dari DNA manusia. Tujuan utama pendekatan Ig-gen library adalah pengembangan strategi untuk menghasilkan antibodi afinitas yang sesuai in vitro siap seperti mereka dihasilkan oleh respon imun in vivo.
B.     Saran
Kita sebagai seorang farmasis harus tahu betul mengenai monoklonal antibodi karena merupakan suatu teknologi farmasetik yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia dimasa yang akan datang. Sebagai farmasis yang baik, alangkah lebih baik pula kita untuk senantiasa mempelajarinya dengan sungguh-sungguh kemudian dapat mengimplementasikannya ke dalam bentuk penelitian guna membuat inovasi baru sebagai bahan imunoteknologi dalam pharmaceutical technology.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas AK, Lichtman AH. Antibodies and antigens. In: Schmitt WR, Krehling H, editors. 2005. Cellular and molecular immunology. 5th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders. 43-64.
Adams, G.P., dan Weiner, L.M. 2005. Monoclonal antibody therapy of cancer. Nature   Biotechnology. 23: 1147-57.
Alberts, B., Johnson, A., Lewis, J., Raff, M., Robert, K., Walter, P. 2002. Manipulating proteins, DNA, and RNA. In: Anderson MS, Dilernia B, editors. Molecular biology of the cell. 4th ed. New York: Garland Science. 469-78.
American Cancer Society. 2005. Cancer facts & figures. Atlanta: ACS.
BüyükköroÄŸlu, G. dan Åženel,B. 2018. Engineering Monoclonal Antibodies: Production and Applications. Journal of Omics Technologies and Bio-Engineering. Pages 353–389. doi: 10.1016/B978-0-12-804659-3.00016-6
Hafeez1, U., Gan, H.K., Scott, A.M. 2018. Monoclonal antibodies as immunomodulatory therapy against cancer and autoimmune diseases. Journal of Current Opinion in Pharmacology. doi: 10.1016/j.coph.2018.05.010
Henricks, L.M. Schellens, J.H.M. Huitemad, A.D.R, Beijnen, J.H. 2015. The use of combinations of monoclonal antibodies in clinical oncology. Journal of Cancer Treatment Reviews. 41(10). doi: 10.1016/j.ctrv.2015.10.008
Herbst R. S. 2002. Targeted therapy in non small cell lung cancer. Oncology (Williston Park). 16: 19-24.
Herbst RS, Bunn PA. 2003. Targeting the epidermal growth factor receptor in non small cell lung cancer. Clin Cancer Res. 9: 5813-24.
Herbst RS, Shin DM. 2002. Monoclonal antibodies to target epidermal growth factor receptor positive tumors: a new paradigm for cancer therapy. Cancer. 94: 1593-611.
Isobe T, Herbst RS, Onn A. 2005. Current management of advanced non small cell lung cancer: targeted therapy. Semin Oncol. 32: 315-28.
Jaglowski, Samantha M., Lapo Alinari, Rosa Lapalombella, Natarajan Muthusamy, dan John C. Byrd. 2010. The clinical application of monoclonal antibodies in chronic lymphocytic leukemia. BLOOD. Vol. 116, No. 19.
Jemal A, Murray T, Ward E, Samuels A, Tiwari RC, Ghafoor A, et al. 2005. Cancer statistic. CA Cancer J Clin. 55: 10-30.
Jusuf, A., Harryanto, A., Syahruddin, E., Endardjo. S., Mudjiantoro, S., Sutandio, N. 2005. Kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: PDPI. 14-5.
Kindt, T.J., Osborne, B.A. & Goldsby, R.A., 2006, Kuby Immunology (Kindt, Kuby Immunology 6th Edition, W.H. Freeman.
KÅ‘hler, G. dan Milstein, C. 1975. Continous cultures of fused cells secreting antibody of predifined specificity. Nature. 256: 495-7.
Maione P, Rossi A, Airoma G, Ferrara C, Castaldo V. 2004. The role of targeted therapy in non small cell lung cancer. Crit Rev Oncol Hematol. 51: 29-44.
Mishra BK, Parikh PM. 2006. Targeted therapy in oncology. MJAFI. 62: 169-73.
Moussavou, Ghislain, Kisung Ko, Jeong-Hwan Lee, dan Young-Kug Choo. 2015. Production of Monoclonal Antibodies in Plants for Cancer Immunotherapy. BioMed Research International. Volume 2015. ID 306164.
National Academy of Science. 1999. Monoclonal Antibody Production: A Report of the Committee on Methods of Producing Monoclonal Antibodies Institute for Laboratory Animal Research National Research Counci. Washington DC: National Academy Press
Ndoja, S., Lima, H. 2017. Monoclonal Antibodies. Jornal of Current Developments in Biotechnology and Bioengineering. Pages 71–95. doi: 10.1016/B978-0-444-63660-7.00004-8
Nelson PN, Reynolds GM, Waldron EE, Ward E, Giannopoulos K, Murray PG. 2000. Demystified monoclonal antibodies. J Clin Pathol: Mol Pathol. 53: 111-7.
Ostoros G, Kovacs G, Szondy K, Dome B. 2005. New therapies for non-small cell lung cancer. Orv Hetil. 146: 1135-41.
Radji, Maksum. 2010. Imunologi &Virologi. Penerbitan PT ISFI; Jakarta.
Radji, Maksum. 2010. Buku Ajar Mikrobiologi Panduan Mahasiswa Farmasi dan Kedokteran. Jakarta: EGC.
Santos, R.B Galvao, V.R. 2017. Monoclonal Antibodies Hypersensitivity Prevalence and Management. Journal of Immunol Allergy Clin N Am, 37 (2017) 695–711. doi: 10.1016/j.iac.2017.07.003
Stevens, C.D. 2003. Clinical immunology and Serology: A Laboratory Perspective 2nd edition. United States of America: F.A. Davis Company.
Syahruddin E. 2006. Characteristic of patients in Indonesian association for the study of lung cancer data. In: Committee PIPKRA, editors. Abstracts of the 4th Scientific Respiratory Medicine Meeting. Jakarta PIPKRA.
T. Saxena. 2011. Immunotechnology in Disease Diagnosis. Jaipur : Department of Life Sciences, The IIS University.
Tuscano JM, Noonan K, Mulrooney T. 2005. Monoclonal antibodies: case studies in novel therapies. In: Frankel C, editor. A continuing education program for oncology nurses. Pittsburgh: OES. 5-8.
Waldmann, T.A. 2003. Immunotherapy: past, present and future. Nature Medicine. 9: 269-77.
Ward PA, Adams J, Faustman D, Gebhart GF, Geistfeld JG, Imbaratto JW, et al. 1999. Monoclonal antibody production. In: Grossblatt N, editor. A report of the commitee on methods of producing monoclonal antibodies institute for laboratory animal research national research council. Washington DC: National Academy Press. 6-8.



LAMPIRAN
PEMBAGIAN KERJASAMA DALAM KELOMPOK
Fernando Calvin Simorangkir
Mencari Teori Pengertian Imunoteknologi dan Antibodi Monoklonal
Nevy Aulya Ramadani
Mencari dan Menjelaskan Sejarah Monoklonal Antibodi
Nurul Anisya Alawiyah
Menjelaskan Perbedaan Antibodi Poliklonal dan Antibodi Monoklonal
Ulfa Restiana Devi Pratiwi
Mencari Teori dan menjelaskan Monoclonal Antibody Engineering, Teknik Hibridoma dan Prosedur Pembuatan Antibodi Monoklonal serta menguraikan dan menjelaskan Abzymes sebagai antibodi monoklonal yang mengkatalisis reaksi
Intan Risa Nurasih
Menguraikan Mekanisme Kerja Antibodi Monoklonal dan Pemilihan Antibodi Spesifik Penghasil Klon
Jauharotul Badiah
Menjelaskan Antibodi monoklonal rekombinan
Nurul Fitriyah
Mencari Penjelasan Target Terapi antibodi monoklonal dan kegunaan penting dalam penggunaan klinik
Hilman Taofik Hidayah
Mencari teori dan penjelasan Antibodi monoklonal chimeric dan hybrid yang memiliki potensial klinik yang besar, teori Antibodi monoklonal yang dapat dikonstruksi dari Ig-Gene Libraries, penjelasan Produksi Antibodi Monoklonal pada Tanaman untuk Imunoterapi kanker, penjelasan obat Rituximab dan menyusun makalah

Comments

  1. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

NASKAH BIANTARA - NGAMUMULE BUDAYA SUNDA

LAPORAN PENELITIAN PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN KECAMBAH KACANG HIJAU TERHADAP CAHAYA